Tautan-tautan Akses

WALHI Sumut Kecam Pembangunan PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli


Orangutan Tapanuli dengan bayinya di Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, Sumatra Utara, Indonesia. (Foto: Jonas Landolt / Program Konservasi Orangutan Sumatra via AP)
Orangutan Tapanuli dengan bayinya di Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, Sumatra Utara, Indonesia. (Foto: Jonas Landolt / Program Konservasi Orangutan Sumatra via AP)

Pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menuai kritik tajam. Wahana Lingkungan Hidup WALHI Sumatera Utara menilai banyak dampak buruk bagi lingkungan apabila pembangunan PLTA di lokasi rawan gempa itu dilanjutkan, salah satu diantaranya adalah terusiknya habitat orangutan Tapanuli.

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di kawasan hutan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), menimbulkan pro dan kontra. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memastikan pembangunan PLTA Batang Toru tidak akan mengganggu kelestarian orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis), namun Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut memprotes pernyataan itu.

WALHI Sumut mengatakan Kementerian LHK tidak memahami proses pembangunan dan pengoperasian proyek PLTA Batang Toru, serta tidak mempelajari rekam jejak konservasi hutan di Indonesia yang sangat buruk. Menurut Direktur WALHI Sumut, Dana Tarigan, masih banyak orangutan Tapanuli yang membuat sarang di sekitar lokasi pembangunan awal proyek.

WALHI Sumut Kecam Pembangunan PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:31 0:00

"Yang pasti pernyataan itu kita anggap prematur, karena belum punya kajian sama sekali. Dia hanya bilang tim kita sudah ke lapangan. Tim yang mana. Mereka investigasi di mana, dan hasilnya apa. Kajian komprehensifnya seperti apa. Itu tidak pernah kita temukan. Tapi mereka berani menyebut bahwa itu tidak mengganggu orangutan," ujar Dana kepada VOA di Medan, Sabtu (20/10).

Lokasi Pembangunan PLTA Merupakan Habitat Orangutan Tapanuli yang Paling Kaya

Lanjut Dana, orangutan Tapanuli adalah salah satu kera besar yang paling langka dan keberlangsungannya terus terancam karena jumlahnya kini kurang dari 800 ekor. Terancamnya habitat orangutan Tapanuli akibat pembangunan PLTA itu merupakan gangguan serius, jadi menurut Dana sangat keliru jika langsung menyimpulkan habitatnya tidak terganggu.

"Itu kami anggap seperti kelihatannya mewakili kepentingan perusahaan tapi bukan berada di tengah-tengah. Tapi kita melihat diduga lebih condong untuk kepentingan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Itu kenapa kita bilang mereka terlalu gegabah untuk mengklaim tidak ada masalah," ujar Dana.

WALHI Sumut juga menjelaskan bahwa lokasi pembangunan proyek sekarang ini merupakan habitat orangutan Tapanuli yang paling kaya dan termasuk Area Penggunaan Lain (APL) yang memang dialokasikan sebagai hutan lindung karena kondisi areal sangat terjal, tanah peka terhadap erosi, curah hujan yang tinggi, jika dilihat dari analisis kerentanan wilayah dan bahaya.

WALHI : PLTA Batang Toru Dibangun di Daerah Rawan Gempa

WALHI Sumut mengklaim mereka selalu mendorong energi terbarukan seperti PLTA, tetapi jika dampak buruk yang ditimbulkan lebih tinggi maka tidak akan segan-segan mengkritisi hal itu. Lebih jauh WALHI Sumut mendesak pemerintah untuk mempublikasi kajian, jika memang sudah dilakukan, sehingga masyarakat luas mengetahui dampak buruk apa yang akan terjadi jika pembangunan PLTA di jalur patahan Sumatera (patahan Toru/fault zone of toru) – lokasi yang dikenal rawan gempa – terus dilanjutkan.

"Mereka tidak punya kajian khusus untuk gempa itu, jadi itu juga berbahaya. Bisa saja patahan itu jadi akibat pembangunan ini, pasti semua akan cuci tangan. Yang menjadi persoalan adalah kelompok rentan yang terkena adalah masyarakat sekitar bukan pemilik perusahaan," ungkap Dana.

Tidak hanya itu, proyek swasta ini juga diprediksi akan mengganggu aliran sungai Batangtoru di sebelah hilir dari bendungan PLTA, yang berpotensi menimbulkan perubahan fungsi sungai dan meningkatkan debit air hingga dua kali lipat, yang bisa jadi akan memicu banjir.

Wiratno, salah seorang direktur di Kementerian Kehutanan Indonesia (tengah) memeriksa layar yang menampilkan peta Ekosistem Batang Toru di Sumatra Utara, dalam konferensi pers di Jakarta, 3 November 2017. (Foto: dok)
Wiratno, salah seorang direktur di Kementerian Kehutanan Indonesia (tengah) memeriksa layar yang menampilkan peta Ekosistem Batang Toru di Sumatra Utara, dalam konferensi pers di Jakarta, 3 November 2017. (Foto: dok)

Pengamat Lingkungan : Bukan Hanya Orangutan Yang Terancam, Tetapi juga Warga

Pengamat lingkungan, Jaya Arjuna, mengatakan permasalahan pembangunan PLTA Batang Toru bukan hanya terkait orangutan Tapanuli, tetapi juga fluktuasi (gejala turun-naik) air yang mengancam masyarakat sekitar.

"Selain orangutan itu ada masalah terkait dengan manusia. Itu adalah terjadinya fluktuasi air yang sangat besar. Itu standar airnya sekitar 60 sentimeter kubik per detik. Setelah 18 jam air dibendung menjadi 2,5 meter kubik per detik. Pada kondisi itu akan menjadi parit, seluruh kehidupan biota air akan mati. Nah, pada malam hari selama 6 jam berikutnya air itu menjadi 240 meter kubik per detik. Itu terlalu tinggi, jadi fluktuasi sudah 100 kali," sebut Jaya.

Akademisi di Universitas Sumatera Utara itu membenarkan kajian WALHI bahwa pembangunan PLTA berada di daerah pusat gempa, satu hal yang tidak dikaji otorita PLTA Batang Toru.

"Sebenarnya semua kajiannya harus dimasukan. Tapi mereka tidak masukan kajiannya. Artinya dokumennya tidak layak untuk diterima. Tapi kenapa diterima. Jadi kalau secara terukur fluktuasi air tidak dinyatakan sama sekali, dan bagaimana mengelolanya. Gempa, fluktuasi air, dan orangutan itu yang menjadi hal penting. Segala sesuatu kegiatan boleh dikerjakan asal dampaknya bisa ditangani. Kalau dampaknya belum bisa ditangani kegiatan itu harus dihentikan. Itu peraturan," tandasnya.

WALHI Serukan Pemerintah Tunda Pembangunan PLTA

WALHI Sumut telah meminta Kementerian LHK untuk menghentikan pembangunan proyek PLTA Batang Toru hingga ada kajian komprehensif dan informasi kepada publik. VOA belum berhasil menghubungi Kementerian LHK untuk meminta tanggapan atas seruan tersebut. [aa/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG