Dua jaksa yang terlibat dalam kasus korupsi proyek di Kota Yogyakarta menerima vonis berbeda hari Rabu (20/5). Jaksa Eka Safitra menjalani persidangan terlebih dahulu, dalam agenda yang dilakukan secara daring di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta. Ketua majelis hakim, Asep Permana menetapkan vonis itu diakhir pembacaan putusan dalam sidang yang berlangsung lebih tiga jam.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan hukuman kurungan tiga bulan,” kata Asep Permana.
Setelah pembacaan putusan untuk Eka Safitra, majelis hakim melanjutkan sidang untuk membacakan vonis bagi rekannya, Satriawan Sulaksana. Karena dianggap perannya lebih kecil, jaksa ini diganjar 1,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Eka Safitra adalah jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta, sedangkan Satriawan bertugas di Kejaksaan Negeri Surakarta, Jawa Tengah. Keduanya bekerja sama mengatur proyek saluran air hujan Jalan Soepomo di Kota Yogyakarta. Eka Safitra leluasa bergerak karena posisinya sebagai anggota Tim Pengawal Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) di Kejaksaan Yogyakarta. Sedangkan Satriawan berperan mencari kontraktor yang memenangkan proyek. Sebagai ganjaran, kontaktor sepakat akan memberikan imbalan lima persen dari anggaran proyek yang bernilai lebih dari Rp 10 miliar.
Sebelumnya, Jaksa KPK telah menuntut hukuman enam tahun penjara bagi Eka dan empat tahun penjara bagi Satriawan. Menanggapi putusan hakim yang menjatuhkan hukuman lebih rendah, Jaksa KPK langsung menyatakan banding.
“Kami menyatakan banding,” kata Wawan Yunarwanto, koordinator Jaksa KPK dalam perkara ini.
Sidang hari Rabu (20/5) diselenggarakan secara daring. Hakim berada di Yogyakarta, jaksa dan penasehat hukum terdakwa ada di Jakarta. Sedangkan Eka Safitra berada di LP Pajangan dan Satriawan ditahan di LP Wirogunan, Yogyakarta.
Banding KPK Diapresiasi
Baharudin Kamba dari Yogyakarta Corruption Watch mengapresiasi putusan hakim sekaligus keputusan Jaksa KPK untuk banding.
“Pertimbangan majelis hakim cukup baik, pendapat hukumnya sudah jelas dan tepat menurut kami. Hanya jaksa langsung mengajukan banding karena vonisnya jauh lebih rendah,” kata Kamba kepada VOA.
Kamba menggarisbawahi pernyataan hakim yang menerima hal-hal yang memberatkan bagi kedua terdakwa. Diantara yang patut dicatat dari pernyataan hakim adalah bahwa tindakan kedua jaksa mencoreng nama institusi Kejaksaan Agung.
Dia juga mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi yang karena kasus ini, langsung membubarkan TP4 di pusat dan TP4D di seluruh Indonesia. Keputusan ini dinilai tepat, karena sebenarnya setiap daerah sudah memiliki institusi pengawasan sendiri, yaitu Inspektorat Daerah. Yang harus dilakukan, kata Kamba, adalah memperkuat peran Inspektorat Daerah ini ke depan.
“Inspektorat selama ini tersandera oleh kepentingan-kepentingan. Tidak mungkin lembaga ini menginspeksi pimpinannya sendiri, dalam hal ini kepala daerah. Ke depannya, bisa saja inspektorat itu diperkuat, sehingga bisa memeriksa kepala daerah. Artinya bisa saja inspektorat ini ada dibawah undang-undang, mirip dengan lembaga Ombudsman yang memiliki undang-undang sendiri,” tambah Kamba.
KPK Perlu Kembangkan Kasus
Tri Wahyu KH dari Indonesian Court Monitoring menyatakan kepada VOA, vonis Pengadilan Tipikor Yogyakarta makin menunjukkan kepada publik adanya jaksa yang menyalahgunakan kewenangannya. Apalagi dua jaksa ini menjadi bagian dari tim TP4D.
“Perkembangan terbaru di Jakarta, ada dugaan suap milyaran rupiah yang menerpa mantan Jampidsus Kejaksaan Agung. Ini juga semakin menunjukkan kepada publik, gagalnya reformasi kejaksaan di 22 tahun reformasi dan tidak optimalnya pengawasan, baik oleh internal kejaksaan maupun oleh Komisi Kejaksaan,” kata Wahyu.
Terkait kasus yang telah membuat seorang kontraktor dan dua jaksa masuk penjara ini, ICM mendesak KPK tidak berhenti. Perlu pengembangan kasus ke pihak-pihak lain yang terlibat, baik dalam kasus proyek ini maupun kasus korupsi lain di Yogyakarta.
“Ini penting demi kesamaan di depan hukum, sekaligus konsistensi penindakan oleh KPK atas fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan, maupun bukti-bukti lain yang telah dikantongi KPK,” tambah Wahyu.
Jokowi Bubarkan TP4 dan TP4D
Kasus ini memang berdampak besar bagi Kejaksaan Agung. Beberapa hari setelah penangkapan jaksa pada 19 Agustus 2019, Jaksa Agung bertemu dengan KPK. Wacana pembubaran TP4 dan TP4D langsung mengemuka. Presiden Jokowi pun melontarkan rencana serupa, dan meminta kejaksaan tidak berpolemik mengenai hal itu. Atas perintah Jokowi, Jaksa Agung ST Burhanuddin akhirnya membubarkan seluruh tim yang ada di setiap kabupaten, kota dan provinsi di Indonesia pada 3 Desember 2019.
KPK pernah menyatakan, banyak kepala daerah mengeluhkan kehadiran tim ini dalam proses pembangunan di daerah. Jokowi juga mengaku menerima laporan serupa. Penangkapan dua jaksa yang bermain dalam proyek seolah membenarkan keluhan kepala daerah yang akhirnya mendorong Jokowi bersikap lebih tegas.
Secara total, ketika ditangkap Jaksa Eka Safitra baru menerima uang sekitar Rp 221 juta. Uang itu diserahkan kontraktor pemenang proyek, yang sebenarnya tidak memerlukan peran kedua jaksa untuk memenangkan tender.
Oleh Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta, Eka Safitra ditempatkan dalam fungsi TP4D di sejumlah proyek. Antara lain adalah proyek saluran air hujan Jalan Soepomo yang akhirnya mangkrak di tengah pengerjaan. Selain itu, peran jaksa Eka juga tercium dalam proyek pembangunan SD Bangunrejo 2.
Bangunan sekolah sudah dirobohkan ketika Eka tertangkap KPK dan proses lelang proyek terhenti. Ratusan siswa harus menumpang belajar di sekolah lain. Jam tambahan untuk siswa kelas enam sekolah itu, bahkan terpaksa diadakan di pos kamling kampung setempat. Kasus ini turut mencoreng predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan.
Dalam persidangan, terungkap sisi lain dari korupsi proyek di lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta. Dinas terkait berperan mengumpulkan setoran dana gelap dari para kontraktor. KPK menyita buku catatan uang yang mengalir mulai staf ahli Wali Kota, anggota DPRD, hingga pengurus berbagai Ormas.
Wali Kota Yogyakarta juga menjadi salah satu saksi dalam persidangan sementara nama istrinya beberapa kali disebut terkait perebutan proyek. Baik Wali Kota maupun istrinya menolak segala bentuk upaya mengaitkan mereka dengan kasus yang terjadi. [ns/ab]