Tautan-tautan Akses

Sejumlah Elemen Sesalkan Pengesahan RUU TPKS Tidak Perhatikan Hak Disabilitas


Ketua DPR Puan Maharani menerima laporan dari Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja RUU Penanggulangan Kekerasan Seksual (TPKS), setelah disahkan oleh DPR RI, di Jakarta, Indonesia, 12 April 2022. (Antara Foto/ Galih Pradipta/ via REUTERS)
Ketua DPR Puan Maharani menerima laporan dari Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja RUU Penanggulangan Kekerasan Seksual (TPKS), setelah disahkan oleh DPR RI, di Jakarta, Indonesia, 12 April 2022. (Antara Foto/ Galih Pradipta/ via REUTERS)

Persetujuan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang oleh DPR RI, yang dinilai mengecilkan nilai dan kesamaan hak penyandang disabilitas dengan masyarakat pada umumnya, disesalkan sejumlah kalangan.

Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyadang Disabilitas menyayangkan disetujuinya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang oleh DPR RI meskipun masih ada pasal-pasal yang dinilai bermasalah, terkait penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan korban dan atau saksi penyandang disabilitas.

Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), mengatakan pasal 25 ayat 4 dan 5 menjadi alasan penolakan ini, karena penyandang disabilitas sebagai korban maupun saksi tidak dipandang setara atau memiliki nilai yang sama dengan keterangan orang yang bukan disabilitas. Yeni meminta draf asli pada pasal itu dikembalikan karena sudah sangat baik mengakomodasi hak kelompok disabilitas.

“Kita minta agar pasal 25 ayat 4 dan 5 dikembalikan ke draf asli, karena draf aslinya simpel dan bagus. Draf aslinya itu bunyinya, kesaksian korban dan saksi dengan disabilitas memiliki nilai yang sama dengan kesaksian saksi dan korban orang yang bukan disabilitas,” jelasnya.

Dewan Pengawas dan Pertimbangan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu, mencontohkan sejumlah kasus yang dialami penyandang disabilitas mental dan intelektual, yang keterangannya di muka pengadilan tidak dianggap bernilai bila mengacu pada pasal itu. Maulani mengatakan, keterangan korban dan atau saksi disabilitas hanya didasarkan pada pertimbangan hakim serta ketentuan lain yang tidak mengakui hak disabilitas sebagai warga negara yang sama di mata hukum.

“Misalkan saja dia seorang disabilitas mental, walaupun disabilitas mental itu sebenarnya periodically, dia tidak selalu dalam relaps, ada saat-saat dia bisa dimintakan pengakuan dia dan dia bisa bicara sewajarnya. Tapi kemudian yang terjadi adalah stigma itu, bahwa setiap saat penyandang disabilitas mentap itu relaps, padahal kalau misalkan dia dibantu dengan obat-obatan, atau akomodasi yang layak, dia tentu saja tidak selalu dalam situasi seperti itu,” kata Rotinsulu.

Yeni menambahkan, selain pasal 25 sebenarnya ada beberapa pasal yang juga menjadi perhatian, termasuk tidak dimasukkannya perkosaan pada RUU ini, Selain itu, kata Yeni, pencegahan, penghentian, dan penyelesaian kasus kekerasan seksual di panti-panti disabilitas maupun panti asuhan lain yang bersifat tertutup, belum diatur secara khusus. Namun, Yeni mengapresiasi adanya RUU ini yang dapat menjadi landasan awal perlindungan terhadap tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.

“Ini adalah apa yang bisa kita dapatkan pada saat ini, mengingat kontroversi yang besar, yang tinggi. Ya tentunya kita kecewa karena perkosaan tidak dimasukkan di sini, artinya kita harus fight habis-habisan lagi di R-KUHP. Tapi menurut kami, yang sekarang ini sudah lumayan baik, sebagai landasan awal perlindungan dari tindak pidana kekerasan seksual,” jelasnya. [pr/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG