Tautan-tautan Akses

Regulasi Lemah, Kampanye Ideologi Tak Terbendung


Ilustrasi - Pengelola Ponpes membandingkan foto pendiri Ponpes Abdullah Baraja dengan ketua Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja saat ditemui di kompleks Ponpes, Rabu (8/6). (Foto : VOA / Yudha Satriawan)
Ilustrasi - Pengelola Ponpes membandingkan foto pendiri Ponpes Abdullah Baraja dengan ketua Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja saat ditemui di kompleks Ponpes, Rabu (8/6). (Foto : VOA / Yudha Satriawan)

Untuk mencegah terus berkembangnya kelompok yang mengajarkan paham atau pemikiran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila maka diperlukan aturan yang mengatur tentang hal itu. 

Sedikitnya 23 anggota kelompok Khilafatul Muslimin telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga kuat hendak menyebarluaskan berita bohong dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Hal ini disampaikan Karopenmas Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan kepada wartawan di Jakarta, hari Selasa (14/6).

Mereka yang dijadikan tersangka ini merupakan bagian dari penggerak konvoi sepeda motor yang menyerukan kebangkitan khilafah di beberapa kota pada akhir Mei lalu. Lewat situsnya kelompok ini juga menegaskan hanya khilafah yang dapat memakmurkan dan menyejahterakan rakyat.

Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan kepada VOA, Senin (13/6) mengatakan kampanye ideologi khilafah yang dilakukan secara terang-terangan oleh Khilafatul Muslimin ini disebabkan karena lemahnya regulasi negara yang mengatur paham yang bertentangan dengan idiologi Pancasila.

Tema-tema khilafah yang saat ini mulai ramai kembali selalu berlindung atas nama kebebasan berpendapat dan demokrasi sehingga mereka menggunakan hal ini untuk menyampaikan propagandanya.

Regulasi Lemah, Kampanye Ideologi Tak Terbendung
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:53 0:00

Untuk itu kata Ken sudah saatnya ada aturan yang melarang adanya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Selain itu, Kementerian Agama juga perlu mengeluarkan sertifikasi bagi penceramah, yang dapat menyaring penceramah yang moderat dan materi yang disampaikan, serta melacak lokasi tempat-tempat ibadah di mana mereka berceramah.

"Agar orasi-orasi keagamaan di tempat ibadah itu menyejukkan. Selama ini, mereka itu (yang berpaham radikal) masuk lewat tempat ibadah. Ujaran-ujaran kebencian, jangan ikuti ulama yang mendukung pemerintah, ikuti ulama yang dibenci sama pemerintah. Ini kan bahaya," ujar Ken.

Ken menilai Khilafatul Muslim murni berideologi NII yang sedang mencari pasar lebih luas untuk perekrutan dengan konsep khilafah. Dia menekankan perbedaan konsep khilafah yang diusung kelompok Khilafatul Muslimin dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Jika HTI ingin mengubah ideologi negara dengan cara kudeta atau menginfiltrasi kalangan aparat TNI dan Polri; maka Khilafatul Muslimin bergerak dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dan simpatisan, yang kelak diminta memilih untuk tetap berideologi Pancasila atau menggantinya dengan system khilafah. Belum ada informasi tentang apa yang akan terjadi ketika anggota memilih tetap pada ideologi Pancasila.

Meski begitu, Ken menegaskan pemerintah dan aparat keamanan tidak boleh menganggap enteng keberadaan Khilafatul Muslimin, karena meskipun belum banyak anggota yang tertangkap melakukan aksi terror, tetapi telah memiliki pemikiran yang sama, yaitu membenci Pancasila dan demokrasi. Menurut Ken, mereka berpotensi menjadi teroris ketika berhasil digaet oleh Jamaah islamiyah, Jamaah Ansharud Daulah atau jaringan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).

Diwawancarai secara terpisah, Ketua Program Studi Kajian Terorisme dari Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah mengatakan akar dari terorisme adalah ideologi. Undang-Undang Terorisme yang ada saat ini baru bisa menjangkau apabila ideologi tersebut dimanifestasikan dalam bentuk perencanaan, persiapan dan pelatihan sehingga ini menjadi celah hukum.

“Menjadi celah hukum dimana sampai hari ini aparat penegak hukum tidak memiliki kerangka yang cukup jelas, yang cukup legitimatif untuk menyatakan bahwasanya idiologi yang berlainan dengan Pancasila di negara kita itu dilarang. Akhirnya tidak menggunakan UU yang sifatnya spesifik, yang dipakai kan UU ITE, penyebaran berita bohong belum spesifik terorisme,”kata Syauqillah.

Hal ini seperti yang terjadi pada pimpinan Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja yang telah ditetakan sebagai tersangka dan dijerat dengan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Karopenmas Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan. (Foto Courtesy : Polda Metro Jaya)
Karopenmas Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan. (Foto Courtesy : Polda Metro Jaya)

Syauqillah mengingatkan aturan hukum terkait ideologi ini harus jelas dan tegas, serta sejalan dengan aturan-aturan tentang hak asasi manusia yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Kemasyarakatan Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, ketika ada kemunculan NII, Polri dan Densus 88 terus memantau organisasi-organisasi yang berpotensi radikal dan bisa mengarah pada terorisme.

"Kita harus tahu, harus memiliki bukti yang benar-benar cukup di mana kegiatan-kegiatan itu sudah berpotensi untuk melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi mengancam keamanan negara. Namun pemantauan itu terus dilakukan," ujar Ramadhan.[fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG