Tautan-tautan Akses

UU Cipta Kerja Tak Akan Redam Korupsi


Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Pertambangan, pertanahan dan lingkungan adalah tiga isu yang berkelindan menjadi satu. Mereka yang berkecimpung dalam bisnis terkait tiga sektor itu sudah lama mengeluhkan ruwetnya birokrasi negara. Misalnya dalam pengurusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang harus dilalui sebelum membuka usaha baru di satu lokasi. UU nomor 11 tahun 2020 yang dikenal sebagai UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, didesain antara lain untuk mengurai benang ruwet itu.

Tidak salah jika kemudian Maman Abdurrahman, Anggota Komisi VII DPR RI begitu bersemangat mempromosikan UU 11/2020 seolah sebagai jamu mujarab untuk semua persoalan itu.

Maman Abdurrahman, Anggota Komisi VII DPR RI. (Foto: VOA)
Maman Abdurrahman, Anggota Komisi VII DPR RI. (Foto: VOA)

“Kalau kita mau ngurus AMDAL, saya pakai pendekatan saya sebagai praktisi. Kebetulan saya praktisi di industri oil dan gas kurang lebih sekitar 11 tahun. Kalau kita ngurusin AMDAL itu ada dua handicap-nya, di negara kita sekarang ini. Pertama identik dengan lama banget, yang kedua mohon maaf ada 'hengki pengki-nya',” kata Maman.​
Hengki pengki adalah istilah umum, yang meski tidak baku, tetapi semua memahami itu sebagai suap. Maman berbicara dalam diskusi "Grand Corruption: Rancangan UU Cipta Kerja Klaster Tambang, Tanah dan Lingkungan", Rabu (4/11). Diskusi diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) dan Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi (GAK LPT).

AMDAL Dinilai Hambat Investasi

AMDAL adalah instrumen yang ditetapkan pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan. Namun, kata Maman, dalam pendekatan praktisnya, AMDAL selalu dijadikan alat mencari “sampingan” bagi oknum di daerah. Indonesia juga rumit bagi investor karena ada 4.451 Peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 Peraturan Daerah.

Penyederhanaan yang digagas juga diaplikasikan dalam pengambilalihan wewenang daerah ke pusat dalam sejumlah sektor, seperti pertambangan. Namun Maman memastikan daerah tetap diberikan ruang karena ada pendelegasian terkait perizinan ini. Jika tidak disederhanakan, Maman meyakini apa yang terjadi saat ini, yaitu larinya investor ke luar negeri akan terus terjadi.

“Kondisi sekarang yang terjadi, hampir semua investor itu lari ke Vietnam, Thailand atau beberapa negara Asia lainnya. Kenapa? Karena di negara-negara tetangga kita, dari segi aturan lebih mudah, nggak terlalu ribet dan njelimet seperti di Indonesia, dari segi tenaga kerja relatif cenderung bisa membayar murah,” tambah Maman.

UU Cipta Kerja, papar Maman, secara konsepsi adalah undang-undang untuk memberikan titik temu antara kedua investor, pemerintah dan masyarakat. Sebagai sebuah terobosan, UU ini bisa berdampak negatif atau positif, punya potensi gagal dan juga punya potensi berhasil. Satu hal yang penting, kata Maman, karena UU ini sudah jadi, maka harus dikawal pembuatan Peraturan Pemerintah di bawahnya, agar dampak negatifnya dapat diminimalisir.

Tidak Akan Hilangkan Korupsi

Guru Besar Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Maria SW Sumardjono menyebut UU 11/2020, khususnya di klaster pertanahan, adalah sebuah sistem tersendiri, di luar sistem yang sudah ada. Sejumlah isinya bertentangan dengan produk hukum yang lain, bahkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Rumusan ini, kata Maria, potensial menjadi bahan untuk diajukan dalam uji materi ke MK.

Secara substansi, Maria mengingatkan bahwa masalah terbesar bagi investasi di Indonesia adalah korupsi. Apalagi di sektor terkait pertanahan, yang dalam berbagai penelitian menduduki posisi atas dalam praktik korupsi. Sebuah UU akan dijalankan oleh satu lembaga dan orang-orang di dalamnya. Mereka yang memiliki otoritas inilah, yang berpotensi menjadikan suatu produk hukum berhasil mencapai tujuan atau tidak.

“Apakah dengan adanya undang-undang Cipta Kerja, khususnya di bidang Pertanahan itu terus lalu tidak ada korupsi lagi? Dalam Global Competitiveness Report, hambatan investasi nomor satu itu korupsi. Karena itu perlu kita bicarakan sekarang, sudah ada undang-undang Cipta Kerja, bagaimana mengundang investor kalau kita itu tidak clean, tidak bersih,” ujar Maria.

Dalam forum ini, Maria juga berbagi kasus-kasus besar sektor pertanahan yang menggambarkan begitu banyaknya korupsi melingkupinya. Sementara di sisi lain, hukuman yang diberikan relatif ringan. Perilaku koruptif juga didorong oleh lingkungan sekitarnya, termasuk problem penegakan hukum. Pelaku korupsi akan menghitung, berapa banyak yang diperoleh dari tindakan mereka, dan berapa hukuman kemungkinan diterima jika kasusnya terungkap. Masalah-masalah semacam itu justru menjadi pekerjaan rumah jika pemerintah ingin mengundang investor.

“Gimana kita mau menarik investasi, kalau tidak melakukan evaluasi sungguh-sungguh, bahwa nanti akan melayani lebih profesional dan bersih. Saya kira itu percuma. UU Cipta Kerja tidak akan mengundang investor putih, kalau tetap business as usual, tetapi yang datang barangkali hanya investor hitam,” tambah Maria.

Mengebiri Partisipasi Publik

Dalam naskah akademik UU 11/2020, dinyatakan bahwa masyarakat adalah salah satu penghambat investasi. Karena itulah, UU ini memutuskan pengurangan peran masyarakat dalam hal-hal terkait investasi, misalnya soal pengurusan AMDAL tadi. Paparan ini disampaikan Guru Besar Hukum Lingkungan UI, Prof Andri Gunawan Wibisana, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi ini.

Naskah akademik itu, lanjut Andri, juga meminta UU untuk tidak menghilangkan sama sekali peran masyarakat terkait AMDAL. Diingatkan pula kepada pemerintah, tentang kemungkinan reaksi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap perubahan yang akan dilakukan.

“Ada perubahan pada prosedur AMDAL. Pertanyaan saya, benarkah dipermudahnya perizinan akan menghapus kemungkinan korupsi? Kalau saya ragu. Yang pasti adalah terjadi memang beberapa pemangkasan, beberapa prosedur yang hilang,” kata Andri.

Ada tiga cara UU ini membatasi peran masyarakat terkait penyusunan AMDAL. Pertama, kata Andri, dinyatakan bahwa hanya masyarakat yang terkena dampak langsung saja yang harus disertakan dalam proses. Dalam UU Lingkungan, yang bisa mengambil peran adalah masyarakat terdampak, tanpa kata langsung. Andri khawatir, kata langsung itu merujuk hanya pada mereka yang tinggal bersebelahan langsung dengan lokasi usaha, yang perlu diikutsertakan.

Pengerdilan peran kedua adalah karena masyarakat hanya dilibatkan dalam konsultasi penyusunan. Padahal dulu, masyarakat mengajukan keberatan atas AMDAL dan menjadi anggota tim penilai. Cara ketiga adalah penghapusan kesempatan membawa AMDAL bermasalah ke pengadilan, karena telah ditiadakan dan diganti izin usaha.

UU Cipta Kerja Tak Akan Redam Korupsi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

Andri menilai, penurunan partisipasi masyarakat dalam perizinan usaha, tidak akan mengurangi korupsi.

“Sebenarnya obat bagi sistem perizinan yang buruk itu justru adalah peningkatan partisipasi publik, bukan dengan menguranginya, di sisi lain partisipasi publik dapat mempengaruhi pencegahan korupsi. Kalau publik makin terlibat disitu, itu bisa mencegah korupsi,” papar Andri. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG