Tautan-tautan Akses

Masyarakat Anti Korupsi Yogya Dorong Hakim Tipikor Gunakan Pendekatan HAM


Diskusi Masyarakat Anti Korupsi dan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada (UGM) di Ygyakarta, Senin, 8 Desember 2014 (Foto: VOA/Munarsih)
Diskusi Masyarakat Anti Korupsi dan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada (UGM) di Ygyakarta, Senin, 8 Desember 2014 (Foto: VOA/Munarsih)

Masyarakat Anti Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta bersama Pusat Kajian Anti Korupsi, PUKAT Universitas Gajah Mada, Senin (8/12) mengimbau hakim untuk menggunakan pendekatan HAM dalam memutuskan hukuman kepada para koruptor.

Berkaitan dengan peringatan hari Anti Korupsi se-Dunia tanggal 9 Desember, Masyarakat Anti-korupsi DIY bersama PUKAT UGM mengimbau para hakim untuk menggunakan pendekatan HAM didalam menjatuhkan hukuman kepada para koruptor.

Samsudin Nurseha, direktur LBH Yogyakarta mengatakan di kantor PUKAT UGM, Senin (8/12), bagaimanapun dampak tindak pidana korupsi mengancam masyarakat sipil.

Bicara konteks kemanusiaan dalam pelanggaran HAM berat, menurut Samsudin, maka korupsi merupakan tindak kejahatan kemanusiaan. Sementara data ICW hingga bulan Maret 2014 terdapat 734 kasus korupsi dan umumnya vonis hakim hanya antara dua hingga lima tahun sehingga kurang memberikan efek jera. Dengan pendekatan HAM, diharapkan hakim bisa memberikan hukuman maksimal dalam menerapkan UU Tipikor.

"Kita menawarkan kepada penegak hukum ke depan tidak hanya menggunakan pendekatan pidana murni yang digunakan, tetapi juga menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia. Karena bagaimanapun tindakan korupsi dampaknya itu bisa mengancam kehidupan masyarakat sipil. Dampak dari koprupsi itu bisa masuk kedalam kategori pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Samsudin Nurseha.

Peneliti PUKAT UGM Zaenurohman mendesak agar pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla melakukan reformasi birokrasi secara lebih serius karena kasus-kasus korupsi selama ini masih didominasi oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pelakunya.

“Reformasi birokrasi sejauh ini belum berhasil untuk menciptakan pemerintah yang bersih. Misalnya dari indikator Indeks Persepsi Korupsi ditargetkan pada tahun 2014 di angka 5,6 tetapi hingga sekarang baru tercapai 3,4. Hampir seluruh kasus korupsi itu tidak lepas dari peranserta para aparat sipil negara. Artinya, para aparat sipil negara itu masih menjadi bagian dari pelaku tindak korupsi di Indonesia. Baik yang dilakukan oleh swasta misalnya dalam pengadaan barang dan jaksa maupun yang dilakukan oleh para pejabat eksekutif,” kata Zaenurohman.

Peneliti PUKAT UGM lainnya, Laras Susanti lebih menekankan pentingnya reformasi birokrasi di kalangan penegak hukum di daerah dan mendorong pemerintah daerah membuat inisiatif aksi daerah untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Inisiasi daerah untuk membuat rencana aksi untuk pemberantasan korupsi dan pelaksanaan rencana aksi itu. Nah, presiden dalam hal ini mempunyai peran yang strategis dalam menginstruksikan langsung. Jadi nanti di pemerintah daerah merekaharus menyediakan sarana pengaduan, kemudian mereka menyediakan tools untuk mengevaluasi kinerja dari penyelenggara negara. Selain itu juga reformasi birokrasi di tubuh penegak hukum,” jelas Laras Susanti.

Masyarakat Anti Korupsi DIY dan PUKAT UGM juga mendesak para elit politik agar mengakhiri perseteruan politik di parlemen dan mulai fokus melaksanakan tugas serta membuat inisiatif perbaikan partai politik yang mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Recommended

XS
SM
MD
LG