Tautan-tautan Akses

Penyelesaian Kasus Pelecehan Seksual di USU Lambat, Mahasiswa Protes


Mahasiswi Universitas Sumatera Utara (USU) saat melakukan unjuk rasa melawan tindak pelecehan seksual di kampus, Jumat (21/6). (VOA/Anugrah Andriansyah)
Mahasiswi Universitas Sumatera Utara (USU) saat melakukan unjuk rasa melawan tindak pelecehan seksual di kampus, Jumat (21/6). (VOA/Anugrah Andriansyah)

Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum dosen terhadap mahasiswi di Universitas Sumatera Utara (USU) belum menemui titik terang. Lambatnya penanganan kasus itu membuat mahasiswa melancarkan protes dan menyerukan pihak kampus secepatnya memberikan keadilan pada mahasiswi penyintas pelecehan seksual itu.

Medan, Sumatera Utara (VOA) – Gelombang protes terus berdatangan dari kalangan mahasiswa yang prihatin terhadap lambatnya penyelesaian dugaan kasus pelecehan di kampus ternama di Sumatera Utara itu. Mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Aspirasi Masyarakat (KAM) Rabbani USU, hari Jumat (21/6) mendorong pihak kampus mempercepat penanganan dan memberi perlindungan pada mahasiswi penyintas pelecehan seksual itu. Ketua kelompok itu, Mahlil Rizki Lubis, mengatakan kepada VOA “ada tindak penekanan dari civitas akademika, bahkan psikologis korban terancam. Kami menuntut supaya kampus ini melindungi psikologis korban baik dari civitas akademika yang ada di USU.”

Lanjut Mahlil, rektor USU juga harus membuat regulasi atau peraturan khusus yang membahas masalah pelecehan seksual. Regulasi tersebut diharapkan bisa mencegah adanya tindakan pelecehan seksual terjadi di civitas akademika USU.

“Kalau tidak ada peraturannya terkait pelecehan seksual ini maka akan terus-terusan (terjadi). Makanya kami menuntut adanya regulasi terkait pelecehan seksual di kampus ini. Lalu, kami menuntut adanya surat rekomendasi ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenrisetdikti) yang dikeluarkan rektor untuk pemecatan dosen yang menjadi pelaku pelecehan seksual ini,” sebut Mahlil.

Organisasi Mahasiswa Nilai USU Berusaha Tutupi Kasus Dugaan Pelecehan Seksual

Hal senada juga disampaikan Presiden Mahasiswa USU, Muhammad Iqbal Harefa. Ia secara terang-terangan mengatakan pihak kampus berusaha menutup rapat-rapat kasus dugaan pelecehan seksual di USU itu. Lambatnya penyelesaian kasus dugaan pelecehan seksual tersebut menjadi alasannya.

“Kita melihat ini menjadi masalah besar karena kami kira masalah ini benar dituntaskan secara hukum dan internal kampus, tapi ternyata tidak. Masalah ini masih dibiarkan, dan saya dengar kabar bahwa dosen tersebut masih mengajar. Artinya, birokrasi tidak menganggap ini serius. Makanya kami memutuskan untuk turun kembali melakukan aksi menuntut dekan memberikan rekomendasi kepada rektor untuk pemecatan terhadap pelaku,” ucap Iqbal.

Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) saat menandatangani seruan penolakan terhadap tindak pelecehan seksual di kampus, Jumat (21/6). (VOA/Anugrah Andriansyah)
Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) saat menandatangani seruan penolakan terhadap tindak pelecehan seksual di kampus, Jumat (21/6). (VOA/Anugrah Andriansyah)

Apabila pihak kampus masih belum bisa menyelesaikan kasus dugaan pelecehan seksual ini secepatnya, para mahasiswa yang tergabung dari berbagai aliansi akan melakukan aksi demo besar-besaran di depan gedung rektor USU. Pasalnya, jika kasus ini dibiarkan Iqbal menilai moralitas kampus akan rusak.

“Mulai Senin kami akan buka diskusi terbuka untuk pembelajaran mahasiswa agar lebih cerdas melihat kasus-kasus seperti ini. Kalau dibiarkan moralitas kampus akan bobrok. Setelah melakukan diskusi kami dari Pema USU akan mengajak seluruh aliansi untuk bersatu melakukan aksi yang besar untuk menuntut rektor mengambil sikap. Karena hari ini rektor masih diam,” jelas Iqbal.

Wakil Rektor USU Baru Tahu Setelah Disurati LSM

Sebelumnya pada hari Selasa (18/6), Wakil Rektor I USU, Rosmayati mengaku awalnya tidak mengetahui adanya kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di tingkat fakultas. Pihak rektor baru mengetahui kasus ini setelah disurati oleh LSM yang menjadi pendamping mahasiswi itu.

“Kemarin kasusnya masih di fakultas. Kami tidak tahu apa-apa ketika ini muncul pada Mei 2019. Lalu, dekan telepon saya soal kasus ini. Saya tidak tahu kasus ini. Karena kasus ini sebenarnya bisa diselesaikan di tingkat fakultas. Kami tidak tahu itu, tiba-tiba kami disurati oleh LSM. Jadi, kami bingung, dan terkejut apa ini kejadiannya. Padahal kasus ini di tingkat fakultas menurut dekan sudah selesai,” ungkap Rosmayati.

Pihak rektor USU sangat menyayangkan soal mahasiswi penyintas pelecehan seksual tersebut lebih memilih melaporkan kasus ini ke pihak eksternal kampus. Padahal kasus ini bisa diselesaikan di tingkat universitas. Menurut Rosmayati, mahasiswi penyintas pelecehan seksual bisa melaporkan kasus ini ke tingkat universitas jika penyelesaian di fakultas tak sesuai harapan.

“Masalah puas atau tidak itu tergantung dengan si korban. Ternyata si korban enggak puas, dan tidak melaporkan ke tingkat universitas. Tidak ada pernah laporan dari korban itu tidak puas dengan tindakan yang dibuat dekan ke tingkat universitas,” tutur Rosmayati.

Wakil Rektor USU: Tak Ada Bukti atau Sanksi yang Memberatkan Tersangka Pelaku

Rosmayati juga menjawab perihal sanksi yang diberikan fakuktas terhadap dosen terduga pelaku pelecehan seksual hanya berupa teguran keras. Tidak adanya bukti dan saksi membuat pihak fakultas hanya memberikan sanksi biasa terhadap dosen yang dituduhkan tersebut.

“Menurut dekan tidak ada saksi yang melihat perilaku si pelaku. Dekan tahu hanya pengakuan si pelaku dan korban. Saya kira dari sisi positifnya kita sudah bisa ambil bahwa pelaku ada indikasi berniat baik. Dia (dosen) mau mengakui padahal saksi tidak ada. Barang bukti juga tidak ada. Kalau ada barang buktigampang membuat sanksi. Tapi ini tidak ada. Jadi win-win solution hanya diberi peringatan keras oleh pelaku,” jelas Rosmayati.

Saat ini pihak rektor USU menyebut tidak ada laporan masuk dari mahasiswi penyintas pelecehan seksual. Pihak rektor USU masih menunggu laporan tertulis dari mahasiswi penyintas pelecehan seksual tentang keberatan atas sanksi yang diberikan oleh fakultas terhadap dosen terduga pelaku.

“Di tingkat universitas itu tadi, tidak ada laporan apapun. Jadi kalau tidak puas buat laporan ke sini. Kita punya mekanisme, ada kode etik untuk dosen dan mahasiswa. Tapi kenapa si mahasiswi ini tida melapor ke kami? Kenapa melapor ke LSM?” tanya Rosmayati.

Minta Perbaikan Nilai Mata Kuliah, Flora Mengaku Dilecehkan Secara Seksual

Seperti diberitakan sebelumnya, peristiwa kelam yang dialami Flora (mahasiswi penyintas pelecehan seksual) pada awal 2018 bermula ketika ia ingin meminta perbaikan nilai mata kuliah yang diampu HS (dosen terduga pelaku pelecehan seksual). HS menyetujui permintaan perbaikan nilai mata kuliah itu, namun terlebih dulu mengajak Flora meninjau lokasi penelitian.

Flora tak langsung menerima ajakan itu. Ia menanyakan kepada beberapa senior tentang ajakan HS dan kepribadian dosen itu. Diketahui dosen itu memang kerap mengajak mahasiswa ke lokasi penelitian. Ia pun akhirnya menyetujui ajakan HS ke lokasi penelitian yang kebetulan tak jauh dari kampung halaman Flora.

Pada 3 Februari 2018, Flora pergi bersama HS. Dalam perjalanan menuju lokasi penelitian, awalnya HS tak menunjukkan gelagat buruk. Namun ketika jalanan sepi, HS mulai melakukan tindakan tak senonoh dengan meraba bagian vital dan bokong Flora. Saat itu Flora diselimuti rasa takut akan dibunuh jika melawan, sehingga ia mencoba berlindung dengan menutupi badannya dengan jaket dan tas.

Lantas Flora mencoba mencari pertolongan dengan mengirim pesan singkat ke temannya melalui sebuah aplikasi. Dalam pesan tersebut, Flora hanya bisa menuliskan kalimat "Tolong Aku". Namun ia tak berani mengangkat panggilan video temannya. Tindakan cabul tersebut terus berulang terjadi saat dalam perjalanan menuju lokasi penelitian.

Kemudian, Flora meminta kepada HS untuk diturunkan di sebuah lokasi. Flora beralasan ingin ke rumah temannya. Padahal di lokasi diturunkannya tersebut bukan rumah teman Flora. Upaya itu dilakukan Flora agar dirinya bisa terhindar dari tindakan cabul HS. Setelah turun dari mobil, HS memberikan uang Rp 200 ribu untuk ongkos pulang Flora. Awalnya Flora enggan menerima uang tersebut. Namun karena dipaksa, akhirnya Flora menerima uang itu dan langsung pergi menjauh dari HS.

Setelah kejadian tersebut, Flora melaporkan tindakan HS ke jurusan. Namun, apa yang terjadi kemudian tak berpihak kepada Flora. Ia hanya diberi bukti foto surat skorsing terhadap HS, tanpa kop surat dan stempel resmi universitas. Itulah sebabnya kini Flora menuntut keadilan. (aa/em)

Recommended

XS
SM
MD
LG