Tautan-tautan Akses

Perjuangkan Persamaan Hak Perempuan Libya Lewat Sepak Bola


Para remaja putri berlatih untuk pertama kalinya di akademi sepak bola di Tripoli, Libya, 21 Desember, 2018. (Foto: Reuters)
Para remaja putri berlatih untuk pertama kalinya di akademi sepak bola di Tripoli, Libya, 21 Desember, 2018. (Foto: Reuters)

Remaja putri yang ingin bermain sepak bola diberi pengecualian dan keistimewaan di Libya. Sebuah akademi sepak bola khusus putri di ibu kota itu, berupaya menyingkirkan norma-norma sosial di negara mayoritas Muslim itu.

Di lapangan sepak bola di ibu kota Libya, anak-anak perempuan berlatih olahraga paling populer di dunia. Menurut para pendirinya, Akademi al-Tawati di Tripoli yang baru berusia sebulan adalah rumah bagi tim anak perempuan pertama di negara itu.

“Saya memilih sepak bola karena bisa dimainkan oleh semua orang. Bukan hanya untuk anak laki-laki. Dulu sewaktu kami bermain di sekolah, mereka selalu mengatakan anak perempuan tidak boleh bermain sepak bola. Tetapi sepak bola untuk semua orang," kata Sama Badi, salah satu siswa di akademi sepak bola tersebut.

"Semua orang bermain di luar negeri, jadi semua orang harus maju dan bermain di Libya juga ... Ini adalah salah satu impian kami, karena kami tidak punya banyak mimpi," ujar Sama Badi menambahkan.

Kebanyakan anak-anak perempuan itu direkrut melalui sebuah kampanye di sekolah-sekolah lokal. Meski orang tua dan para pelatih mereka mendukung, masyarakat konservatif tidak begitu mendukung.

“Sebagian orang telah memberi saya masukan negatif di media sosial, tetapi juga menasehati saya melalui komentar-komentar itu… tentu saja kami menerima komentar-komentar positif maupun negatif itu dengan hati terbuka. Saya tidak punya masalah dengan itu,” ujar Mohamed el-Tawati, pelatih di akademi tersebut.

Anak-anak perempuan berlatih sepak bola di akademi sepak bola putri di Tripoli, Libya, 21 Desember 2018. (Foto: Reuters)
Anak-anak perempuan berlatih sepak bola di akademi sepak bola putri di Tripoli, Libya, 21 Desember 2018. (Foto: Reuters)

Komentar negatif itu di antaranya, anak-anak perempuan seharusnya tidak mengenakan celana pendek.

“Tentu saja masyarakat Libya konservatif. Begitu kami mengunggah foto anak-anak perempuan bermain sepak bola itu ke media sosial, kami langsung mendapat banyak komentar negative. Mereka memilih berpakaian dengan konservatif,” kata Hadohom Al-Abed, pelatih akademi sepak bola itu.

“Mereka mengenakan celana pendek dengan celana di dalamnya. Semua negara Arab memiliki tim sepak bola wanita yang terdiri dari anak perempuan, remaja, atau perempuan ... kecuali Libya”.

Meskipun sebagian berkomentar negatif, para orang tua mendukung anak perempuan mereka.

"Saya sangat berharap mereka dapat mengambil pemain-pemain ini dan membentuk tim untuk gadis-gadis muda ... Saya senang bahwa saya telah mengarahkan mereka ke kegiatan seperti ini sebelumnya, seperti basket dan tenis. Tetapi suasana persaudaraannya tidak seperti dalam sepakbola," tutur Rania el-Sherif, ibu salah satu siswa akademi.

Tim nasional sepak bola putri Libya dibentuk pada 1997. Kesebelasan itu hanya diakreditasi untuk versi yang lebih kecil, yang dimainkan dalam ruang tertutup dan disebut 'futsal,' tetapi para pemain dan pelatih mengatakan, mereka berharap FIFA suatu hari akan mengakui tim mereka, sehingga dapat bersaing penuh secara internasional di lapangan sepak bola. [ps/jm]

XS
SM
MD
LG