Tautan-tautan Akses

Rage Room, Fasilitas Tumpahkan Kemarahan


Ruang pelampiasan emosi atau rage room kini banyak bermunculan di Indonesia. (Foto: AP/Jae C. Hong)
Ruang pelampiasan emosi atau rage room kini banyak bermunculan di Indonesia. (Foto: AP/Jae C. Hong)

Jika pandemi membuat Anda merasa frustrasi dan terkungkung, Anda barangkali perlu membuang perasaan itu jauh-jauh dengan memecahkan barang-barang. Di Indonesia kini bermunculan fasilitas yang khusus menyediakan layanan tersebut secara aman dan terkendali.

“Betul sekali. Smashroom ini tempat yang tepat bagi kalian yang ingin melampiaskan segala emosi, segala penat. Kalian mungkin merasa capai dengan hidup. Kalian tidak tahu harus cerita ke siapa. Kalian ingin menghancurkan barang, tapi sayang itu barang kalian. Kalian nggak ada ruang untuk mengekspresikan kemarahan. Smashroom adalah tempat yang tepat untuk itu.”

Begitu pengakuan Sarjia Ibrahim, seorang pesohor yang sempat menyandang gelar Putri Indonesia Berbakat pada tahun 2017 dan Miss Grand Congeniality 2019. Perempuan asal Maluku tersebut baru-baru ini mengunjungi sebuah fasilitas rage room -- ruang di mana ia bisa meluapkan semua amarahnya dengan memecahkan barang-barang -- di Bali.

Sarjia Ibrahim, Putri Indonesia Berbakat 2017. (Foto: Dok Pribadi)
Sarjia Ibrahim, Putri Indonesia Berbakat 2017. (Foto: Dok Pribadi)

Dinamakan Smashroom, rage room di Kaamala Resort di Ubud, Kabupaten Gianyar, ini sebetulnya ruang dengan lebar hanya 4 meter dan panjang 4 meter. Di dalamnya Anda bisa menemukan berbagai benda pecah belah termasuk botol bir, TV, dan AC bekas yang boleh dihancurkan. Perlengkapan pelindung -- termasuk sarung tangan dan helm -- terlihat menggantung di dekat pintu. Terletak di dalam pusat kebugaran resor itu, ruang tempat melampiaskan amarah ini tidak kedap suara sehingga orang di luar dapat mendengar suara-suara yang keluar dari sana.

Seperti halnya Sarjia, Salshadilla Juwita, seorang aktris dan penyanyi ternama yang juga mengunjungi Smashroom, mengaku rage room membantu meringankan perasaan frustrasi mereka yang bertumpuk akibat tekanan hidup sehari-hari.

Salshadilla Juwita, aktris dan penyanyi yang merasa puas memanfaatkan rage room. (Foto: Dok Pribadi)
Salshadilla Juwita, aktris dan penyanyi yang merasa puas memanfaatkan rage room. (Foto: Dok Pribadi)

“Senang di situ karena bisa sekalian workout juga. Karena setelah itu kita kan jadi keringetan. Dapat workout, dapat stress relief juga. Di masa pandemi ini, banyak orang yang memendam rasa kesal atau marah. Kok restrictions banyak banget. Kok diperpanjang," ujarnya.

Putri kandung penyanyi dangdut terkenal Iis Dahlia ini mengatakan rage room bisa menjadi solusi positif bagi mereka yang mengalami tekanan mental. Ia dan Sarjia sama-sama mengatakan, mereka akan kembali memanfaatkan fasilitas seperti itu setiap kali ada kesempatan.

“Ketimbang memecahkan barang sendiri, atau lari ke minuman beralkohol atau narkoba, yang akhirnya merugikan diri sendiri. Atau melampiaskan kekesalan pada orang lain, yang akhirnya merugikan orang lain juga," katanya

Gratika Ekawati-- Marketing, Branding and Business Development Manager Ini Vie Hospitality. (Foto: Courtesy/Kaamala Resort)
Gratika Ekawati-- Marketing, Branding and Business Development Manager Ini Vie Hospitality. (Foto: Courtesy/Kaamala Resort)

Menurut Gratika Ekawati, Marketing, Branding and Business Development Manager Ini Vie Hospitality -- perusahaan induk Kaamala Resort, pengunjung Smashrom cenderung meningkat belakangan ini, seiring pandemi yang berkepanjangan.

“Kita kan tahu banyak orang yang memiliki masalah keuangan, masalah emosional. Mereka itu butuh ruang untuk menyalurkan penat mereka, unek-unek mereka, masalah mereka dengan cara yang aman," kata Gratika.

Selain Sarjia dan Salshadilla, beberapa nama besar yang pernah mengunjungi Smashroom, adalah Jessy Silana Wongsodihardjo, mantan Putri Pariwisata, Indonesia 2020 yang baru-baru ini dinobatkan sebagai Miss Tourism International 2021/2022; dan Alditsa Dotchi Sadega, personel band Pee Wee Gaskins. Iis Dahlia dan suami, juga sempat menikmati fasilitas itu.

Ruang melampiaskan kemarahan dan frustasi. (Foto: Courtesy/Kaamala Resort)
Ruang melampiaskan kemarahan dan frustasi. (Foto: Courtesy/Kaamala Resort)

Pengunjung fasilitas itu – yang disebut smasher – akan dikenai biaya sekitar Rp50.000 hingga Rp250.000 selama 30 menit, tergantung benda-benda yang dihancurkan. Menurut Gratika, peserta diharuskan mengenakan peralatan pelindung, termasuk pakaian khusus, helm, sarung tangan dan pelindung sepatu yang tersedia.

“Kita punya standard safety yang luar biasa, mulai dari helmet, suit, gloves hingga goggle glass-nya," ujar Gratika.

Meningkatnya permintaaan akan rage room juga dirasakan Masagus Yusuf Albar, Warga Jakarta ini sempat memiliki fasilitas serupa yang disebut Temper Clinic, di Kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dulunya, sebelum banyak pembatasan diberlakukan, fasilitas ini tidak pernah sepi pengunjung. Sayangnya, karena pandemi yang berkepanjangan dan berbagai pembatasan yang terkait, fasilitas ini terpaksa tutup.

Banyak fasilitas serupa juga mengatakan, mereka terpaksa tutup – untuk sementara atau permanen – karena biaya operasionalnya tidak sebanding dengan pemasukannya.

Masagus mengatakan warga Jakarta menghadapi berbagai tekanan hidup seperti halnya warga kota-kota besar lainnya. Menurutnya, kemacetan lalu lintas ikut memicu rasa frustrasi warga Jakarta.

“Jakarta itu macet banget. Kalau kita mau pergi Jumat malam bisa kesal banget. Gua pernah denger teman gua, pas lagi jalan macet, kesal banget sampai nangis. Itu kan kelihatan banget kalau level stres orang Jakarta itu tinggi banget," tukasnya.

Apakah rage room benar merupakan solusi jitu mengatasi depresi atau tekanan mental? Diana Setiyawati, seorang psikolog yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Kesehatan Mental Universitas Gajah Mada, tidak setuju.

“Kurang ideal sebenarnya, tapi itu salah satu alternatif, karena itu sebetulnya tidak melatih skill yang sifatnya konstruktif. Tidak berkontribusi pada long term coping skill," kata Diana.

Diana Setiyawati-Direktur Pusat Studi Kesehatan Mental Universitas Gajah Mada. (Foto: Dok Pribadi)
Diana Setiyawati-Direktur Pusat Studi Kesehatan Mental Universitas Gajah Mada. (Foto: Dok Pribadi)

Diana menganjurkan, dalam menghadapi tekanan emosi, seperti depresi atau kemarahan, seseorang sebaiknya mengambil tindakan-tindakan yang bersifat positif atau yang justru melawan emosi itu. Ia mengatakan ketika marah, contohnya, cobalah menenangkan diri atau mengambil langkah mundur untuk mengevaluasi masalah, dan kemudian melakukan hal-hal yang menenangkan jiwa, seperti relaksasi, berolahraga atau menyalurkan hobi seperti menulis, membaca atau menyanyi. Diana mengatakan, “Bahagia membuat orang tersenyum, tapi senyum juga bisa membuat orang bahagia.”

Rage room merupakan fenomena yang sudah lama eksis di dunia. Tempat seperti ini pertama kali dibuka di Jepang pada tahun 2008, dengan tujuan untuk membantu para pegawai yang stres meringankan perasaan frustrasi mereka yang terpendam.

Seiring berjalannya waktu, fasilitas seperti itu makin populer dan kemudian dapat dengan mudah ditemukan di sebagian besar kota besar di AS dan Eropa. Di Asia sendiri, rage room baru populer dalam tiga tahun terakhir.

Di Texas, contohnya ada, SmashNBash. Pemiliknya, Yashica Budde, seorang pakar kesehatan mental mengatakan, rage room merupakan cara kreatif yang dapat mendorong orang menjalani proses terapi.

Dalam penjelasannya kepada kantor berita Associated Press, ia mengatakan, “Salah satu hal yang saya temukan selama menjadi pakar kesehatan mental adalah cara-cara kreatif untuk membuat orang-orang memahami bahwa mereka memiliki masalah dan mau menjalani terapi.”

Rage Room, Fasilitas Tumpahkan Kemarahan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:07:59 0:00

Budde menjelaskan menghancurkan barang bisa menjadi cara bagi orang untuk mengekspresikan kecemasan, stres, dan kemarahan dalam cara yang sehat. Mereka yang menempuh cara tersebut dapat lebih mudah disadarkan bahwa mereka memiliki masalah dan membutuhkan perawatan kesehatan mental.

Budde mengawasi para pengunjung melalui monitor selama sesi mereka di rage room. Ia kemudian meminta klien bertemu dengannya untuk tanya jawab setelah selesai, dan memberi layanan terapi bila memang dibutuhkan.

SmashNBash memiliki tradisi meminta pengunjung menuliskan tekanan mental yang mereka alami dan yang ingin mereka buang jauh-jauh. Hampir setiap jengkal dinding di ruang itu diisi dengan kata-kata yang mengungkapkan kesedihan, kemarahan, patah hati, dan kehilangan. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG