Tautan-tautan Akses

DPR Sahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menjadi UU


Anggota DPR duduk saat Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan pidato di gedung parlemen di Jakarta. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (12/4) meloloskan RUU yang telah lama ditunggu-tunggu. (Foto: Reuters)
Anggota DPR duduk saat Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan pidato di gedung parlemen di Jakarta. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (12/4) meloloskan RUU yang telah lama ditunggu-tunggu. (Foto: Reuters)

Disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (12/4) megesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang. Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen di Senayan, Jakarta.

RUU tersebut bertujuan memberikan kerangka hukum bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan di saat tindakan pelecehan seksual sering kali dianggap sebagai masalah pribadi.

Puan Maharani Ketua DPR RI periode 2019-2024 (Courtesy: Facebook).
Puan Maharani Ketua DPR RI periode 2019-2024 (Courtesy: Facebook).

“Kami berharap penerapan undang-undang ini akan menyelesaikan kasus kekerasan seksual,” kata ketua DPR Puan Maharani.

Dalam rapat paripurna tersebut juga hadir sejumlah organisasi pembela hak perempuan, seperti Koalisi Perempuan Indonesia, Forum Pengadaan Layanan, Yayasan Kaliana Mitra, LBH APIK Jakarta dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia.

Setelah Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya menyampaikan laporan hasil pembahasan terhadap RUU TPKS, Puan kemudian meminta persetujuan kepada semua fraksi dan anggota DPR yang hadir secara fisik dan virtual dalam rapat paripurna itu.

Wakil Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Wakil Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya menjelaskan pembahasan terhadap rancangan beleid tersebut dimulai sejak 24 Maret hingga disetujui dalam rapat Badan Legislasi pada 6 April.

Dia menambahkan proses penyusunan RUU TPKS itu melibatkan setidaknya 20 organisasi masyarakat sipil.

UU ini, lanjutnya, merupakan UU yang berpihak dan berspektif pada korban.

"Kedua, bagaimana aparat penegak hukum memiliki payung hukum yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kasus kekerasan seksual. Ketiga, ini adalah kehadiran negara, bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dalam fenomena gunung es," ujar Willy.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan hadirnya UU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual.

Dia menambahkan UU tersebut merupakan bagian dari upaya negara untuk menangani, melindungi, memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku dan mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual.

"Inilah semangat kita bersama antara DPR RI, pemerintah, dan masyarakat sipil yang perlu terus kita ingat agar undang-undang ini nantinya memberikan manfaat ketika diimplementasikan, khususnya bagi korban kekerasan seksual," tutur I Gusti Ayu.

Menurut dia, setiap warga negara berhak mendapat perlindungan dari kekerasan yang dijamin oleh konstitusi. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang merendahkan derajat martabat manusia dan bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan, ketertiban masyarakat.

Dia menegaskan kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapuskan.

UU TPKS

Pengaduan masalah kekerasan seksual telah meningkat di Tanah Air, sementara penuntutan atas kejahatan seks diperumit oleh tidak adanya kerangka hukum khusus untuk menanganinya. Adanya kekhawatiran korban akan dipermalukan selama interogasi telah menghalangi banyak orang untuk angkat bicara, menurut para aktivis.

Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)
Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)

Reuters melaporkan RUU TPKS dalam versi final mencakup hukuman penjara hingga 12 tahun untuk kejahatan pelecehan seksual fisik, baik dalam perkawinan maupun di luar, 15 tahun untuk eksploitasi seksual, sembilan tahun untuk kawin paksa, yang mencakup pernikahan anak, dan empat tahun untuk mengedarkan konten seksual yang tidak mendapat persetujuan dari pihak yang terlibat di dalam konten.

RUU tersebut menetapkan pengadilan harus memaksa terpidana pelaku untuk membayar restitusi dan otoritas untuk memberikan konseling kepada korban.

Di bawah draft sebelumnya, UU tersebut juga akan mencakup aborsi dan memberikan definisi yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan pemerkosaan.

Para aktivis menyambut RUU tersebut, meskipun beberapa masih keberatan karena cakupannya yang terbatas. RUU tersebut hanya memasukkan beberapa kejahatan seks dan menghilangkan klausul khusus tentang pemerkosaan yang menurut pemerintah akan dimasukkan dalam undang-undang lain.

Aktivis perempuan dari LBH APIK Ratna Bathara Munti misalnya, mengapreasiasi langkah DPR yang telah mengesahkan RUU TPKS yang selama ini sangat ditunggu masyarakat.

DPR Sahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menjadi UU
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:52 0:00

Dia menilai UU TPKS menjadi terobosan hukum dari aspek materil maupun formal dan juga aspek-aspek lainnya. Dia menilai beleid ini cukup komprehensif dan masukan dari para aktivis perempuan juga cukup banyak yang diakomodir.

"Selebihnya terobosan terutama hukum acara terkait layanan terpadu, terkait restitusi, alat bukti lalu juga PerMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang bagaimana sikap, perilaku hakim dalam menghadapi perempuan yang berhadapan hukum. Itu diangkat statusnya di RUU TPKS, bukan hanya berlaku untuk hakim tapi juga penyidik, penuntut umum, dan jaksa," kata Ratna.

Aktivis perempuan dari gerakan anti kekerasan memegang spanduk bertuliskan "Memberantas Kekerasan Seksual? Pasti Ada Jalan!" saat protes pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di
Aktivis perempuan dari gerakan anti kekerasan memegang spanduk bertuliskan "Memberantas Kekerasan Seksual? Pasti Ada Jalan!" saat protes pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di

Dalam RUU tersebut juga diatur soal perlindungan pendamping dalam mendampingi korban.

Sementara terkait layanan terpadu, lebih lanjut Ratna mengatakan koordinasi antara penyidik dan pendamping hasilnya bisa menjadi dasar penyidikan polisi.

Ketika korban mengalami trauma dan tidak bisa memungkinkan diperiksa penyidik maka tambahnya pendamping bisa memungkinkan menggali informasi kepada korban jadi tidak langsung diperiksa polisi. Hal ini membuat antara kepentingan pemulihan dengan penegakan hukum bisa berjalan beriringan.

Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: Sasmito)
Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: Sasmito)

Dalam UU TPKS itu, ada sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, pelecehan seksual berbasis elektronik, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan dan perbudakan perkawinan.

Menurut Ratna, sebenarnya masih ada dua bentuk kekerasan seksual lagi yang masih belum diatur di UU TPKS, yakni pemaksaan aborsi dan pemerkosaan tetapi pihaknya masih akan memperjuangkan pada RUU KUHP.

Proses penyusunan beleid tentang kekerasan seksual ini dimulai sejak 2016. Sebelum RUU tersebut dinamakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tetapi kemudian berubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Rumusan RUU TPKS tersebut kemudian disahkan menjadi RUU usulan DPR pada Januari.

Di pihak pemerintah, pembahasan mengenai RUU TPKS ini melibatkan empat kementerian, yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. [fw/ah/rs]

Recommended

XS
SM
MD
LG