Tautan-tautan Akses

Penutupan Jaringan Medsos: Membungkam Suara atau Meredam Hoaks?


Hanya sebagian fitur media sosial dan aplikasi pengiriman pesan yang dibatasi sementara di Indonesia, beberapa saat setelah pengumuman pemenang Pilpres 2019. (Foto: ilustrasi).
Hanya sebagian fitur media sosial dan aplikasi pengiriman pesan yang dibatasi sementara di Indonesia, beberapa saat setelah pengumuman pemenang Pilpres 2019. (Foto: ilustrasi).

Beberapa jam setelah merebaknya aksi demonstrasi memprotes pengumuman rekapitulasi suara nasional KPU Selasa dini hari (21/5) yang berbuntut kerusuhan di beberapa lokasi di Jakarta, otorita berwenang membatasi sementara akses dan penyebaran media sosial di seluruh Indonesia.

Menkopolhukam Wiranto, ketika mengumumkan kebijakan ini hari Rabu (22/5) mengatakan hal ini terpaksa dilakukan “untuk menghindari provokasi dan berita bohong kepada masyarakat luas”. Hal senada disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, yang menggarisbawahi bahwa keputusan ini sudah sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Sebagian pihak memuji langkah cepat membatasi akses dan penyebaran media sosial – yaitu Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp dan Line – sebagai upaya tepat meredam berita bohong atau hoaks yang meresahkan. Tetapi tidak sedikit pula yang mengkritisinya, antara lain Institute Criminal Justice Reform ICJR dan (Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

ICJR dan AJI Protes Pembatasan Akses Media Sosial

Dalam pernyataan tertulis hari Rabu (22/5), ICJR, badan peneliti independen yang memusatkan perhatian pada isu aturan hukum pidana dan reformasi hukum itu, mengatakan “pembatasan ini bertentangan dengan hak berkomunikasi, hak memperoleh informasi dan kebebasan berekspresi.” Pemerintah, menurut ICJR, sedianya mengkaji batasan yang jelas agar tidak peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas.

Pada hari yang sama AJI mendesak pemerintah untuk segera mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial, yang dinilai telah melanggar Pasal 19 Deklarasi Hukum HAM. “Kami menyadari bahwa langkah pembatasan ini ditujukan untuk mencegah meluasnya informasi yang salah demi melindungi kepentingan umum, namun kami menilai langkah pembatasan ini juga menutup akses masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar.”

Pengamat : Kebebasan Tidak Diberangus, Hanya Medium Penyebaran Disinformasi dan Hate Speech yang Diminimalkan

Namun pengamat komunikasi dan budaya digital Dr. Firman Kurniawan menilai pembatasan sementara akses dan penyebaran informasi di media sosial itu sebagai hal yang wajar saja.

“Kalau shutdown seluruh media sosial selamanya, itu baru masalah. Ini khan cuma WhatsApp, Instagram. Itu pun sementara, menunggu keadaan lebih sejuk. Warga masih dapat memakai IG Talk, VPN dan lain-lain. Ketika berbicara tentang medium digital, peluang menggunakan konten multimedia dan multi-platform untuk informasi sangat luas. Persoalannya tinggal inovasi memproduksi konten,” ujarnya ketika dihubungi VOA melalui telepon.

Lebih jauh Firman Kurniawan menyerukan semua pihak agar “jangan terlalu cepat mengindikasikan pemerintah otoriter, memberangus kebebasan berpendapat. Kebebasannya tidak diberangus. Hanya medium penyebaran disinformasi dan hate speech yang diminimalkan.”

Banyak Negara Batasi Akses Media Sosial karena Beragam Alasan

Banyak negara yang membatasi akses dan penyebaran informasi di media sosial, baik karena ingin meredam penyebarluasan berita bohong atau hoaks dan pernyataan-pernyataan bernada kebencian – sebagaimana yang terjadi di Indonesia minggu lalu, maupun karena memang bertujuan untuk mengendalikan informasi yang bisa diakses publik; baik untuk sementara waktu maupun permanen.

China adalah salah satu negara yang memiliki sejarah panjang membatasi akses informasi atas media, termasuk media sosial. The Great Firewall of China dibentuk dengan satu tujuan, yaitu memblokir situs-situs dan aplikasi yang tidak disukai pemerintah, termasuk aplikasi VPN. Baru-baru ini China bahkan memblokir layanan game online Twitch, yang mulai populer di kalangan anak muda. Satu-satunya situs media sosial yang diijinkan pemerintah China adalah Weibo.

Turki merupakan negara lain yang membatasi akses pada media sosial, terutama Twitter. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan menilai Twitter telah disalahgunakan oleh mereka-mereka yang memusuhinya, dan sempat menutup akses Twitter di negara itu pada tahun 2014. Setahun kemudian Facebook dan YouTube juga masuk dalam daftar media sosial yang tidak dapat diakses publik. Meskipun akhirnya pemblokiran terhadap Twitter dicabut, banyak pihak masih khawatir akan masa depan Facebook dan YouTube di negara itu.

Pada tahun 2009 Vietnam sempat memblokir akses Facebook selama satu minggu. Meskipun ketika itu tidak ada satu pejabat pemerintah yang bersedia mengukuhkan pemblokiran tersebut, kebijakan semacam ini masih kerap diterapkan untuk menyurutkan niat warga mengkritisi orang nomor satu di negara itu.

Aktivitas Facebook Indonesia turun drastis sejak tanggal 21 Mei (waktu Washington, DC)
Aktivitas Facebook Indonesia turun drastis sejak tanggal 21 Mei (waktu Washington, DC)

Menurut Dr. Firman Kurniawan, banyak negara yang membatasi sementara atau bahkan memblokir sepenuhnya akses pada media sosial. Selain China, Turki dan Vietnam, ada pula “Korea Utara, Iran, Eritrea, Arab Saudi, Bangladesh, Suriah, Turkmenistan, Vietnam, Myanmar hingga Ethiopia” yang masih mengeluarkan kebijakan yang tidak populer ini. Ketika negara-negara lain memblokir akses pada media sosial dalam waktu panjang atau permanen, “pemerintah Indonesia cenderung lebih membatasi pengiriman informasi, itu pun yang berbentuk gambar dan video,” ujarnya.

Penggunaan Facebook di Indonesia Minggu Lalu Anjlok hingga 94,9%

Analisa data VOA menunjukkan sepanjang pembatasan akses dan penyebaran informasi di media sosial pada 21-24 Mei lalu, aktivitas di Facebook terkait pemilu di Indonesia anjlok drastis hingga 94,9% dan di Instagram turun hingga 91,9%.

Dr. Firman Kurniawan, pengamat komunikasi dan budaya digital. (Courtesy Photo)
Dr. Firman Kurniawan, pengamat komunikasi dan budaya digital. (Courtesy Photo)

Lebih jauh Firman Kurniawan memaparkan “argumentasi negara pemblokir dan penyensor sosial media adalah karena dinilai menyebarkan informasi yang bertentangan dengan pemerintah yang sah. Sementara yang dilakukan Indonesia minggu lalu lebih untuk membatasi derasnya lalu lintas hoaks dan kebencian. Ini dinilai penting karena literasi masyarakat supaya dapat mem-filter kedua bentuk informasi itu, cenderung rendah,” tambahnya.

Pembatasan Akses Media Sosial Dicabut, Tapi Penyebaran Hoaks Kini Dipantau Ketat

Dirjen Aplikasi Informatika di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan pembatasan akses penyebaran gambar dan video di media sosial telah dicabut sejak Sabtu siang (25/5), meskipun ia tetap memantau penyebaran informasi bohong di platform tersebut. “Temuan kami ada 30 hoaks yang dibuat dan disebarkan lewat 1.932 url. Ada di Facebook (450 url), Instagram (591 url), Twitter (784 url) dan 1 di LinkedIn. Ini semua tetap kita pantau,” ujar Semuel di kantor Menkopolhukam hari Sabtu.

Lebih jauh Kominfo mengatakan akan menerbitkan aturan baru yang mengharuskan penyelenggara sistem dan transaksi elektronik untuk secara aktif membersihkan berita bohong.

“Idealnya, mana kala ada tindakan pembatasan akses terhadap medium informasi masyarakat, ada organisasi/lembaga independen yang dapat mengevaluasi pelaksanaan pembatasan tersebut agar tidak disalahgunakan untuk memberangus perbedaan,” ujar Dr. Firman Kurniawan ketika diwawancarai VOA akhir pekan lalu. Dan menurutnya tidak ada pihak yang lebih baik untuk mengevaluasi pembatasan itu kecuali publik, masyarakat pengguna media sosial. [em]

Recommended

XS
SM
MD
LG