Tautan-tautan Akses

Pakar: Pengesahan RUU TPKS Atasi Kekosongan Hukum 


Para peserta Women's March menuntut segera disahkannya RUU-PKS dalam aksi di Jakarta, Sabtu, 27 April 2019. (VOA/Sasmito)
Para peserta Women's March menuntut segera disahkannya RUU-PKS dalam aksi di Jakarta, Sabtu, 27 April 2019. (VOA/Sasmito)

Seluruh pihak mendorong pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) oleh pemerintah dan DPR. Salah satu sebabnya, dasar hukum yang dipakai hakim saat ini masih memiliki celah, yang membuat pelaku kerap divonis ringan.

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono memandang, ada problem kekosongan hukum dalam perkara kekerasan seksual. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak cukup mengatur, khususnya terkait perlindungan korban.

Dia mengatakan, hanya beberapa jenis kekerasan seksual yang diatur di dalam KUHP dan itu terbatas sekali.

“Ada perkosaan, ada percabulan, ada perbuatan asusila di depan publik. Ada persetubuhan dengan anak. Tetapi kerangka pengaturan dan isi dari rumusan satu dengan rumusan pasal lainnya, sudah tidak berkesesuaian dengan realitas kekerasan yang sekarang terjadi,” papar Sri Wiyanti dalam diskusi yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM di Yogyakarta, Selasa (15/2).

Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Widyanti Eddyono. (VOA)
Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Widyanti Eddyono. (VOA)

Sri Wiyanti memberi contoh, salah satu jarak KUHP dengan kasus saat ini adalah soal kekerasan seksual berbasis daring. Meski jumlah kasusnya meningkat selama pandemi, hukum Indonesia tidak memiliki aturan penanganannya.

Dia juga mengatakan, ketika KUHP disusun, paradigmanya adalah untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi manusia. Namun kenyataanya, hak asasi manusia yang lebih banyak ditekankan dalam KUHP, adalah hak tersangka, hak terdakwa, atau hak terpidana. Sangat kurang sekali perlindungan terhadap hak korban.

“Konstruksi KUHAP kita memang bukan berorientasi kepada korban, dan itu satu problem,” tambahnya.

Data membuktikan, kondisi itu menciptakan ketiadaan perlindungan korban. Pada gilirannya, korban kejahatan mengalami ketakutan ketika melaporkan apa yang menimpanya. Hanya sekitar delapan persen korban melapor, atau 92 persen korban memilih untuk diam.

“Ada banyak penelitian sebetulnya yang sudah mengidentifikasikan. Pertama, karena merekat takut terhadap respon dari pelaku terhadap laporan itu. Yang kedua, mereka tidak percaya bahwa aparat hukum atau sistem hukum bisa membantu mereka,” tandasnya.

Selain itu adalah juga judicial stereotyping, atau kepercayaan bahwa peradilan di Indonesia tidak independen. Dengan dasar hukum yang ada, tambah Sri Wiyanti, kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan sulit diproses secara hukum, jikapun berjalan, hukumannya rendah. "Kecuali korban kekerasan seksualnya adalah anak-anak,” tambah Sri Wiyanti.

Diakui Hakim Agung

Hakim Agung di Mahkamah Agung, Jupriyadi dalam diskusi ini juga mengatakan, aturan hukum di Indonesia belum memberi tempat yang layak bagi korban.

Dia menguraikan, dalam KUHP ketentuan pidananya lebih tertuju kepada pertanggung jawaban pelaku sebagai pribadi. KUHP tidak menyinggung pertangungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan yang dialami korban.

Hakim Agung Mahkamah Agung Jupriyadi. (VOA)
Hakim Agung Mahkamah Agung Jupriyadi. (VOA)

“Jadi ancaman-ancaman yang ada dalam KUHP hanya mengatakan, barangsiapa begini akan dipidana satu hari sampai maksimal berapa tahun. Tidak pernah disinggung bagaimana nanti nasib korban ini,” ujarnya.

Lebih buruk lagi, dalam KUHP ketentuan pidana juga dikenal adanya minimum umum, yaitu satu hari, disamping juga ada maksimum umum. Karena itu, dalam kasus kekerasan seksual yang disidang menggunakan KUHP, sangat sering muncul disparitas.

“Karena hakim memang mempunyai kewenangan, memberikan hukuman antara satu hari sampai maksimal yang ditentukan dalam pasal itu. Hakim tentu tidak salah, karena memang itulah rentang waktu pidana yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual,” tambah Jupriyadi.

Aturan hukum yang lebih baik terkait kekerasan seksual adalah UU Perlindungan Anak.

Menurut Jupriyadi, kekerasan seksual memang tidak secara eksplisit disebut di dalam UU ini. Namun, aturan hukum ini menjadi pedoman baru dalam melindungi anak-anak sebagai korban kekerasan seksual.

“Ada kemajuan. Ancaman pidananya sudah ada ancaman pidana minimum khusus, minimal lima tahun, maksimal 15 tahun. Ini mengurangi disparitas putusan hakim, karena apapun bentuk kekerasan seksual pada anak, minimal hukumannya lima tahun,” ucapnya.

Ada juga dasar hukum bagi perkara kekerasan seksual dewasa, dengan menggunakan UU No 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. UU ini juga menerapkan hukuman minimum empat tahun dan maksimum 15 tahun. Namun, kejadian kekerasan seksual harus berada dalam lingkup rumah tangga.

“Jadi, ada masalah, ketika korban bukan anak-anak dan tidak dalam lingkup rumah tangga. Mau dijerat pakai apa? Dijerat dengan KUHP lagi,” tandasnya.

Kondisi itulah yang membuat putusan dalam perkara kekerasan seksual dengan korban dewasa dan tidak dalam lingkup rumah tangga, divonis ringan oleh hakim. Untuk itu pulalah, UU TPKS dinilai sangat penting hadir.

Pencegahan Dinilai Sama Penting

Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan menyayangkan paradigma yang berkembang, bahwa untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual, jawabannya adalah dengan membuat peraturan. Jika sudut pandangnya seperti itu, kata dia, sama saja dengan percaya bahwa kekerasan seksual muncul, karena ketiadaan undang-undang yang mengaturnya.

Otto mengaku bisa mengerti dan memahami, bahwa undang-undang yang baik akan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan hukum terutama kekerasan seksual.

Diskusi hukum terkait kasus kekerasan seksual di FH, UGM, Selasa, 15 Februari 2022. (VOA).
Diskusi hukum terkait kasus kekerasan seksual di FH, UGM, Selasa, 15 Februari 2022. (VOA).

“Tetapi peranan undang-undang di dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual, yang dimana undang-undang itu berlakunya setelah terjadinya kekerasan seksual, itu hanya sedikit sekali pengaruhnya dalam rangka pencegahan kekerasan seksual,” kata Otto.

Otto mengingatkan bahwa di luar soal undang-undang, setiap pihak memiliki tanggung jawab sosial. Karena itu, tidak boleh menyalahkan ketiadaan undang-undang sebagai sebab maraknya kekerasan seksual.

“Walaupun saya sangat paham dan mengerti, dan bisa menerima, bahwa undang-undang ini sangat diperlukan untuk menyelesaikan ini,” tambahnya.

Pakar: Pengesahan RUU TPKS Atasi Kekosongan Hukum
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:51 0:00

Namun sekali lagi, tidak akan ada jaminan bahwa keberadaan UU TPKS akan serta merta membuat pelaku kekerasan seksual menghentikan aksinya. Otto berpandangan, yang harus diselesaikan adalah akar masalahnya. Upaya pencegahan, dengan demikian menjadi sangat penting.

“Bukankah sebenarnya lebih baik, kalau kita secara integral, seluruh pemerintah, unit-unit lembaga pendidikan, ikut serta mengambil peran. Karena ini adalah persoalan moral, persoalan sosial. Ini adalah juga persoalan budaya di dalam hukum itu sendiri,” imbuhnya. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG