Tautan-tautan Akses

Kraton Yogyakarta di Persimpangan Jalan Suksesi


Seorang wisatawan melihat koleksi foto-foto Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dipajang di Kraton Yogyakarta (Foto: VOA/Nurhadi)
Seorang wisatawan melihat koleksi foto-foto Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dipajang di Kraton Yogyakarta (Foto: VOA/Nurhadi)

Sri Sultan Hamengkubuwono X memiliki lima putri, dan tidak satupun pun anak laki-laki. Kondisi ini melahirkan pertanyaan, siapakah yang kelak akan menjadi Sultan, sekaligus Gubernur Yogyakarta.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DI Yogyakarta kini sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah Keistimewaan (Raperdais). Salah satu titik perhatian dalam Raperdais ini adalah persyaratan menjadi Gubernur DIY.

Sesuai undang-undang yang ada, Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur DIY. Muncul wacana, dimungkinkan adanya gubernur perempuan, yang pada gilirannya bermakna Sultan Yogyakarta pun bisa seorang perempuan. Perdebatan menyangkut hal ini didasarkan pada perubahan zaman yang menuntut kesetaraan hak tanpa melihat gender.

Namun, Ketua Panitia Khusus Raperdais, Slamet kepada VOA menegaskan, DPRD DIY tidak akan masuk dalam perdebatan apakah Sultan boleh perempuan atau harus laki-laki.

"Tata cara atau adat paugeran kraton kami tidak sedang membahas, karena bukan kapasitas kami. Silahkan di Kraton bagaimana karena disana sudah ada paugeran sejak HB I sampai HB X. DPRD nantinya hanya akan menerima siapapun yang dikirimkan dari Kraton,” kata Slamet.

Sosiolog dan aktivis sosial, Imam Samroni kepada VOA mengatakan, paugeran atau mekanisme di dalam pergantian Raja, khususnya di Mataram, hanya dikenal Sultan, bukan Sultanah jika dilihat dari sisi gender. Bahwa kemudian ada rujukan sejarah, misalnya Wangsa Syailendra memunculkan Pramodya Wardani dan di Kerajaan ada Tri Buwana Tunggadewi, maka itu adalah sistem kerajaan yang berbeda.

“Di Kerajaan Mataram, yang saya pelajari seperti ini, lelaki dan perempuan jelas. Ada pengantar pada saat pergantian dari HB V ke HB VI. HB V tidak memiliki anak laki-laki. HB V tetap merujuk pada paugeran bahwa hanya ada Sultan, yang seorang laki-laki, bukan Sultanah. Sehingga penggantinya, yang kemudian menjadi HB VI adalah adiknya dari permaisuri yang sah, jadi bukan anak perempuannya,” jelas ​Imam Samroni​.

Budayawan dan penulis R. Toto Sugiarto kurang lebih berpendapat sama. Munculnya wacana Sultan perempuan akan membawa dampak luar biasa, termasuk merubah Undang-Undang Keistimewaan itu sendiri.

“Kalau dari rujukan Undang-Undang Keistimewaan, misalnya pada bab VI pasal 18 ayat 1 huruf m, itu antara lain syarat untuk menjadi Gubernur adalah menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak. Dalam ketentuan tersebut hanya disebutkan 'istri', tidak disebutkan 'atau suami', yang berarti pejabat Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus laki-laki, kalau ada wacana bisa perempuan berarti harus merevisi undang-undangnya,” jelas ​R. Toto Sugiarto​.

Putri tertua Sultan Hamengkubuwono X, GKR Pembayun nampak hadir dalam rapat di DPRD DIY membahas Raperdais pertengahan minggu ini. Banyak pihak berspekulasi, kehadiran ini menjadi tanda adanya keinginan untuk membuka kesempatan seorang perempuan menjadi raja di Yogyakarta.

Namun, upaya untuk menjaga tradisi, dengan memastikan Sultan harus seorang laki-laki juga dilakukan oleh banyak tokoh adat. Menurut tradisi, jika seorang Sultan Yogya tidak memiliki anak laki-laki, maka adik dari satu ibulah yang berhak menggantikannya.

Recommended

XS
SM
MD
LG