Tautan-tautan Akses

Terdakwa Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai Divonis Bebas


Terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu berdiri mendengarkan putusan hakim yang membebaskan dia dari semua tuntutan jaksa, Kamis (8/12) di Makassar. foto screenshot
Terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu berdiri mendengarkan putusan hakim yang membebaskan dia dari semua tuntutan jaksa, Kamis (8/12) di Makassar. foto screenshot

Terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan HAM Makassar. Meski mengakui adanya pelanggaran HAM berat, hakim menyatakan tidak ditemukan cukup bukti bahwa terdakwa, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu adalah pelakunya.

Proses persidangan kasus ini sudah digelar sejak 21 September 2022. Sepanjang persidangan, tidak ada kesaksian yang secara tegas memposisikan Isak Sattu sebagai pelaku dalam tragedi yang terjadi 8 Desember 2014 di Kabupaten Paniai, Papua itu. Putusan dibacakan bergantian, oleh majelis hakim yang diketuai Sutisna Sawati dalam sidang yang berlangsung sekitar 2,5 jam pada Kamis (8/12).

"Mengadili, satu, menyatakan terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, melakukan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana di dakwaan kesatu dan dakwaan kedua," kata Sutisna Sawati.

“Kedua, membebaskan terdakwa oleh karena itu, dari semua dakwaan penuntut umum. Tiga, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat serta martabatnya,” lanjut Sutisna membacakan putusan.

Hakim juga meminta seluruh barang bukti dalam kasus ini agar tetap disimpan, dan membebankan biaya perkara pada negara,

Sebelumnya, jaksa dari Kejaksaan Agung menuntut Isak Sattu hukuman penjara sepuluh tahun. Dia didakwa melanggar pasal 152 ayat 1 huruf a dan b, jo pasal 7 b, pasal 9 a, pasal 37 UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Selain itu, dipasang pula dakwaan kedua berdasar pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Majelis hakim Pengadilan HAM Makassar meyakini kasus pelanggaran HAM berat Paniai memang terjadi, namun menilai Mayor Inf (Purn) Isak Sattu bukan pelakunya. foto screenshot
Majelis hakim Pengadilan HAM Makassar meyakini kasus pelanggaran HAM berat Paniai memang terjadi, namun menilai Mayor Inf (Purn) Isak Sattu bukan pelakunya. foto screenshot

Isak Sattu menjadi terdakwa setelah Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan perkara berdasar hasil investigasi Komnas HAM dan desakan kelompok pembela HAM. Kasus pelanggaran HAM berat Paniai, merupakan rentetan dua peristiwa. Pertama, peristiwa 7 Des 2014, ketika terjadi pemukulan sekumpulan pemuda Paniai oleh aparat keamanan. Peristiwa kedua adalah aksi dari warga pada 8 Desember yang menuntut pelaku pemukulan diproses hukum, di jalan Poros Madi, Enarotali, Distrik Paniai Timur hingga lapangan Karel Gobay. Di lokasi inilah, aksi berbuntut meninggalnya empat warga dan puluhan luka-luka.

Yakin Bebas Sejak Awal

Ketua tim penasihat hukum terdakwa, Syahrir Cakkari tidak dapat menyembunyikan kebahagiaanya, dengan putusan hakim ini. “Ya ini kabar bahagia untuk kami tim dan keluarga terdakwa. Kita apresiasi dengan putusan majelis hakim barusan,” kata Syahrir ketika dihubungi VOA.

Sejak awal, kaya Syahrir, pihaknya sudah melihat bahwa perkara tersebut tidak memenuhi unsur untuk disidangkan dalam pengadilan HAM berat. Jika memang ada perkara hukum, secara spesifik seharusnya masuk dalam pidana militer atau peradilan biasa.

Keyakinan Syahrir itu, sebenarnya mengemuka di kalangan pegiat HAM, terutama di Papua. Salah satu faktornya adalah karena hanya satu terdakwa yang diajukan ke pengadilan. Sesuatu yang nyaris mustahil untuk sebuah kasus pelanggaran HAM berat.

Jika jaksa berkeyakiyan mengusut perkara ini, menurut Syahrir, penyidikan dan penyelidikannya harus dilakukan secara mendalam dan lebih matang, sebelum dibawa ke pengadilan.

“Fakta-fakta yang dibawa oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan ini kan masih mentah dan masih butuh pendalaman lebih jauh,” tegasnya.

Syahrir mengaku, sejak awal proses sidang pihaknya sudah yakin terdakwa akan bebas. “Begitu kita mendengarkan pembacaan dakwaan di awal oleh jaksa penuntut umum, kita sudah melihat bahwa pada ujungnya perkara ini tidak bisa dibuktikan. Terutama pada unsur sistematis maupun pertanggungjawaban komandonya,” ujar Syahrir lagi.

Syahrir mengaku siap jika jaksa akan banding terhadap putusan hakim. Namun, dia mengingatkan bahwa kasus tersebut lemah secara materiil maupun formil. Baik Komnas HAM maupun Kejaksaan Agung harus melakukan pendanaam lagi.

Pelaku Sebenarnya Harus Disidang

Anum Siregar dari Koalisi LSM untuk Advokasi Kasus Pelanggaran HAM Paniai kepada VOA mencatat dua hal dari putusan hakim kali ini. Pertama adalah bahwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai memang terjadi. Kedua, adalah soal siapa pelaku dalam peristiwa ini.

“Hakim memutuskan, bahwa bukan terdakwa ini yang seharusnya bertanggung jawab. Karena itu terdakwa dibebaskan,” kata Anum.

Namun, Anum juga mengingatkan bahwa dari lima hakim, ada dua yang memiliki pendapat berbeda. “Itu sebenarnya bukan suara bulat. Ada dua hakim yang mengajukan dissenting opinion. Ada hakim yang mengatakan bahwa dia seharusnya bertanggung jawab,” ujarnya.

Putusan majelis hakim sendiri menarik untuk dikaji, karena jelas menyatakan bahwa peristiwa pada 2014 ini adalah pelanggaran HAM berat. Seharusnya, kata Anum, ada pelaku yang diminta bertanggungjawab atas peristiwa itu.

Sejak awal, para aktivis HAM di Papua memang sudah mengkritisi langkah kejaksaan agung yang hanya mengajukan satu terdakwa.“Itu adalah hal yang mustahil, karena pelanggaran HAM itu pertanggungjawabannya berlapis-lapis, dari kebijakan, pemilik komando efektif baik dejure atau defacto, kemudian pelaku di lapangan, dan pelaku pembiaran,” kata Anum.

Karena itu, jika Hakim memutuskan bahwa terdakwa bukan pelaku, maka seharusnya hakim memerintahkan jaksa agung mencari pelakunya. Dalam konteks ini, hakim juga wajib memberi keadilan dan kepastian hukum.

“Ada peristiwa, kok enggak ada pelaku. Dalam konteks lebih besar, pemerintah enggak bisa bilang bahwa enggak ada pelanggaran HAM. Karena ini terbukti sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat,” tegasnya.

Anum mengaku kecewa, karena dalam putusannya hakim tidak secara tegas meminta jaksa menghadirkan pelaku lain. Padahal jelas pengadilan menyebut kejadian itu benar-benar terjadi.

Hasil investigasi Komnas HAM sudah jelas dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Karena itu, tanggung jawab untuk menyeret pelaku yang sebenarnya ada di kejaksaan agung. “Negara seharusnya membuka kasus ini lagi, dan menyeret pihak-pihak yang diduga menjadi sebagai pelaku,” tambah Anum.

Langkah ini penting untuk membangun citra positif negara di Papua, dan memperbaiki hubungan dengan rakyat Papua. Negara harus hadir untuk menunjukkan tanggung jawabnya dan memenuhi rasa keadilan.

Tuntut Penyelidikan Ulang

Sementara pengacara sekaligus perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM berat Paniai, Yones Douw menyatakan seluruh keluarga empat korban meninggal dan 17 luka-luka menolak sejak awal persidangan kasus ini. Apalagi, ketika jaksa agung hanya menetapkan satu tersangka.

Pembela HAM asal Papua, Yones Douw, Senin 21 Maret 2022. (VOA)
Pembela HAM asal Papua, Yones Douw, Senin 21 Maret 2022. (VOA)

“Dengan satu tersangka, maka putusan pengadilan terakhir nanti dibebaskan. Dugaan kami itu menjadi kenyataan sekarang,” kata Yones, Kamis (8/12).

Keluarga korban juga menyebut, proses pengadilan di Makassar sejak awal tidak memihak kepada korban. Selain itu, dengan vonis bebas terhadap tersangka, keluarga korban semakin meyakini bahwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai belum diselesaikan oleh pemerintah Indonesia secara adil dan jujur.

“Untuk itu, kami keluarga korban meninggal dan korban luka-luka, tetap menuntut kepada negara Indonesia, kasus pelanggaran HAM berat Paniai harus dilakukan penyelidikan ulang atau membuka dokumen ulang,” tambah Yones.

Keluarga korban juga menilai, proses persidangan yang sudah dilakukan jelas lebih mengutamakan kepentingan pemerintah daripada menghadirkan rasa keadilan dan kejujuran bagi keluarga korban. Pengalaman proses pengadilan pelanggaran HAM berat di Papua sebelumnya yang dinilai tidak adil, juga menjadi dasar penolakan keluarga korban terhadap proses hukum di Makassa kali ini. [ns/lt]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG