Tautan-tautan Akses

Ritual Keliling Beteng Kraton Yogyakarta untuk Peringati Tahun Baru Islam


GBPH Prabukusumo (kanan baju hijau) melepas peserta kirab "Mubeng Beteng" dengan menyerahkan panji-panji kepada wakil peserta, Kamis 15/10 dini hari (foto: VOA/Munarsih).
GBPH Prabukusumo (kanan baju hijau) melepas peserta kirab "Mubeng Beteng" dengan menyerahkan panji-panji kepada wakil peserta, Kamis 15/10 dini hari (foto: VOA/Munarsih).

Sekitar empat ribu orang Kamis (15/10) dinihari mengikuti prosesi "Topo Mbisu Mubeng Beteng", atau mengelilingi beteng Kraton Yogyakarta sambil membisu untuk memperingati tahun baru Islam 1437 Hijriyah berdasarkan Kalender Sultan Agung.

Menjelang tengah malam, di area Keben komplek Kraton Yogyakarta para abdi dalem dengan baju paranakan membawakan tembang Mocopat yang berisi harapan untuk keselamatan, dilakukan menjelang pawai keliling beteng sambil membisu untuk memperingati malam tahun baru Islam 1437 Hijriyah versi Jawa yang dimulai pukul nol-nol pada Kamis dinihari (15/10).

Diperkirakan sekitar empat ribu orang dari Yogyakarta dan kota-kota lain seperti Surabaya dan Jakarta ikut dalam acara tersebut.

Peringatan tahun Baru Islam di Kraton Yogyakarta, menurut abdi dalem Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rinto Isworo yang mengurus kepustakaan Kraton, diselenggarakan berdasarkan Tahun Jawa menurut Kalender Sultan Agung.

Kalender Sultan Agung dimulai satu tahun setelah berakhirnya tahun Saka 1554, atau bertepatan dengan 18 Juli 1633 Tahun Masehi.

"Kalender Sultan Agung itu kalender Islam versi Jawa untuk mensinergikan antara kalender Saka yang berdasarkan peredaran matahari dengan kalender Islam yang berdasarkan bulan; Hijriyah namun namun diganti dengan yang nuansa Jawa. Kalau di tahun Hijriyah itu (bulan) Muharam, Sultan Agung mempunyai nama sendiri yaitu bulan Suro," ungkap Rinto Isworo.

GBPH Prabusukumo, kerakat Kraton yang membawahi Kepustakaan yang juga adik Sultan HB ke-10 menjelaskan tujuan ritual Topo Bisu Mubeng Beteng. Ia juga menjelaskan tradisi maupun gelar di kasultanan yang tidak bisa dirubah termasuk posisi sebagai Sultan yang bertugas sebagai pemimpin Islam yang seharusnya seorang laki-laki.

"Acara mubeng (keliling) beteng dengan topo mbisu (tidak berbicara) ini agar supaya kita bisa merenungkan, introspeksi diri tentang apa yang telah kita lakukan tahun yang lalu seperti apa untuk menjadi lebih baik tahun kedepan, sampai 1 Suro yang akan datang. Para leluhur kita semua mendirikan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat itu sebagai kerajaan Islam, menciptakan paugeran yang mempunyai (makna) filosofi yang tinggi," jelas Prabusukumo.

Menjelang "Mubeng Beteng", para abdi dalam yang mengenakan busana peranakan, membawakan tembang mocopat berisi doa keselamatan, Kamis 15/10 (foto: VOA/Munarsih).
Menjelang "Mubeng Beteng", para abdi dalam yang mengenakan busana peranakan, membawakan tembang mocopat berisi doa keselamatan, Kamis 15/10 (foto: VOA/Munarsih).

Tepat pada pukul non-nol Kamis dinihari prosesi Mubeng Beteng dilepas oleh GBPH Prabukusumo. Ritual Mubeng Beteng pada awalnya dulu dilakukan oleh para abdi dalem untuk mengelilingi pagar Kraton yang luasnya 1,5 kilometer-persegi sebagai bentuk komtemplasi ketika memasuki tahun yang baru.

Sekarang, masyarakat dari luar Yogyakarta juga tertarik mengikuti acara tersebut, termasuk Herdiani, mahasiswa UIN Jakarta yang ikut hadir pada malam itu.

Herdiani mengatakan, "Karena selama ini hanya lihat di TV saja jadi ingin lihat langsung bagaimana caranya tradisi itu, lebih ingin tahu saja. Soalnya di Yogya itu solah ada 2 yang petinggi; satunya dari kerajaan dan dari pemerintah meskipun dari orang yang sama, saya jadi tertarik. Kemarin kalau nggak salah juga ada pawai yang dari pemerintah dan sekarang yang dari Kraton."

Menurut Erlina Hidayati Kepala Bidang Sejarah Purbakala dan Museum Dinas Kebudayaan DIY, acara Mubeng Beteng mulai tahun ini diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Surat Keputusan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan diserahkan kepada Sultan HB ke-10 pada tanggal 20 Oktober.

"Mubeng beteng ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional Indonesia. Jadi tidak hanya hanya menjadi milik Yogyakarta tetapi sekarang milik negara Indonesia. Mungkin di tempat lain ada, Solo, misalnya tetapi berbeda," ujar Erlina.

Ritual Mubeng Beteng dengan membisu itu juga menarik perhatian sejumlah turis mancanegara yang tampak hadir dan ikut dalam prosesi mengelilingi benteng Kraton Yogyakarta.

Recommended

XS
SM
MD
LG