Tautan-tautan Akses

Nakes Gugur: Terus Bertambah, Bukan Sekadar Angka


Petugas memakai baju hazmat dalam pemakaman Guru Besar UGM Prof Iwan Dwiprahasto di Makam Sawitsari Yogyakarta, Selasa, 24 Maret 2020. (Foto: Courtesy/Humas UGM)
Petugas memakai baju hazmat dalam pemakaman Guru Besar UGM Prof Iwan Dwiprahasto di Makam Sawitsari Yogyakarta, Selasa, 24 Maret 2020. (Foto: Courtesy/Humas UGM)

Dalam waktu dua bulan, Inriaty Karawaheni kehilangan dua orang tercinta. Putranya, dr Berkatnu Indrawan Janguk, meninggal akhir April 2020 setelah 22 hari dirawat di rumah sakit. Sedangkan akhir Juni, suaminya Suriawan Prihandi yang juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah tutup usia. Keduanya wafat karena sebab yang sama, terinfeksi virus corona.

Inriaty menceritakan kepedihan hatinya, ketika hadir dalam pertemuan daring yang digagas LaporCovid19, Sabtu (5/9).

Inriaty Karawaheni yang kehilangan putra dan suaminya dalam pandemi ini dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Inriaty Karawaheni yang kehilangan putra dan suaminya dalam pandemi ini dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Indra, mama bangga kepadamu. Mama sayang, tetapi Tuhan lebih sayang kepadamu. Terimakasih sudah kau tunjukkan baktimu sebagai seorang dokter, walaupun sangat singkat sekali. Cita-cita sejak kecil untuk melayani sesama, sudah kau jalani,” kata Inriaty sambil terisak.

Inriaty, dan anak keduanya juga dinyatakan positif Covid 19, tetapi berhasil sembuh setelah menjalani perawatan.

Prof. Adi Utarini, istri Prof. Iwan Dwiprahasto juga hadir memberi kesaksian. Iwan wafat pada akhir Maret 2020, juga karena virus corona. Suami-istri ini adalah Guru Besar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Petugas memakai baju hazmat dalam pemakaman Guru Besar UGM Prof Iwan Dwiprahasto di Makam Sawitsari Yogyakarta, Selasa 24 Maret 2020. (Foto: Courtesy/Humas UGM)
Petugas memakai baju hazmat dalam pemakaman Guru Besar UGM Prof Iwan Dwiprahasto di Makam Sawitsari Yogyakarta, Selasa 24 Maret 2020. (Foto: Courtesy/Humas UGM)

“Kami, kita, kehilangan seorang akademisi, yang berupaya memberikan yang terbaik untuk Indonesia, negeri yang dicintainya. Semoga inspirasinya selalu hidup di tengah-tengah kita dan mohon dimaafkan segala khilafnya,” papar Adi Utarini.

Terus Bertambah, Tidak Sekadar Angka

Acara ini digelar LaporCovid19 untuk menandai enam bulan pandemi virus corona di Indonesia. Dipersembahkan kepada tenaga kesehatan yang gugur selama pandemi, pertemuan ini mengambil tajuk “Enam Bulan Mencatat Kematian: Mereka Bukan Hanya Angka.”

Sejumlah kisah lain juga dibagikan, oleh anak yang mengenang orangtua mereka yang menjadi dokter, atau para dokter sendiri yang mencatat jasa besar dosen-dosen mereka. Seperti diketahui, sejumlah dokter yang wafat adalah juga pengajar kedokteran di berbagai universitas di Indonesia. Duka menjadi lebih dalam, karena tidak mudah mencari pengganti untuk dokter-dokter senior dari perguruan tinggi, yang berkarir untuk melahirkan generasi baru tenaga kesehatan di tanah air.

Prof. dr. Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pun tak mampu menahan rasa sesak ketika mengenang kepergian rekan-rekannya.

Ketua Satgas Covid -9 PB IDI, Prof dr Zubairi Djoerban, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Ketua Satgas Covid -9 PB IDI, Prof dr Zubairi Djoerban, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Satu persatu sejawat meninggalkan kami akibat pandemi yang memang mendadak, sehingga kita semua tidak siap. Dan walaupun siap karena merasa ada berkewajiban menolong, akhirnya kita bisa tertular. Salut kepada sejawat yang sudah berjuang di garis depan,” kata Zubair

Zubairi menambahkan semakin banyak tenaga media yang meninggal, jam kerja rekan-rekan mereka menjadi lebih panjang. Kondisi itu menimbulkan kelelahan secara emosi, fisik, dan mental. Lebih memprihatinkan lagi, tidak ada seorangpun yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir.

Sedikitnya 104 Dokter Wafat

Menurut PB IDI, data mencatat terdapat 104 dokter yang telah wafat akibat infeksi virus corona. Angka itu dicatat sejak kemunculan kasus pada 2 Maret hingga 2 September 2020. Para dokter yang wafat merata di seluruh Jawa, di sejumlah provinsi di Sumatera dan Kalimantan, kemudian Bali, NTB hingga Papua Barat.

Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, dr. Herlin Ferliana dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, dr. Herlin Ferliana dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Salah satu provinsi dengan jumlah kematian tenaga medis cukup tinggi adalah Jawa Timur. Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, dr. Herlin Ferliana membagikan catatannya dalam forum ini. “Enam bulan pandemi ini , 67 tenaga kesehatan wafat di Jawa Timur, data per 3 September 2020,” kata Herlin.

Herlin merinci catatannya yang mengurai ada 27 dokter, 25 perawat, sembilan bidan, dan tenaga kesehatan dari sejumlah profesi yang meninggal di Jawa Timur. Hingga 4 September, provinsi itu mencatatkan 35.005 kasus positif, dengan 27.401 pasien berhasil sembuh, dan 2.488 meninggal.

Saat ini, berbagai rumah sakit di Jawa Timur masih harus merawat 5.116 pasien positif Covid-19. Herlin menyebut, ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan menjadi penyebab kasus terus bertambah.

“Pekerjaan sulit untuk membuat masyarakat patuh, tetapi lebih sulit lagi menangani yang sakit, karena begitu banyak resiko yang harus ditanggung,” kata Herlin.

Pusara Digital dimana para Nakes yang sudah meninggal dikenang dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Pusara Digital dimana para Nakes yang sudah meninggal dikenang dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Pusara Digital untuk Belajar

Dalam kesempatan ini, LaporCovid19 juga meluncurkan Pusara Digital, sebuah pusat dokumentasi bagi korban virus corona. Para “peziarah” dapat datang ke setiap pusara korban dan berbagi kenangan. Catatan para peziarah ini juga melengkapi sisi hidup para nakes dari sudut pandang rekan-rekan mereka secara pribadi.

Sementara ini, pusara menyimpan catatan bagi korban dari kalangan tenaga kesehatan. Namun tidak menutup kemungkinan, akan berkembang bagi seluruh korban pandemi ini di Indonesia.

Salah satu inisiator LaporCovid19, Ahmad Arif, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Salah satu inisiator LaporCovid19, Ahmad Arif, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Salah satu inisiator LaporCovid19, Ahmad Arif menekankan perlunya masyarakat mengingat pandemi ini sebagai bahan belajar. Dia mengutip kisah tsunami dan masyarakat Simeuleu di Aceh. Ingatan pada sejarah tsunami membuat masyarakat di pulau ini selamat dari bencana pada 2004 lalu.

Karena itulah, kata Arif, sejarah tidak boleh dilupakan.

“Kita mesti belajar dan berubah. Tragedi kali ini harus dicatat dengan baik dan jadi pelajaran bukan hanya bagi kita saat ini, tetapi juga bagi generasi setelah kita. Pusara digital ini kami harapkan menjadi semacam museum pengetahuan, tempat kita mengingat dan berefleksi tentang mereka yang gugur dalam pandemi kali ini,” ujar Arif.

Mantan Menteri Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saefuddin memberi sentuhan mendalam terkait wafatnya para tenaga kesehatan. Kepada mereka, kata Lukman, kita bisa belajar mengenai komitmen, dedikasi, kasih sayang, pengalaman ilmu, penunaian sumpah profesi, juga makna hidup, dan kemanusiaan.

Mantan Menteri Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saefuddin dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Mantan Menteri Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saefuddin dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Kematian hakekatnya adalah nasihat. Para bijak mengatakan ada dua nasihat, nasihat dalam bentuk kata-kata itulah kitab suci agama kita, dan nasihat yang diam, itulah kematian. Gugurnya para pahlawan tenaga kesehatan kita itu sesungguhnya telah memberikan nasihat yang luar biasa, pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua,” kata Lukman.

Para peziarah digital dapat menuliskan kenangan mereka di laman ini dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Para peziarah digital dapat menuliskan kenangan mereka di laman ini dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

"Elegi,” Potret Tenaga Kesehatan Saat Pandemi

Untuk seluruh tragedi selama pandemi ini, sastrawan Joko Pinurbo, menulis sebuah puisi berjudul "Elegi" yang secara indah memotret apa yang terjadi pada tenaga kesehatan. Berikut pusi tersebut:

Ia tak sempat mengingat ini hari apa, tanggal berapa

Ketika matanya yang letih masih berjaga di malam buta

Ia tak sempat bertanya kamu siapa, agamamu apa

Ketika raganya yang lelah masih berjuang menyelamatkan nyawa pasien-pasiennya

Ia tak sempat berpikir, kapan bisa pulang dan makan bersama keluarga

Ketika virus misterius itu diam-diam telah menggerogoti tubuhnya

Ia tak sempat bersedih

Ketika sepi yang setia, menjemputnya di rumah sakit dan mengajaknya ke cakrawala

Ia tak sempat membayangkan, pohon mawar kesukaannya akan tumbuh subur di atas makamnya. [ns/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG