Tautan-tautan Akses

Ribuan Warga Terdampak Bencana di Sulteng Masih Menantikan Hunian Tetap


Seorang lansia yang duduk di depan bilik bangunan hunian sementara (huntara) Petobo, Palu Selatan. Senin (23/5/2022) (Foto : VOA/Yoanes Litha)
Seorang lansia yang duduk di depan bilik bangunan hunian sementara (huntara) Petobo, Palu Selatan. Senin (23/5/2022) (Foto : VOA/Yoanes Litha)

Hingga kini ribuan warga terdampak bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi 2018 di Sulteng masih menantikan hunian tetap (huntap). Pemerintah menyebutkan dari total rencana 7.682 unit huntap, baru 45 persen yang telah terbangun.

Nurhasan (58), penyintas bencana likuefaksi di Kelurahan Petobo, Palu Selatan mengatakan masih belum ada kejelasan terkait kapan mereka dapat pindah ke hunian tetap (huntap) walaupun bencana gempa bumi telah terjadi empat tahun yang lalu. Bangunan hunian sementara (huntara) yang mereka tempati sejak April 2019 hinggi kini kondisinya sudah banyak yang rusak.

“Mungkin sudah 90 persen tidak layak huni lagi ini huntara karena sudah banyak bocor-bocor, bapak lihat sendiri air sudah mengalir, air itu dari septic tank yang keluar karena sudah penuh,” kata Nurhasan ditemui di huntara Petobo, kepada kepada VOA, Senin (23/5).

Seperti keluarga lainnya di tempat itu, Nurhasan tinggal di salah satu bilik berukuran 4 kali 3 meter. Saat ini masih terdapat sekitar 700 keluarga yang berada di bilik-bilik huntara yang dindingnya terbuat dari kalsiboard.

Bangunan Hunian Sementara (Huntara) yang terbuat dari material bambu di Kelurahan Poboya, kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah. (3/8/2019). Foto : Yoanes Litha
Bangunan Hunian Sementara (Huntara) yang terbuat dari material bambu di Kelurahan Poboya, kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah. (3/8/2019). Foto : Yoanes Litha

“Ini huntara sejak awal baru dibangun memang tidak layak huni, karena saya punya anak tiga, sudah besar-besar semua. Jadi bagaimanalah keluarga dalam satu hamparan satu tempat tidur itukan tidak memungkinkan untuk keluarga sebenarnya, tapi kami ikhlaskan, mau ke mana, karena rumah kami habis ,” cerita Nurhasan yang pernah menjabat sebagai lurah Petobo 2013-2017.

Rosna (40) seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari mencari nafkah dengan jasa mencuci pakaian berharap keluarganya dapat pindah ke bangunan huntap yang lebih layak dibandingkan huntara yang sempit dan terasa panas di siang hari. Saat ini beberapa tetangganya telah keluar dari huntara karena keadaan itu.

“Pertama banyak-banyak orang masih bagus, ramai-ramai bercerita jadi hilang stres. Kalau begini tinggal sedikit orangnya mulai teringat lagi kejadian likuefaksi,” kata Rosna yang mengaku masih trauma dengan bencana alam 28 September 2018 silam.

Enos Marajani bersama anggota keluarganya berfoto di depan huntara individual yang disebut sebagai rumah tumbuh di desa Sungku, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. (Foto : Dewi Sri Sumanah/Save the Children Indonesia)
Enos Marajani bersama anggota keluarganya berfoto di depan huntara individual yang disebut sebagai rumah tumbuh di desa Sungku, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. (Foto : Dewi Sri Sumanah/Save the Children Indonesia)

Terkendala Permasalahan Lahan

Adriansa Manu, Koordinator Celebes Bergerak, organisasi yang sejak 2018 mendampingi penyintas bencana alam di berbagai hunian sementara di Palu, Sigi dan Donggala mengatakan belum tuntasnya pembangunan hunian tetap di Sulteng utamanya dikarenakan status kepemilikan lahan yang belum tuntas. Pembangunan huntap menggunakan bantuan Bank Dunia mensyaratkan tidak boleh ada klaim kepemilikan lahan oleh pihak lain.

Menurutnya, pemerintah seharusnya berani mengambil keputusan tegas penyelesaian permasalahan itu.

“Berani tidak untuk misalkan ambil keputusan bahwa tanah yang ditunjuk sebagai lokasi huntap itu baik yang sudah terlanjur diberikan kepada perusahaan properti, katakanlah begitu, nah itu semua diambil alih kembali untuk kepentingan pembangunan huntap. Nah masalahnya pemerintah tidak berani di situ,” kata Adriansa.

Menurut Adriansa, permasalahan status kepemilikan lahan yang belum tuntas menjadi kendala utama dari belum selesainya pembangunan hunian tetap, sehingga warga terdampak bencana (WTB) harus bertahan di huntara yang sebagian besar sudah tidak layak huni. Celebes Bergerak memperkirakan masih terdapat tujuh ribu keluarga yang hingga kini masih mencari kepastian mendapatkan hunian tetap.

Survei yang dilakukan Celebes Bergerak di tujuh lokasi huntara di Kota Palu pada Maret 2022 menemukan mayoritas warga mengeluhkan toilet yang sudah tidak dapat digunakan, bilik huntara yang sempit, akses terhadap air bersih serta masalahan keamanan dan kenyamanan bagi perempuan dan anak yang rentan terhadap kasus kekerasan seksual.

Selain itu sebanyak 11 unit huntara di Kota Palu telah dibongkar oleh pemilik lahan dengan alasan masa pakai dua tahun untuk huntara telah berakhir.

Nurhasan (58), baju biru, di huntara Petobo, Palu Selatan. Senin (23/5/2022) (Foto : VOA/Yoanes Litha)
Nurhasan (58), baju biru, di huntara Petobo, Palu Selatan. Senin (23/5/2022) (Foto : VOA/Yoanes Litha)

Target Penyelesaian Huntap

Merujuk situs pu.go.id, Jumat (20/5), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Perumahan bersama Non Government Organization (NGO) telah menyelesaikan 3.463 unit huntap atau setara 45 persen dari total rencana 7.682 unit huntap. 45 persen unit huntap ini juga telah dihuni oleh para penerima manfaat.

Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah mengatakan Kementerian PUPR menargetkan penyelesaian huntap pada akhir 2023. Pemerintah Daerah diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan lahan hingga akhir Juni 2022, agar target penyelesaian seluruh kegiatan fisik pada Desember 2023 dapat tercapai.

Pembangunan huntap dilakukan di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. [yl/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG