Tautan-tautan Akses

Museum Korban ‘lynching’ Pertama Dibuka di Amerika


Patung tembaga yang diberi judul "Raise Up," salah satu karya yang dipamerkan di Memorial Nasional untuk Perdamaian dan Keadilan, museum baru untuk menghormati para korban "lynching," Senin, 23 April 2018, di Montgomery, Alabama.
Patung tembaga yang diberi judul "Raise Up," salah satu karya yang dipamerkan di Memorial Nasional untuk Perdamaian dan Keadilan, museum baru untuk menghormati para korban "lynching," Senin, 23 April 2018, di Montgomery, Alabama.

Tangisan dan kesedihan terdengar dan tampak dalam acara pembukaan tugu peringatan ribuan warga kulit hitam korban pembunuhan di negara bagian Alabama, bagian selatan Amerika.

Ratusan orang tampak antre dalam siraman hujan untuk menyaksikan museum dan peringatan para korban pembunuhan massal yang dibangun di Montgomery.

Kantor berita Associated Press melaporkan Memorial Nasional untuk Perdamaian dan Keadilan itu memperingati 4.400 warga kulit hitam yang mati digantung dalam pembunuhan rasial oleh gerombolan warga kulit putih pada 1877-1950. Nama-nama korban, kalau masih diketahui, diukirkan pada 800 batang tiang baja persegi empat yang digantungkan dari langit-langit bangunan museum itu.

Bagian dari barang-barang yang dipamerkan Memorial Nasional untuk Perdamaian dan Keadilan untuk menghormati korban lynching, Senin, 23 April 2018, di Montgomery, Alabama.
Bagian dari barang-barang yang dipamerkan Memorial Nasional untuk Perdamaian dan Keadilan untuk menghormati korban lynching, Senin, 23 April 2018, di Montgomery, Alabama.

Jumlah tiang baja mencerminkan 800 kabupaten tempat terjadi pembunuhan yang disebut “lynching.” Korban lynching adalah warga kulit hitam yang dianggap melakukan kejahatan atau menghina orang-orang kulit putih. Mereka ditangkap secara beramai-ramai, disiksa dan kemudian digantung di pohon di pinggir jalan.

Banyak pengunjung menitikkan air mata sambil menatap tiang-tiang baja yang tergantung itu.

Toni Battle mengendarai mobil dari San Francisco untuk menghadiri pembukaan museum itu. “Saya adalah keturunan tiga orang korban lynching,” katanya sambil mengusap air mata. “Saya datang kemari untuk menghormati mereka dan juga atas nama keluarga saya yang tidak bisa datang.”

Pendeta Jesse Jackson, seorang aktivis hak sipil sejak lama mengatakan pada wartawan setelah mengunjungi memorial itu, ia berharap tempat peringatan itu akan menghilangkan “kebisuan Amerika” tentang para korban pembunuhan itu.

“Orang-orang kulit putih tidak mau membicarakannya karena malu, dan orang-orang kulit hitam juga tidak mau membahasnya karena takut,” kata Jackson. [ii]

XS
SM
MD
LG