Tautan-tautan Akses

Hukuman Mati Koruptor Mungkin Tinggal Mimpi


Para pendukung KPK berpawai dengan menggunakan kardus bergambar petugas KPK menangkap koruptor di Malang, Jawa Timur, 23 Januari 2015. (Foto: AFP)
Para pendukung KPK berpawai dengan menggunakan kardus bergambar petugas KPK menangkap koruptor di Malang, Jawa Timur, 23 Januari 2015. (Foto: AFP)

Polemik mengenai penerapan ancaman hukuman mati menguat dalam kasus dugaan suap Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Publik marah karena Juliari melakukan korupsi terkait proyek bantuan sosial penanggulangan dampak pandemi, yang seharusnya menjadi hak rakyat miskin.

Namun, Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta memandang, ancaman hukuman mati bukan sesuatu yang sederhana dalam kasus ini. Peneliti PUKAT, Zaenur Rohman mengingatkan, sejauh ini sangkaan yang ada adalah suap atau gratifikasi, bukan korupsi dana bantuan sosial itu sendiri.

Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Sangkaan KPK kepada Mensos itu menerima suap atau gratifikasinya bukan korupsi dana anggaran Bansos-nya. Kalau dari sisi itu, PUKAT ingin mendudukkan pada aturan sebenarnya, tidak bisa diarahkan ke merugikan keuangan negara, dalam Pasal 2 UU 31/99 yang disebut dalam keadaan tertentu itu,” kata Rohman.

Aturan hukum yang disebut Rohman adalah Ayat 2, Pasal 2 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ayat itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Sedangkan dalam penjelasan, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Rohman menjelaskan, jika sangkaan yang diberikan kepada Juliari Batubara adalah suap atau gratifikasi, maka tidak ada ancaman hukuman mati. Faktor kedua adalah soal bencana. Dalam penjelasan, disebut dengan jelas bahwa ancaman hukuman mati bisa diterapkan jika negara dalam kondisi bencana alam nasional. Sementara pandemi Covid-19, bukanlah bencana alam nasional.

Faktor selajutnya, kata Rohman, yang bisa diterapkan adalah soal negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

“Karena dampak dari pandemi Covid-19 telah menimbulkan keadaan krisis ekonomi dan moneter, bisa ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi negatif. Dengan rumusan ke arah sana, bisa dimungkinkan. Tetapi itu kembali apakah KPK memiliki alat bukti untuk menjerat dengan rumusan Pasal 2 tersebut,” lanjut Rohman.

Jika kondisi krisis moneter yang ditekankan, lanjut Rohman, sebenarnya kasus yang menimpa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bisa diterapkan pasal serupa.

Rohman memaparkan, sering ada salah persepsi masyarakat mengenai kasus yang disangkakan kepada mereka yang ditangkap KPK. Kasus Juliari dan Edhy adalah suap atau gratifikasi, karena yang terjadi adalah pihak swasta memberikan dana tertentu terkait proyek. Sedangkan kasus korupsi terjadi ketika pejabat mengambil dana dari anggaran yang sudah ditetapkan jumlahnya.

Terlepas dari soal setuju atau tidak penerapan hukuman mati, Rohman menegaskan konstruksi dakwaan dari KPK yang akan menjadi dasar apakah ancaman hukuman mati bisa diberikan atau tidak dalam perkara ini.

Daerah Lain Mungkin Ada

Aktivis Jogja Corruption Watch, Baharuddin Kamba mengaku bisa memahami reaksi yang berbeda dari masyarakat antara kasus Edhy Prabowo dan Juliari Batubara. Dalam kasus Juliari, yang diurus adalan dana Bansos bagi masyarakat miskin. Unsur subyektf masyarakat berperan, karena merasa ada tindakan luar biasa tega dari seorang menteri kepada masyarakat miskin. Karena itu, wacana hukuman mati mengemuka.

Aktivis JCW, Baharuddin Kamba menggelar aksi teatrikal menuntut hukuman mati koruptor, Minggu (6-12) di Yogyakarta. (Foto: Courtesy/Baharudin Kamba)
Aktivis JCW, Baharuddin Kamba menggelar aksi teatrikal menuntut hukuman mati koruptor, Minggu (6-12) di Yogyakarta. (Foto: Courtesy/Baharudin Kamba)

“Sangat wajar kemarahan publik, yang meminta hukuman mati. Tetapi sepanjang sejarah, majelis hakim Tipikor tidak pernah menjatuhkan hukuman mati. Lihat saja, dari kasus OTT menteri, kepala daerah, belum ada yang menjatuhkan vonis hukuman mati. Maksimal empat tahun, lima tahun, vonis minimalis,” kata Kamba.

Belum lagi, tambahnya, para koruptor masih bisa mengupayakan langkah hukum lanjutan hingga Mahkamah Agung, yang berpotensi memotong hukumannya. Dalam kasus tertentu, bahkan bisa keluar grasi presiden dengan alasan kemanusiaan.

Namun Kamba mengingatkan, dalam peringatan Hari Anti Korupsi se-dunia pada 9 Desember 2019, Presiden Jokowi pernah berwacana soal hukuman mati. Menjawab pertanyaan seorang siswa yang merasa hukuman bagi koruptor terlalu ringan, ketika itu Jokowi mengatakan hukuman mati bisa diberlakukan ke koruptor jika ada kehendak kuat masyarakat dan kemudian dimasukkan dalam UU.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (tengah) dikawal petugas keamanan usai konferensi pers di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Kamis, 26 November 2020. (Foto: AP)
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (tengah) dikawal petugas keamanan usai konferensi pers di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Kamis, 26 November 2020. (Foto: AP)

Jika memang ancaman hukuman mati sulit dikenakan, Kamba menilai hakim sebenarnya bisa memberikan pemberatan pidana. Misalnya bagi menteri yang juga politisi partai, vonisnya bisa ditmbah dengan pencabutan hak politik.

Di sisi lain, Kamba justru mengingatkan potensi kasus serupa di berbagai daerah. Seperti diketahui, seluruh daerah membagikan bantuan sosial dampak pandemi setidaknya dalam setengah tahun terakhir. Anggaran yang sudah dibelanjakan tentu mencapai trilliunan rupiah.

“Kasus Menteri Juliari ini kan yang di Jabodetabek saja. Bisa dibuka kasus di daerah juga untuk Bansos. Karena proyek ini memang sangat rawan dikorupsi. Bisa jadi di daerah lain juga ada, sangat mungkin,” tambah Kamba.

Kementerian akan Bekerja Sama

Sekjend Kemensos Hartono Laras memberikan keterangan resmi terkait kasus Julian Batubara. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Sekjend Kemensos Hartono Laras memberikan keterangan resmi terkait kasus Julian Batubara. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Terkait kasus ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Hartono Laras, menyatakan kementerian itu kaget dan prihatin. Proses hukum ini, kata Hartono bermula pada 5 Desember dini hari, ketika terjadi penangkapan terhadap sejumlah orang, termasuk salah satunya oknum pejabat Kementerian Sosial. Dalam perkembangannya, KPK kemudian menetapkan Menteri Sosial Juliari P. Batubara sebagai tersangka

“Tentu kami akan bekerja sama dan membuka akses penuh terhadap berbagai informasi yang diperlukan guna proses hukum yang sedang berjalan. Hal ini tentu sebagai bentuk keseriusan kami dan dukungan penuh Kementerian Sosial dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Hartono dalam pernyataan kepada media secara daring pada Minggu, 6 Desember 2020.

Hukuman Mati Koruptor Mungkin Tinggal Mimpi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:25 0:00

Hartono menyebut, mereka juga sangat terpukul karena kasus ini terjadi di tengah upaya mereka menyalurkan bantuan sosial di tengah pandemi Covid 19. Sejak awal, kementerian bahkan telah menggandeng berbagai pihak untuk mengawasi secara langsung jalannya pemberian Bansos.

Kementerian ini mengelola dana bantuan sebesar Rp 134 triliun tahun ini, dan hingga 6 Desember 2020 telah tersalur 97,2 persen. Tahun depan, mereka masih akan mengelola dana Bansos yang harus mulai disalurkan pada Januari 2021. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG