Tautan-tautan Akses

Tanah yang Sehat Bawa Keuntungan yang Lebih Tinggi bagi Para Petani


Trey Hill dari Maryland mencari cacing tanah di ladangnya, sebuah tanda ekosistem bawah tanah yang sehat.
Trey Hill dari Maryland mencari cacing tanah di ladangnya, sebuah tanda ekosistem bawah tanah yang sehat.

“Para petani zaman dulu membajak tanah mereka sampai rusak, dan tidak produktif lagi, dan akhirnya menghancurkan kebudayaan mereka sendiri. Cara-cara pertanian modern berisiko mengulangi lagi kesalahan itu, kata pakar geologi David Montgomery.

Dalam bukunya yang baru, Montgomery mengatakan semakin banyak petani mengadopsi teknik-teknik yang dapat menyelamatkan lahan pertanian mereka dari kerusakan perlahan akibat erosi.

Dalam bukunya Growing a Revolution: Bringing Our Soil Back to Life, Montgomery bertemu dengan para petani yang membudayakan tanah yang sehat dan membentengi mereka dari perubahan iklim – sementara menghemat biaya saat mereka mengerjakannya – dengan mempraktekkan apa yang disebut pertanian lestari.

Para pakar di seluruh dunia bekerja untuk membujuk para petani untuk menolak tradisi pertanian yang sudah berjalan ribuan tahun guna menyelamatkan lahan pertanian mereka.

Erosi kebudayaan

Montgomery mengatakan pada VOA, seraya menyelesaikan bukunya yang terdahulu yang berjudul, Dirt: The Erosion of Civilizations. “Sulit sekali untuk menulis bab terakhir agar tidak terdengar penuh kemurungan.”

Dirt menguraikan bagaimana berladang, satu dari praktik-praktik pertanian tertua, menggerus ladang-ladang pertanian dan kebudayaan dari Mesopotamia hingga Musim Kering Parah yang melanda Amerika di tahun 1930-an.

Para petani membajak tanah untuk mengendalikan gulma dan membuat proses penanaman lebih mudah, namun lapisan tanah yang terpapar dihanyutkan oleh hujan dan ditiup angin, sehingga zat-zat hara yang dibutuhkan agar tanaman tumbuh subur juga terbawa angin dan hujan.

Trey Hill menggunakan metode lestari di ladangya di Maryland. Di sini ia menanam kedelai yang tumbuh di antara sisa tanaman lain (Steve Baragona/VOA)
Trey Hill menggunakan metode lestari di ladangya di Maryland. Di sini ia menanam kedelai yang tumbuh di antara sisa tanaman lain (Steve Baragona/VOA)

Meskipun demikian, kebanyakan petani di seluruh dunia masih membajak tanah dan membuatnya terpapar di luar musim tanam. Banyak yang menanam tanaman yang sama berulang kali. Ketiga praktik tersebut menggerus kesuburan tanah.

Buku Growing a Revolution melanjutkan kisah dari buku yang berjudul Dirt, dengan janji untuk menjelaskan metode berladang yang baru.

“Pertanian lestari mengubah ketiga ide tersebut yang ada di kepala para petani,” ujarnya. “Ini adalah filosofi yang sama sekali berbeda untuk tidak memangkur tanah, selalu menutupi lahan pertanian baik dengan tanaman komersial ataupun tanaman penutup, dan merotasi jenis tanaman yang dibudidayakan.”

Masalah dengan ladang-ladang yang teratur rapi

Trey Hill dari Maryland belum pernah memangkur ladang kedelainya selama bertahun-tahun. Tanaman-tanaman yang baru tumbuh bermunculan dari batang-batang coklat yang tingginya di bawah pinggang yang adalah sisa-sisa dari tanaman penutup yang dibudidayakan tahun lalu, sekumpulan tanaman biji-bijian, kacang polong, lobak, dan yang lainnya.

“Apabila anda tidak suka melihat ladang pertanian terlihat berantakan,” ujar Hill sambil tertawa, ``anda harus membiasakan diri melihatnya (ladang yang berantakan)”. Namun, saya melihat banyak pemilik ladang lainnya dan rekan-rekan sejawatnya yang mengatakan,’Wow, apa yang anda lakukan benar-benar menarik.’”

Di lokasi yang tidak terlalu jauh, di ladang milik tetangganya yang dipangkur secara tradisional, tanaman kedelai tumbuh dengan rapi di lajur yang teratur di tanah yang terpapar.

Ilmuwan ahli tanah asal the University of Maryland, Ray Weil, melihat tanda-tanda masalah. Daun yang terletak di bagian bawah tanaman kedelai terkena lumpur akibat hujan yang turun dua malam sebelumnya.

“Saat hujan turun, tanahnya berhamburan kemana-mana,” ujar Well. “Saat tanah berhamburan kemana-mana, tanah itu mengalir menuruni lereng. Ini adalah langkah pertama terjadinya erosi tanah.”

Hanya beberapa milimeter di bawah permukaan, ia melihat akar kedelai tumbuh ke samping, tidak mampu untuk menembus lapisan tanah keras sebagai dampak dari pemangkuran ladang. Apabila ladangnya menjadi kering di musim panas, ujarnya, “mereka akan sangat membutuhkan air dalam jumlah besar.”

Pakar ilmu tanah dari the University of Maryland, Ray Weil, mengatakan tanah yang dipangkur lebih mudah tererosi dan tidak dapat menampung cukup air.
Pakar ilmu tanah dari the University of Maryland, Ray Weil, mengatakan tanah yang dipangkur lebih mudah tererosi dan tidak dapat menampung cukup air.

‘Berladang dengan tidak teratur’

“Saat berladang dilakukan tanpa harus memangkur, mereka menyebutnya ‘berladang dengan tidak teratur,’” ujar Weil.

Ladang milik Hill yang “tidak teratur” tampak indah di bagian dalamnya. Akar dari tanaman penutup yang ia tanam tahun lalu tetap bertahan di dalam tanah begitu juga dengan zat-zat hara yang sangat berharga selama musim dingin. Kacang polong-polongan menambah kadar nitrogen, sebuah pupuk penting. Cacing tanah yang hidup dari tanaman yang mulai membusuk menggali rongga-rongga di tanah. Pori-pori tanah tersebut menyerap curah hujan seperti busa, dan mereka memberi jalan bagi akar-akar tanaman kedelai milik Hill agar bisa terus tumbuh.

Dengan kemampuan untuk bertahan terhadap kekeringan dan curah hujan, tanah ini membantu Hill bertahan lewat cuaca ekstrim yang terjadi semakin sering dengan adanya perubahan iklim.

Dan Hill juga menghemat biaya. Dengan tidak memangkur tanah artinya ia mengeluarkan lebih sedikit dana untuk bahan bakar traktornya. Ia membeli lebih sedikit pupuk karena tanaman penutupnya menjadi sumber pupuk untuk tanahnya.

“Artinya petani akan menerima pendapatan yang lebih tinggi,” ujar Hill.

Keuntungan baik untuk ladang skala besar maupun kecil

Pertanian lestari juga bisa diterapkan di ladang-ladang skala kecil di negara berkembang.

“Apa yang membuat saya terkejut adalah bagaiamana teknik-teknik ini bisa sangat menguntungkan di kedua kondisi,” ujar Montgomery.

Montgomery berkunjung ke Ghana, dimana berladang dengan cara membabat dan membakar tanaman telah merusak tanah, namun pertanian lestari mengubah ladang menjadi hutan pangan. Para petani menanam beragam tanaman pada ladang yang sama, membuat tanah tertutup sepanjang tahun.

“Anda akan memiliki, katakanlah, tanaman pisang-pisangan yang tumbuh tinggi, dan di bawahnya ditumbuhi tanaman merica dan singkong,” ujarnya. “Seandainya saya memicingkan mata dan tidak memiliki pengetahuan, sumpah saya akan berpikir saya ada di hutan, namun di sekeliling adalah tanaman pangan.”

Penyebaran pertanian lestari masih lambat. Peralihan ke model pertanian yang baru butuh bertahun-tahun. Gulma dapat mengurangi panen saat itu. Peralatan yang dirancang untuk bekerja di tanah terbuka bisa tidak berfungsi di ladang yang ditutupi tanaman.

Para petani di negara-negara berkembang, khususnya, sering kali menyingkirkan residu satu tanaman sebelum menananm tanaman yang lain, untuk memberi makan ternak, sebagai bahan pembuat atap, atau sebagai bahan bakar untuk memasak.

“Ada banyak kegunaannya,” ujar Well. “Namun residu tanaman perlu dibiarkan di ladang, setidaknya sebagian besar residu tanaman, untuk menyuburkan tanah.”

“Banyak hambatan untuk mencobanua,” tambahnya. “Namun begitu anda mulai, biayanya akan terasa lebih murah.”

Lebih murah, menyelamatkan tanah, dan ramah terhadap iklim, para pakar di seluruh dunia membantu para petani untuk beralih ke pertanian lestari dan membiarkan alat bajak menjadi sejarah masa lampau. [ww]

XS
SM
MD
LG