Tautan-tautan Akses

Upaya Menaikkan Partisipasi Pemilih dalam Pemilu 2019


Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berbicara dalam bincang santai mengenai peran kaum muda dalam menyukseskan Pemilu 2019 di Universitas Surabaya (foto: VOA/Petrus Riski)
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berbicara dalam bincang santai mengenai peran kaum muda dalam menyukseskan Pemilu 2019 di Universitas Surabaya (foto: VOA/Petrus Riski)

Kurang satu minggu dari puncak penyelenggaraan Pemilu 17 April 2019, KPU Kota Surabaya bersama berbagai kelompok masyarakat dan pemerintah terus melakukan sosialisasi mengenai pentingnya menggunakan hak suara dalam Pilpres dan Pileg.

Mendekati pelaksanaan Pemilu 17 April 2019, berbagai kegiatan terus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Kalangan muda atau pemilih pemula dibidik agar tidak membuang kesempatan memberikan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. Seperti yang dikatakan Niko, mahasiswa Universitas Surabaya.

“Di 2014 sudah sih, nyoblos. Dasarnya saya cuma tidak menemukan alasan untuk tidak nyoblos, Jadi ya, kalau saya ingin turut ikut memperbaiki sesuatu yang salah di Indonesia, ya saya harus ikut nyoblos untuk memilih mana yang lebih baik. Kalau kalian tidak memilih, ya tidak punya hak juga untuk protes sebenarnya kalau misalnya ada yang salah,” ujar Niko.

Demikian juga Sita, mahasiswa Universitas Surabaya, akan memilih pada Pemilu 17 April, untuk memastikan pemimpin yang diharapkan dapat terpilih. Bagi Sita, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput, tidak berhak menyalahkan pemerintah bila ada hal yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

“Nyoblos dong, karena saya mau menentukan siapa pemimpin saya, jangan sampai saya dipimpin oleh seseorang yang saya tidak pilih, apalagi saya tidak sesuai dengan visi misinya. Kalau golput itu saya kurang respek, apalagi golput yang tidak milih tapi dia juga menyalahkan pemimpin siapa pun nanti yang maju. Saya tidak peduli ya, mau milih nomor satu atau pun dua, yang penting milih, jangan sampai tidak milih setelah itu tiba-tiba menyalahkan pemerintahan,” tutur Sita.

Direktur Eksekutif Omah Jaman Now, Evi Ratnasari mengatakan, pemilih pemula atau pemilih milenial merupakan potensi besar dalam menentukan arah masa depan bangsa Indonesia. Namun, apatisme di kalangan milenial menjadi tantangan memberikan penyadaran dan edukasi mengenai pentingnya terlibat dalam pesta demokrasi.

“Satu sisi kami sendiri sebagai ruang anak muda, harapannya kita bisa membantu menyelesaikan problem anak muda secara menyeluruh, yang awalnya kita hanya masalah ruang (kesempatan), tapi merembet ke sini kita sadar betul bahwa ke depan akan ada Pemilu.

Dan ketika melihat golput anak muda masih tinggi, jadi kita harus segera ambil peran untuk bisa berkontribusi dalam menyukseskan Pemilu, karena masih banyak anak muda yang mungkin dalam kami selama ini memfasilitasi di Omah Jaman Now, mereka menginginkan perubahan tetapi mereka tidak mengerti caranya seperti apa,” terang Evi Ratnasari.

Sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya menggunakan hak pilih dalam Pemilu, menjadi salah satu upaya yang dilakukan lembaga pendidikan untuk mengurangi angka golput di kalangan muda. Rektor Universitas Surabaya, Prof. Joniarto Parung, menekankan pentingnya mahasiswa terlibat dalam Pemilu untuk memastikan keberpihakan program pemerintah di berbagai bidang terutama pendidikan.

“Kita selalu mencoba mengingatkan akibat-akibat dari setiap pemilihan, ketika kita salah memilih anggota legislatif, salah memilih Presiden, maka akan menimbulkan kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan yang mungkin tidak mendukung katakanlah di pendidikan, atau tidak mendukung di program-program untuk perbaikan ke depan, nah itu yang selalu diingatkan. Maka mengajak generasi muda untuk terlibat dalam Pemilu supaya tidak golput saya kira itu usaha yang bisa kita lakukan,” papar Prof. Joniarto Parung kepada VOA.

Potensi golput yang masih cukup besar menjadi pekerjaan rumah Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan semua pihak, agar angka partisipasi memilih menjadi meningkat. Komisioner KPU Kota Surabaya, Muhammad Kholid mengatakan, angka golput di Surabaya pada Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif tahun 2014 tergolong cukup tinggi.

“Jadi untuk 2014, Pemilu Presiden sama Pemilu Legislatif itu kan diadakan berbeda, jadi kalau Presiden itu golputnya hanya 29 persen, sementara untuk Pileg itu sampe 33 persen yang golput,” kata Muhammad Kholid

Pemerintah terus berupaya meningkatkan angka partisipasi pemilih dalam Pemilu, salah satunya dengan memperpanjang masa perekaman data e-KTP, dan penggunaan surat keterangan (Suket) e-KTP sebagai syarat untuk mencoblos. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, mengajak seluruh masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, sehingga target KPU untuk partisipasi pemilih diatas 78 persen dapat tercapai,

“Saya kok cukup optimis ya bahwa tingkat golput dari generasi muda ini akan berkurang. Kami tidak bisa memprediksi harus tidak ada, karena golput saya kira juga sebuah pilihan. Saya kira pemerintah hanya ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia yang punya hak pilih untuk bisa menggerakkan, mengorganisir lingkungannya yang terdekat, setidaknya, bahwa konsolidasi demokrasi Pemilu itu perlu partisipasi secara maksimal. Maka ya mari, datanglah ke TPS, jangan golput, gunakan hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya,” tukas Mendagri Tjahjo Kumolo.

Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Anshori mengatakan, munculnya fenomena golput telah ada sejak lama, bahkan sebelum reformasi bergulir. Hal ini dipengaruhi oleh calon yang akan dipilih, yang dianggap tidak memenuhi kriteria atau pilihan ideal yang diharapkan para pemilih. Menurut Aan, pilihan golput lebih didasari pada minimnya informasi yang diperoleh calon pemilih, yang menganggap calon legislatif atau Presiden yang ada tidak layak dipilih.

“Saya meyakini bahwa mereka itu hanya kekurangan informasi. Saya selalu mengatakan bahwa kita akan cenderung menyimpulkan sesuatu itu secara prematur manakala informasi kekurangan. Faktor yang mungkin bisa ditutupi dalam konteks itu menurut saya adalah ada peran yang agak aktif dari partai politik, dari organisasi masyarakat, kemudian untuk mensosialisasikan, untuk mengajak diskusi, bahwa para tokoh dan juga para calon-calon ini begini lho track recordnya, kemudian melengkapi dengan bahwa kita sedang tidak memilih Tuhan, kita tidak mencari kesempurnaan, yang harus kita lakukan itu adalah memilih terbaik dari terjelek,” ungkap Aan Anshori.

Sementara itu, Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Agustinus Pratisto Trinarso mengungkapkan, kelompok milenial saat ini menjadi bidikan para calon presiden maupun calon legistatif untuk meraup suara. Agustinus Pratisto Trinarso menegaskan keterlibatan kelompok muda atau milenial yang cukup besar dalam Pemilu, akan menentukan arah bangsa Indonesia ke depan, melalui pemimpin atau wakil rakyat yang dipilih dalam Pemilu.

“Yang hitungan milenial ini kan hampir 50 persen, kira-kira ada penelitian yang mengatakan 43 persen, ada yang mengatakan 55 persen dan lain sebagainya. Dan pilihan mereka jelas menentukan bagaimana nanti lima tahun ke depan itu. Itu yang menurut saya pilihan strategis, tapi yang menjadi perlu dilihat lebih strategis lagi adalah kualitas pilihannya seperti apa sebenarnya,” pungkas Agustinus Pratisto Trinarso. [pr/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG