Tautan-tautan Akses

RUU TPKS, Wujud Kehadiran Negara untuk Mencegah Kekerasan Seksual


Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)
Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)

Pemerintah mendorong pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang telah mendapat persetujuan oleh Badan Legislasi DPR RI, Rabu (6/4), karena dinilai dapat menjadi wujud kehadiran negara dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual.

Mewakili pemerintah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga, senantiasa datang langsung, baik untuk berdialog, maupun mengamati proses pembahasan dan pengambilan keputusan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR. Termasuk ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR akhirnya sepakat untuk membawa pembahasan ke tingkat sidang paripurna, untuk pengambilan keputusan.

“Dengan segala harap dan penantian serta kesabaran para korban dan para pendamping korban, kita mengharap bahwa pada akhirnya Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui bersama dalam rapat paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” kata Bintang Puspayoga kepada wartawan setelah rapat Baleg di gedung DPR, Jakarta, hari Rabu (6/4).

Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (PPPA), Bintang Puspayoga (courtesy: Facebook)
Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (PPPA), Bintang Puspayoga (courtesy: Facebook)

Ia menggarisbawahi urgensi pengesahan RUU TPKS, yang menurutnya akan menjadi wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, penegakan hukum serta menjamin ketidak berulangan terjadinya kekerasan seksual.

Yang dimaksud sebagai “tindak pidana kekerasan seksual” dalam RUU itu mencakup antara lain pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan pelecehan seksual berbasis elektronik.

Pembela Pekerja Migran Puji Aturan Soal Pemaksaan Alat Kontrasepsi

Sehari sebelumnya, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, dalam konferensi pers “Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual” hari Selasa (5/4) mengapresiasi dimasukkannya “pemaksaan kontrasepsi” sebagai salah satu jenis bentuk kekerasan seksual dalam RUU TPKS, yang menurutnya akan memberi perlindungan bagi pekerja migran. Ia mengatakan banyak pekerja migran yang ingin bekerja di luar negeri mengalami pemaksaan alat kontrasepsi.

Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE.
Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE.

RUU TPKS memastikan ancaman hukuman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda 50 juta rupiah terhadap mereka yang memaksakan penggunaan alat kontrasepsi.

“Teman-teman pekerja migran perempuan yang hendak berangkat sampai hari ini masih mengalami pemaksaan kontrasepsi sebelum mereka berangkat, di tempat-tempat penampungan,” kata Anis.

Setelah disahkan, tambah Anis, aturan hukum ini harus disosialisasikan dengan gencar agar menjadi pengatahuan publik, khususnya mereka yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Anis mendorong penguatan kapasitas terhadap pendamping korban, aparat penegak hukum (APH) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.

RUU TPKS, Wujud Kehadiran Negara untuk Cegah Kekerasan Seksual
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:13 0:00

Restitusi Sebagai Hak Korban

Adanya aturan tegas tentang restitusi sebagai hak korban dalam RUU TPKS juga dipuji banyak kalangan.

Ketua Yayasan Sukma, yang juga mantan komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, mengatakan ketentuan restitusi (ganti kerugian) sebagai hak korban sekaligus sebagai hukuman pidana tambahan bagi pelaku.

Mantan komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati. (Foto: screenshot)
Mantan komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati. (Foto: screenshot)

“Restitusi ini adalah hak korban yang itu menjadi salah satu prioritas di dalam pemenuhan untuk mendapatkan pemulihan. Nah pengakuan restitusi sebagai hak korban itu menjadi sangat kunci dalam memastikan implementasi restitusi ini nanti,” jelasnya.

Meskipun demikian ada sejumlah catatan yang menurutnya perlu dikaji kembali, yaitu perlunya penetapan pidana kurungan pengganti ketika nilai atau jumlah restitusi yang diberikan kurang dari yang ditentukan oleh pengadilan. Ini penting karena ketika pelaku yang terbukti bersalah memberikan restitusi yang kurang dari putusan pengadilan, maka menjadi beban negara.

“Sehingga tidak memberikan beban dan juga tidak menimbulkan dampak lain. Dampak lain apa? Justru peningkatan angka kekerasan seksual, karena tidak mampu, merasa negara sudah punya anggaran, dipaksa oleh undang-undang untuk menyiapkan anggaran melalui dana bantuan korban itu sendiri,” tambahnya. [yl/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG