Tautan-tautan Akses

Terdakwa Hukuman Mati Kasus Istaka Karya Papua Diduga Masih Anak


Mispo Gwijangge (kiri, rompi merah) saat menunggu majelis hakim di ruang Sarwata, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2020. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Mispo Gwijangge (kiri, rompi merah) saat menunggu majelis hakim di ruang Sarwata, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2020. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Tim Advokasi Papua menemukan sejumlah kejanggalan kasus Mispo Gwijangge yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap 17 pekerja PT Istaka Karya yang terjadi di Nduga pada akhir 2018.

Mispo Gwijangge duduk dan diam di barisan belakang bangku persidangan di Ruang Sarwata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020) sore. Ia bersama penerjemah dan kuasa hukum dari Tim Advokasi Papua sedang menunggu majelis hakim PN Jakarta Pusat.

Namun, setelah 30 menit menunggu, panitera PN Jakarta Pusat menjelaskan persidangan dibatalkan dengan alasan majelis hakim sudah pulang.

Mispo yang tidak fasih berbahasa Indonesia, melalui bantuan penerjemah, menjelaskan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan seperti yang didakwakan kepada dirinya. Ia menuturkan sedang berada di tempat pengungsian di Wamena saat peristiwa pembunuhan PT Istaka Karya terjadi pada 2 Desember 2018.

"Saya tidak pernah terlibat seperti yang dituduhkan, saya tidak tahu apa-apa. Saya ingin pulang karena tidak ada urusan dengan ini," jelas Mispo di PN Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).

Mispo Gwijangge saat menunggu majelis hakim di ruang Sarwata, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2020. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Mispo Gwijangge saat menunggu majelis hakim di ruang Sarwata, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2020. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Mispo, warga Distrik Yugi, Nduga ditangkap pada 12 Mei 2019 lalu. Ia menuturkan tidak didampingi kuasa hukum dan keluarga saat pemeriksaan di kepolisian. Termasuk tidak ada penerjemah yang membantu dirinya saat sedang diambil keterangan oleh polisi. Mispo juga mengaku tidak kenal dengan pimpinan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Egianus Kogoya.

"Saya tidak pernah sekolah. Saya tidak baca dan tulis dan tidak pernah keluar kota selama tinggal di kampung," tambah Mispo.

Kuasa Hukum Kritik Perlakuan Hukum terhadap Mispo

Kuasa Hukum Tim Advokasi Papua, Tigor Gemdita Hutapea menjelaskan agenda persidangan pada Rabu (26/2/2020) semestinya membahas hasil pemeriksaan forensik gigi Mispo untuk mengetahui usia terdakwa.

Tim Advokasi Papua menemukan tidak ada dokumen seperti akta kelahiran, KTP, kartu keluarga yang dapat menjadi rujukan untuk menentukan Mispo telah dewasa. Hal ini juga diperkuat pernyataan keluarga yang menyampaikan Mispo masih dalam kategori anak.

"Kalau dia orang dewasa, silakan proses dilanjutkan. Kalau ternyata dia masih anak, gunakan sistem peradilan anak. Ketika menggunakan sistem peradilan anak, maka dia tidak boleh dikenakan hukuman mati atau hukuman berat lainnya. Dan proses persidangannya akan berbeda," jelas Tigor.

Kuasa Hukum Tim Advokasi Papua, Tigor Gemdita Hutapea, Rabu, 26 Februari 2020/. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Kuasa Hukum Tim Advokasi Papua, Tigor Gemdita Hutapea, Rabu, 26 Februari 2020/. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Tigor juga mengkritik peralihan sidang Mispo dari PN Wamena ke PN Jakarta Pusat dengan alasan keamanan. Menurutnya, alasan tersebut tidak berdasar karena sejumlah kasus lain tetap berjalan lancar saat digelar di PN Wamena. Selain itu, pemindahan kasus ini menyulitkan terdakwa dan kuasa hukum untuk menghadirkan bukti dan saksi yang meringankan.

Penyebabnya adalah biaya perjalanan dari Nduga-Wamena-Jakarta yang tinggi berkisar Rp10 jutaan untuk pulang pergi. Sementara jaksa penuntut umum lebih mudah karena menggunakan biaya dari negara.

"Kami merasa Mispo ini dijadikan tumbal dalam proses penegakan hukum yang terjadi di PT Istaka Karya. Karena aparat tidak mendapat pelaku sebenarnya," tambah Tigor.

Pasal Berlapis

Menanggapi itu, Jaksa Penuntut Umum Ricarda Arsenius mengatakan terdakwa Mispo telah dewasa. Hal itu dibuktikan melalui surat keterangan domisili dari kelurahan setempat di Wamena yang menyebut Mispo berusia 20 tahun. Namun, menurut Tigor surat domisili ini dibuat pada Agustus 2019 selang beberapa bulan dari penangkapan Mispo.

"Dan kita tanyakan pada saat pemeriksaan di kejaksaan, terdakwa mengakui. Di persidangan, majelis hakim menanyakan identitas terdakwa, dan terdakwa menjawab 20 tahun," kata Ricarda Arsenius.

Para pekerja menyiapkan peti jenazah untuk para pekerja konstruksi yang diduga ditembak mati, di Wamena, Jakarta, (Foto: AFP)
Para pekerja menyiapkan peti jenazah untuk para pekerja konstruksi yang diduga ditembak mati, di Wamena, Jakarta, (Foto: AFP)

Ricarda juga membantah bahwa Mispo tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia beralasan kejaksaan selama pemeriksaan bisa berkomunikasi dengan Mispo menggunakan bahasa Indonesia.

Kejaksaan Negeri Kabupaten Jayawijaya mendakwa Mispo Gwijangge dengan lima pasal berlapis yaitu Pasal 340 KUHP, Pasal 338 KUHP, Pasal 351 ayat 3 KUHP, Pasal 328 KUHP dan Pasal 333 KUHP dengan ancaman pidana hukuman mati. Mispo dituduh terlibat dalam Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Egianus Kogoya melakukan pembunuhan 17 pekerja PT Istaka Karya yang terjadi di Nduga pada 2 Desember 2018 lalu.

Namun, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) melalui keterangan tertulis pada 25 Januari 2020 telah membantah Mispo sebagai anggota TPNPB-OPM Ndugama.

Pemimpin TPNPB-OPM Ndugama, Egianus Kogeya mengatakan hasil pengecekan yang dilakukan pihaknya menyimpulkan Mispo hanyalah masyarakat biasa. Karena itu, ia meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskan Mispo. [sm/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG