Tautan-tautan Akses

Stereotipe dan Lemahnya Perlindungan Membuat Posisi Perempuan Korban Kekerasan Semakin Lemah di Mata Hukum


Sistem hukum di Indonesia dinilai masih bermasalah sehingga tidak berpihak pada perempuan dan anak. Aturan hukum yang ada, menyebabkan kurang dari satu persen laporan kekerasan berbasis gender diproses hukum. (Foto: Ilustrasi/Courtesy)
Sistem hukum di Indonesia dinilai masih bermasalah sehingga tidak berpihak pada perempuan dan anak. Aturan hukum yang ada, menyebabkan kurang dari satu persen laporan kekerasan berbasis gender diproses hukum. (Foto: Ilustrasi/Courtesy)

Sistem hukum di Indonesia dinilai masih bermasalah sehingga tidak berpihak pada perempuan dan anak. Aturan hukum yang ada, menyebabkan kurang dari satu persen laporan kekerasan berbasis gender diproses hukum.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, memandang penting kehadiran pendamping hukum bagi perempuan di Indonesia karena menurutnya selama ini masih banyak kendala ditemui dalam proses hukum kasus kekerasan berbasis gender.

“Dari 300 ribu laporan kekerasan berbasis gender, yang bisa diproses itu angkanya hanya 150 sampai 300, jadi 0,01 persen. Itukan berarti ada yang salah dengan aturan hukum,” kata pria yang akrab dipanggil Eddy itu di Yogyakarta, pada Jumat (9/9).

Eddy hadir di Yogyakarta untuk meluncurkan gerakan nasional paralegal Aisyiyah. Paralegal adalah pemberi bantuan hukum, baik komunitas maupun organisasi, yang mendampingi seseorang ketika berhadapan dengan masalah hukum. Aisyiyah menjadikan paralegal sebagai gerakan nasional, karena memandang penting dukungan bagi perempuan ketika berhadapan dengan persoalan hukum.

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)
Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)

“Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), ketika ada laporan bahwa ada kekerasan seksual, maka seketika korban itu berhak mendapatkan pendampingan. Pendampingan itu boleh dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh paralegal yang di hari ini di-launching secara nasional oleh PP Aisyiyah,” lanjut Eddy.

UU TPKS sendiri sebagai payung hukum yang lebih menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban, meski tetap mengupayakan tindakan represif terhadap pelaku dan upaya pencegahan kekerasan.

Eddy menjelaskan bahwa salah satu kendala yang dialami oleh perempuan ketika menghadapi persoalan hukum adalah stereotipe yang melekat pada perempuan. Kondisi ini membuat status perempuan yang menjadi korban rentan untuk menjadi seorang tersangka dalam penanganan suatu kasus, walaupun ia sebenarnya adalah korban.

Baiq Nuril Maknun, petugas pembukuan sekolah yang dipenjara setelah mencoba melaporkan pelecehan seksual, bereaksi kepada wartawan saat tiba di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 8 Juli 2019. (Foto: Reuters)
Baiq Nuril Maknun, petugas pembukuan sekolah yang dipenjara setelah mencoba melaporkan pelecehan seksual, bereaksi kepada wartawan saat tiba di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 8 Juli 2019. (Foto: Reuters)

“Kasus Baiq Nuril itu memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi kita semua. Dia melaporkan kekerasan seksual yang dia hadapi, tetapi kemudian menjadi tersangka. Karena ini adalah peristiwa yang luar biasa, sehingga ketika divonis oleh Mahkamah Agung bersalah, lalu kemudian Presiden memberikan amnesti,” papar pakar hukum asal Universitas Gadjah Mada itu.

Kejahatan terhadap perempuan dan anak dalam pengertian kekerasan, kata Eddy, diistilahkan sebagai graviora delicta, atau kejahatan yang sangat serius. Alasannya, karena perempuan dan anak yang seharusnya dilindungi karena sangat rentan justru menjadi korban kekerasan.

Peran paralegal dalam hal ini kemudian menjadi sangat penting untuk dapat hadir mendampingi korban, mulai dari tahap pelaporan hingga pemulihan dan rehabilitasi.

“Mengapa para pendamping ini sangat penting? Karena terkadang korban baik perempuan maupun anak, ada jarak ketika dia akan berhadapan dengan penegak hukum. Maka diharapkan para pendamping ini, termasuk di dalamnya adalah paralegal, bisa sebagai jembatan,” tambahnya.

Gerakan Secara Nasional

Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini, menyebut gerakan ini sebagai penguatan dan perluasan kontribusi organisasi bagi perempuan di sektor hukum.

Ketua Umum PP Aisyiah, Siti Noordjannah Djohantini. (foto Humas Aisyiah)
Ketua Umum PP Aisyiah, Siti Noordjannah Djohantini. (foto Humas Aisyiah)

“Kami sudah memiliki 25 Posbakum, Pos Bantuan Hukum, dan launching gerakan ini adalah untuk menguatkan dan meluaskan. Kami targetkan bahwa seluruh pengurus daerah Aisyiyah, itu nanti memiliki posbakum dan bergerak untuk menyiapkan paralegal Aisyiyah,” ujarnya.

Di tingkat komunitas, Aisyiyah juga memiliki berbagai lembaga konsultasi yang dihadirkan untuk turut memberikan pendampingan dalam berbagai persoalan bagi perempuan.

“Kita punya keprihatinan terhadap situasi dan kondisi, terutama bagaimana soal-soal terkait hukum, baik kekerasan, tingkat pernikahan anak, juga terkait dengan perceraian dan semuanya,” ujarnya lagi.

Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, Dr Atiyatul Ulya dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, Dr Atiyatul Ulya dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Sementara itu, Dr Atiyatul Ulya, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah yang mengelola langsung gerakan paralegal ini, menilai perlindungan hukum terutama terhadap kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak dan kelompok disabilitas masih sangat diperlukan.

“Kita ketahui bersama, bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi pada kenyataannya, persoalan penegakan hukum dan perlindungan hukum masih menjadi PR kita bersama-sama,” ujarnya.

Paralegal menjadi penting, menurut Atiyatul, karena bantuan pendampingan hukum bagi perempuan tidak mungkin hanya dilayani oleh Posbakum dan pada advokat di dalamnya.

Untuk menjalankan perannya, paralegal dalam tubuh Aisyiyah, yang terdiri dari para aktivis perempuan di organisasi tersebut, akan menjalani pelatihan terlebih dahulu. Mulai pekan ini, pelatihan akan digelar di 34 provinsi, dan diharapkan pada Oktober mendatang, seluruh organisasi Aisyiyah di daerah telah siap memberikan dukungan bagi perempuan dan kelompok rentan lain, ketika berhadapan dengan hukum.

Atiyatul menambahkan ia menyadari saat ini jumlah advokat yang ada masih jauh dari kata cukup mengingat jumlah korban, terutama dari kelompok rentan, sangatlah besar.

“Tetapi secara matematis, jumlah advokat dengan para pencari keadilan ini, terutama dari kelompok rentan, sangat tidak seimbang. Sehingga penyelesaian persoalan hukum yang dihadapi oleh kelompok-kelompok rentan ini, seringkali tidak bisa dilaksanakan secara maksimal,” tegasnya. [ns/rs]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG