Tautan-tautan Akses

Rainbow Day Camp: Bermain dan Melepas Stigma di Kamp Anak-anak Transgender


Sam yang berusia 9 tahun sedang membaca buku di perpustakaan Bay Area Rainbow Day Camp di El Cerrito, California, 12 Juli 2017.
Sam yang berusia 9 tahun sedang membaca buku di perpustakaan Bay Area Rainbow Day Camp di El Cerrito, California, 12 Juli 2017.

Banyak kamp musim panas di Amerika memusatkan kegiatan pada satu aktivitas saja, seperti baseball, komputer, atau menunggang kuda. Ada pula kamp-kamp bagi kelompok khusus seperti kamp untuk siswa Yahudi atau Kristiani, atau kamp untuk siswa dengan autisme dan difabel. Sebuah kamp di California dikelola khusus untuk kelompok yang mulai banyak jumlahnya yaitu siswa transgender yang berusia empat hingga dua belas tahun. Sebagian pakar mengatakan pertumbuhan cepat kamp-kamp seperti ini mencerminkan peningkatan dramatis jumlah anak yang “sedang mengalami transisi sosial” pada usia lebih muda di Amerika.

Rainbow Day Camp mengajak siswa beristirahat sejenak dari kegiatan akademis sekolah, dan juga stigma yang ada di tengah masyarakat sebagai kelompok berbeda.

Siswa usia empat hingga dua belas tahun yang ada di kamp ini adalah transgender. Mereka menggunakan kata ganti sebagai pilihan dan bertemu dengan transgender lain remaja atau dewasa, termasuk banyak pembimbing di kamp. Diantaranya adalah Andrew Kramer, Direktur Rainbow Day Camp.

“Mereka mengikuti minat kreatif mereka dan tidak perlu merasa stress atau bingung karena dipandang sebagai “kelompok berbeda”. Mereka bisa menjadi kelompok mandiri yang paling otentik dan membangun komunitas dengan orang lain yang memahami pengalaman hidup yang sama,” kata Andrew.

Kebutuhan masyarakat untuk memiliki kamp semacam inilah yang mengilhami Sandra Collins untuk memulai kamp ini dua tahun lalu.

“Saya biasanya mengatakan kamp ini dibangun karena kesedihan, karena pengalaman. Tetapi seorang teman mendorong saya untuk membentuk kamp ini berdasarkan cinta kasih, menjadikan kamp ini sebagai tempat yang aman bagi anak saya dan juga anak-anak lain yang seperti dia,” ujar Sandra.

Seorang peserta berjalan melewati tanda kamar kecil untuk semua gender di Bay Area Rainbow Day Camp di El Cerrito, California, 11 Juli 2017.(Foto:dok)
Seorang peserta berjalan melewati tanda kamar kecil untuk semua gender di Bay Area Rainbow Day Camp di El Cerrito, California, 11 Juli 2017.(Foto:dok)

Semakin banyak anak “seperti putri” Sandra Collins di Amerika, yang tidak lagi mengherankan psikolog perkembangan perilaku di UCSF Child & Adolescent Gender Center Clinic, Diane Ehrensaft.

“Kami berharap seorang anak berusia dua tahun sudah tahu apakah “ia laki-laki” atau “ia perempuan”. Jadi kami tidak bisa langsung berharap anak transgender mengetahui gender mereka sebagaimana anak-anak yang bukan transgender,” kata Diane.

Molly Maxwell mengatakan hal ini yang terjadi ketika anaknya masih balita.

“Ketika putri saya mulai belajar bicara dan bersuara, ia selalu berkeras bahwa ia bukan laki-laki, ia adalah perempuan dan ingin dipanggil sebagai seorang anak perempuan,” cerita Molly.

Studi yang dirilis tahun ini menunjukkan bahwa memperbolehkan transisi sosial ini bisa memiliki dampak positif pada kesehatan mental anak-anak. Ibunda James Kaplan tidak menyesal telah memperbolehkan anaknya melakukan transisi ini.

“Saya berduka dengan kehilangan putri saya, tetapi pada saat bersamaan saya menyambut kedatangan putra saya dan ingin mengetahuinya. Segera setelah ia melakukan transisi, ia menjadi lebih senang, lebih percaya diri, lebih gembira,” tutur Sara Kaplan.

Enam puluh anak di Rainbow Day Camp pada musim panas ini tentunya juga lebih gembira.

“Saya ingin menjadi siapa saya sebenarnya, bukan sebaliknya,” kata Scarlett Reinhold. [em/jm/al/ds]

XS
SM
MD
LG