Tautan-tautan Akses

AKBP Untung Sangaji: Jika Saya Tak Bisa Lindungi Masyarakat, Buat Apa Jadi Polisi?


AKBP Untung Sangaji (tengah) memperlihatkan pistol yang digunakan untuk menangani teroris Sarinah. (VOA/Fathiyah).
AKBP Untung Sangaji (tengah) memperlihatkan pistol yang digunakan untuk menangani teroris Sarinah. (VOA/Fathiyah).

Tanpa berbekal rompi pelindung tubuh dan hanya dengan sepucuk pistol, AKBP Untung Sangaji yang berada di sekitar lokasi serangan teror di Sarinah Thamrin Kamis (14/1), memburu dua teroris yang kabur dan membunuhnya.

Dalam serangan teroris di kawasan Sarinah, di jalan MH Thamrin Jakarta Pusat yang menewaskan sedikitnya tujuh orang dan melukai 24 lainnya Kamis (14/1) lalu, ada seorang sosok perwira polisi yang mendapat perhatian luas masyarakat.

Dalam rekaman beberapa kamera CCTV di sekitar lokasi tampak bagaimana polisi itu tanpa rasa takut mengejar teroris yang bersembunyi di salah satu sudut Sarinah dan melumpuhkannya dengan hanya berbekal sepucuk pistol. Ia adalah AKBP Untung Sangaji, perwira menengah Pusdik Polisi Udara & Air. Jika Untung Sangaji tidak melakukan hal itu, bisa dipastikan kedua teroris akan meledakkan bom yang mereka bawa dan menewaskan lebih banyak orang yang berada di lokasi itu.

Reporter VOA, Eva Mazrieva mewawancarainya tentang rincian kejadian itu.

VOA: Terima kasih atas kesempatan wawancara yang diberikan kepada VOA. Sebenarnya bagaimana awal terjadinya serangan teroris di kawasan Sarinah yang membuat Bapak turun tangan, meski tanpa perlindungan maksimal?

Memang saya tugas sehari-hari di luar lingkar Istana Presiden di sekitaran Sarinah. Ketika itu kami ingin ngopi dan sudah masuk ke Starbuck, tetapi teman saya tidak bisa merokok di Starbuck karena dilarang. Akhirnya kami pindah ke kafe lain di dekatnya. Selang 10 menit ketika sedang ngopi, kami mendengar suara ledakan dan melihat orang-orang berlarian. Mungkin karena kami terbiasa di satgas, kami mendekat ke bunyi dan melihat orang berhamburan di jalan. Saya perintahkan anak buah yang berada bersama sama untuk memeriksa perlengkapannya dan kami mendekat ke sasaran. Ternyata sudah ada yang bergeletakan di jalan tiga orang dan ada juga korban luka-luka yang mengarah ke kanan-kiri karena kena paku atau gotri. Saya teriak ke anak buah saya untuk memeriksa korban, tetapi kami kemudian mendengar suara rintihan dari dalam pos polisi yang terkena ledakan itu.

“Tolong-tolong bawa saya ke rumah sakit”. Ternyata ia adalah polisi yang bertugas disitu. Saya membopongnya keluar sambil berteriak meminta orang memanggil ambulans. Saya tidak mengindahkan tiga orang yang sudah tergeletak di jalan karena mereka sudah meninggal. Tapi saya lihat tubuhnya memang penuh pecahan gotri, paku, baut, sekrup. Polisi yang saya tolong itu juga luka terbuka dengan pecahan yang sama, terutama di bagian paha dan mukanya. Saya tidurkan ia di salah satu mobil yang mendekat. Tapi saya heran orang-orang kok malah selfie-selfie, bukannya menjauh dari TKP. Tiba-tiba tidak jauh dari situ, lurus ke arah Starbucks, tampak seseorang melepaskan tembakan ke arah kerumunan massa yang sedang selfie-selfie itu. Satu orang roboh dan kerumunan itu pun lari berhamburan. Kami akhirnya mengambil tindakan dengan mengejar pelaku penembakan itu. Saya memang tidak berpikir dua kali dengan ada tidaknya rompi anti peluru atau kesiapan lain, yang ada dalam pikiran saya cuma satu yaitu melumpuhkan penembak ini. Sebelum mencapai posisi tersangka penembak, ia membuang bom ke tengah jalan. Salah satu kombes dari Polda Metro melihat bom itu, mengambil dan membuangnya, sementara ia juga melepaskan tembakan. Kami merangsek ke arah kanan Sarinah, diantara Starbucks yang sudah terkena bom, sambil memerintahkan kerumunan massa untuk bergeser menjauhi lokasi itu. Karena saya lihat orang yang sudah mati di jalan itu membawa bom dan senjata api, juga sebuah ransel. Saya tidak terbayang jika bom itu meledak. Saya juga sempat bertanya ke anak buah saya “berapa peluru kamu bawa, kamu siap serbu?”. Dia jawab “dua puluh Dan!”. Kami mengambil posisi yang bagus dan memikirkan strategi untuk melumpuhkan pelaku. Kami melihat kaki tersangka penembak dari sisi mobil tempat ia berlindung. Saya perintahkan anak buah saya menembak kakinya, tetapi juga minta ia hati-hati karena pelaku itu memegang bom yang bisa sewaktu-waktu dilempar atau diledakkan. Jadi kami bersama-sama melepaskan tembakan. Saya tembak tangannya, anak buah saya tembak kakinya. Ia jatuh, juga bom yang dibawanya dan meledak. Pelaku pun luka terkapar. Satu bom lagi terguling ke dekat tempat kami berlindung, jadi saya reflex memerintahkan anak buah saya bergeser. Saya menghitung mundur dari 5, 4, 3, 2, 1 dan terus maju. Saya lihat masih ada beberapa bom lagi di tubuhnya. Langsung saya “selesaikan” dia. Saya tidak terbayang jika terjadi letusan di tengah kerumunan massa itu”.

VOA: Bom yang dibawa pelaku yang Bapak lumpuhkan itu kabarnya berkekuatan lebih dahsyat dibanding bom yang meledak di pos polisi?

“Betul Mbak! Saya lihat konstruksi bentuk bom yang sempat kami foto setelah kejadian, itu besar sekali. Jika kita menunggu terlalu lama, bisa jadi bom itu keburu ditarik pemicunya”.

VOA: Keputusan yang Bapak ambil untuk maju melumpuhkan penyerang dengan bekal ala kadarnya itu dilakukan dalam hitungan menit…

“Wah bukan menit Mbak! Gak sampai, beberapa detik saja”.

VOA: Jadi memang Bapak tidak punya pilihan lain selain menembak mati pelaku atau Bapak dan massa yang jadi korban?

“Betul! Jika pelaku sempat menarik pemicu, bukan saja saya yang mati tapi juga ratusan orang yang ketika itu menonton peristiwa tersebut karena tidak menyadari bahayanya”.

VOA: Kematian dan ketenaran tipis sekali tampaknya?

“Ya sangat tipis! Sebenarnya ketika saya ingin mengejar tersangka, saya melihat ada beberapa personil pasukan yang sudah tiba dan mengenakan body-protector atau rompi anti-peluru. Tapi khan gak mungkin saya minta. Mereka tentunya juga ingin melindungi dirinya dan punya hak untuk selamat. Saya tidak menyalahkan mereka. Saya segera saja ambil tindakan karena melihat kerumunan massa makin banyak. Proyektil bom itu khan sangat berbahaya”.

VOA: Apakah Bapak tidak takut?

“Tentu takut! Tapi saya lebih takut lagi jika terjadi ledakan susulan dan massa begitu banyak di sekitar lokasi. Bagaimana mereka nanti? Saya polisi, terus saya tidak bisa melindungi masyarakat, jadi apa saya? Tidak ada pilihan lain selain bagaimana menghentikan serangan itu”.

VOA: Selama ini Polri banyak dikecam masyarakat luas, mungkin karena memang ada beberapa oknum Polri yang “nakal”. Tetapi kejadian hari Kamis (14/1) membuktikan bahwa masyarakat masih butuh polisi. Orang masih mencari polisi. Bagaimana Bapak melihat fenomena ini: selama ini dikecam, tapi kini dibutuhkan masyarakat?

“Ketika saya mengambil tindakan itu sih saya tidak memikirkannya. Saya bukan cari nama. Dan saya memang tidak punya pilihan. Bagaimana jika saya diam, apa dampaknya. Itu saja jadi saya maju”.

VOA: Apakah Kapolri menelepon Bapak setelah melihat keberanian mengejar dan melumpuhkan penyerang ini?

“Iya dia menelepon saya dan meminta saya untuk sama-sama berjuang demi Polri. Saya bilang ya mudah-mudahan aman terus. Dan memang sampai hari ini kami siaga penuh. Ini saya baru pulang ke rumah.”

VOA: Sejak kejadian hari Kamis (14/1), Bapak baru pulang ke rumah hari ini (17/1)?

‘’Iya Mbak. Kemarin-kemarin dimintai keterangan di kantor dan mandi-tidur juga di kantor. Saya juga berkewajiban untuk menjenguk mereka yang luka-luka dan dirawat di rumah sakit. Kapolsek juga menunggu saya karena katanya mereka yang selamat, menanyakan keberadaan kita. Mereka ingin ketemu orang yang menyelamatkan mereka ketika itu. Ada juga korban WNA yang pesan ingin ketemu saya. Jadi saya temui mereka, beri dukungan supaya cepat sembuh. Haru juga melihat mereka”.

VOA: Jika Bapak ada kesempatan untuk mendapat pelatihan demi meningkatkan kapabilitas menghadapi teroris atau penyerang seperti di Sarinah, Bapak masih mau?

“Tentu! Saya senang. Dulu kami latihan penindakan taktikal dengan Kopassus Amerika tahun 2006 atau 2007 begitu. Tentu jika ada latihan yang bisa diberikan kami untuk meningkatkan kemampuan menghadapi gerakan radikal, kami akan senang sekali. Tentunya ini demi Indonesia dan masyarakat juga,” tutur Untung Sangaji. [em/al]

Recommended

XS
SM
MD
LG