Tautan-tautan Akses

Tiga Jurnalis Dianiaya, Sejumlah Organisasi Wartawan Desak Proses Hukum


Kerumunan mahasiswa dari berbagai universitas di kota Palu dalam aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Kamis, (8/10/2020). (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Kerumunan mahasiswa dari berbagai universitas di kota Palu dalam aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Kamis, (8/10/2020). (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Sejumlah organisasi wartawan di Sulawesi Tengah mendesak polisi untuk segera memproses hukum personel polisi yang melakukan kekerasan terhadap tiga wartawan yang sedang meliput aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang berakhir bentrok pada Kamis (8/10).

Desakan Persatuan Pewarta Foto (PFI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tengah itu disampaikan ketika tiga wartawan yang sedang meliput aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja dipukul dan kameranya dirusak.

Alsih Marselina, wartawan SultengNews.com mengalami luka dan memar di wajah; Aldy Rifaldy, wartawan SultengNews.com dipukul bahu belakangnya; sementara Fikri wartawan Nexteen Media dikejar dan kamera liputannya rusak karena dibanting aparat berpakaian preman. Ketiganya mengaku tetap dipukul dan alat yang digunakan untuk meliput dirusak, meskipun mereka telah menunjukkan kartu pers pada aparat.

“Kami dari IJTI Sulteng mendesak Polda Sulteng untuk tegas memproses anggotanya sesuai Undang-Undang Pers dan proses hukum di internal Kepolisian” tegas Rahman Odi, Ketua IJTI, dalam konferensi pers hari Sabtu (10/10).

Polisi mengamankan seorang mahasiswa dalam unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja oleh mahasiswa Kota Palu yang berakhir bentrok dengan aparat keamanan. Kamis, 8 Oktober 2020. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Polisi mengamankan seorang mahasiswa dalam unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja oleh mahasiswa Kota Palu yang berakhir bentrok dengan aparat keamanan. Kamis, 8 Oktober 2020. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Muhammad Iqbal, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu menyatakan kasus kekerasan terhadap tiga wartawan di Palu itu telah dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Tengah pada Kamis (8/10) malam, beberapa jam setelah insiden itu.

Iqbal menilai kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap wartawan itu melanggar Undang-undang No.40/Tahun 1999 tentang Pers. Pada Pasal 8 UU Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum. Sementara Pasal 18 menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

“Atas kejadian itu, AJI Palu mendesak kepolisian memproses tindakan kekerasan tersebut. Karena tindak kekerasan ini sudah yang kesekian kali terjadi di Kota Palu. Kami berharap sikap tegas dari penegak hukum agar peristiwa serupa tidak terulang,” tegas Iqbal.

Polisi mengamankan seorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang diwarnai bentrokan antara mahasiswa dan polisi di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis, 8 Oktober 2020. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Polisi mengamankan seorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang diwarnai bentrokan antara mahasiswa dan polisi di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis, 8 Oktober 2020. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Polisi Mengaku Bertindak Profesional

Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Pol Didik Supranoto melalui pesan singkat kepada VOA mengatakan pihaknya akan bertindak profesional merespon laporan terkait dugaan kekerasan oleh oknum anggota Polri terhadap tiga jurnalis di Palu tersebut.

“Tapi perlu diketahui bahwa semua itu adalah merupakan ekses dari terjadinya unjukrasa yang anarkis. Pihak Kepolisian akan merespon atas segala laporan dari rekan-rekan wartawan dan meminta maaf apabila ada tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh personil Polri yang sedang melaksanakan pengamanan,” jelas Didik.

Sasmito Madrim, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, mengungkapkan setidaknya terdapat 28 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dihimpun dari berbagai kota. Bentuk kekerasan itu masing-masing berupa perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan sebanyak sembilan kasus, intimidasi oleh aparat tujuh kasus, kekerasan fisik dan penahanan masing-masing sebanyak enam kasus.

“Jadi berbeda dengan aksi di September 2019 tahun lalu, kalau di aksi menolak Omnibus Law ini semua pelakunya dari kepolisian. Jadi polisi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan selalu menjadi musuh kebebasan pers,” kata Sasmito dalam sebuah konfrensi pers secara daring oleh AJI Indonesia, Sabtu (10/10). Ditambahkannya, kekerasan itu terjadi meskipun jurnalis sudah menunjukkan kartu pers kepada petugas.

AJI Ikut Desak Penuntasan Kekerasan terhadap Wartawan

AJI mencatat enam wartawan lainnya ditahan selama hampir 48 jam, dan baru dibebaskan Jumat malam (9/10). Selain 28 kasus itu, ada empat kasus kecelakaan kerja berupa terkena lemparan batu dan tersemprot water canon yang dialami wartawan di Tarakan, Ternate dan Yogyakarta. Selain itu enam pers mahasiswa di Surabaya, Bandung dan Jakarta ditangkap dan ditahan oleh polisi.

Sejauh ini sudah enam kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilaporkan pada polisi, yaitu tiga kasus di Semarang dan tiga kasus di Palu. Lima wartawan yang mengalami kekerasan di Samarinda juga membuat laporan ke polisi.

“Kita berharap dari perusahaan media akan mendampingi jurnalisnya yang mengalami kekerasan untuk melaporkan. Pantauan kita beberapa jurnalis yang ditangkap dan ditahan itu mengalami trauma karena itu kita juga berharap kepada perusahaan media untuk memberikan konseling kepada jurnalis menjadi korban kekerasan dalam aksi tolak Omnibus Law,” harap Sasmito.

Pihaknya mendesak agar polisi mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan menggunakan pasal 18 ayat 1 Undang-undang Pers, dan tidak lagi semata memprosesnya sebagai pelanggaran etik. [yl/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG