Tautan-tautan Akses

Salim Said: Konflik Mesir Dapat Ubah Peta Politik Islam


Protes di Tunisia dan Mesir mencerminkan keinginan rakyat akan kehidupan politik yang demokratis.
Protes di Tunisia dan Mesir mencerminkan keinginan rakyat akan kehidupan politik yang demokratis.

Menurut Salim Said, kalau Mesir bisa menjadi negara demokrasi maka terbantahlah anggapan negara Islam tak bisa menjadi negara demokrasi.

Konflik politik yang terjadi di Tunisia dan Mesir diyakini akan mengubah peta politik Islam di masa depan. Rakyat di negara-negara tertentu di kawasan Arab, tidak akan bertahan menghadapi pemimpin yang diktatur, sebagaimana yang pernah dialami Indonesia pada era Orde Baru.

Pengamat politik internasional, Salim Said, menilai apa yang terjadi belakangan ini di Tunisia dan Mesir mencerminkan keinginan rakyat akan kehidupan yang demokratis; sesuatu yang secara umum tidak terjadi di negara-negara Arab yang makmur. Kepada VOA, ia mengatakan pasti akan ada perubahan dalam peta politik di Arab dan di dunia Islam umumnya.

Salim Said mengatakan, “Menurut saya terjadi perubahan besar, Sebelumnya di Timur Tengah itu diktatur digulingkan oleh calon diktatur. Tapi sekarang, jika Mubarak terusir nanti, rakyat bisa menggulingkan diktatur. Ini akan mengilhami kawasan di negara itu yang demokratis. Yang agak lumayan sedikit itu Lebanon, yang lain ‘kan dipimpin sultan, emir, dan lain-lain. Kalau dia negara kaya, maka rakyatnya tidak akan berontak, tetapi kalau miskin seperti Tunisia dan Mesir, maka rakyat akan berontak. Yaman adalah contoh yang paling baik.”

Perubahan politik di Mesir akan banyak bergantung pada dua hal; Hosni Mubarak dan organisasi massa politik. Dua hal ini akan banyak melibatkan Amerika Serikat. Namun, satu hal yang menarik, kata Said, adalah keterlibatan Amerika Serikat, yang setidaknya dapat menekan Mesir untuk berlaku demokratis.

Menurut Salim, “Paling tidak kita bisa lihat Amerika selalu menyuarakan agar tentara jangan menganggu proses demokratisasi. Tapi kepentingan Amerika di Indonesia tidak sebesar di Mesir. Kepentingan Amerika di sana besar sekali."

Demokrasi di Mesir akan mematahkan anggapan bahwa negara Islam tidak bisa menjadi negara demokratis.
Demokrasi di Mesir akan mematahkan anggapan bahwa negara Islam tidak bisa menjadi negara demokratis.

Salim menambahkan, " Dan kalau Mesir bisa menjadi negara demokrasi maka terbantahlah anggapan negara Islam (seperti Mesir) tidak bisa menjadi negara demokrasi. Indonesia dan Turki sudah, tapi (kedua negara) kan bukan negara Islam.”

Dibandingkan dengan situasi Indonesia tahun 1998, Salim Said menilai konflik politik yang dihadapi Mesir dan Indonesia memiliki perbedaan; meskipun sama-sama dipimpin oleh presiden dengan latar belakang militer.

Selanjutnya, Salim menjelaskan, “Berbeda dengan tentara Amerika, Tentara Mesir itu sebagai satu institusi sebagaimana juga tentara di Turki. Sedangkan dwifungsi ABRI di Indonesia itu kekuatan politik yang terlembagakan dalam bentuk kekuatan sosial, politik, serta pertahanan dan keamanan dalam negeri.”

Sementara itu, Presiden Yudhoyono mengatakan, ia telah berkirim surat kepada Presiden Hosni Mubarak. Surat itu dititipkan kepada Ketua Satgas Evakuasi WNI, Hassan Wirajuda.

Menurut Presiden Yudhoyono, “Surat itu isinya adalah keinginan Indonesia untuk berbagi pengalaman ketika Indoneia mengalami hal yang sama 12 tahun lalu, dan kemudian kita berhasil melakukan transisi demokrasi dan membawa perubahan berakhirnya tata pemerintahan yang lama. Kita memilih cara ini dan berharap pesan ini sampai kepada pemerintah Mesir.”

Menyusul pernyataan Presiden Mubarak, yang tidak akan mengikuti pemilihan umum pada tahun 2011, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, Indonesia akan selalu mendukung proses transisi di Mesir untuk perdamaian dan kemajuan demokrasi bagi rakyat di negara itu.

Bentrokan di Kairo bermula pada awal Februari, ketika massa mengadakan demonstarsi menuntut pengunduran diri Presiden Mubarak. Kerusuhan itu telah memakan korban tewas 300 orang dan melukai puluhan ribu lainnya.

XS
SM
MD
LG