Tautan-tautan Akses

Perawatan Gangguan Jiwa Cegah Pemasungan


Rumah keluarga Ibu Zaenab di Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)
Rumah keluarga Ibu Zaenab di Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Karena kesulitan merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pemasungan kadang dipilih sebagai jalan keluar. Keputusan ini kadang diambil di tengah sulitnya mengakses layanan kesehatan pemerintah.

Zaenab, janda warga Kricak, Yogyakarta kini hanya tinggal berdua dengan anaknya, Harsono. Lima anaknya yang lain tinggal di rumah terpisah. Sebagai anak, seyogyanya Harsono merawat Zaenab yang mulai renta pada usia 80 tahun. Namun, karena Harsono mengalami gangguan jiwa, yang terjadi justru sebaliknya. Zaenab lah yang harus melayani anaknya itu dan memastikan Harsono baik-baik saja.

Bukan hanya sekali Zaenab mencoba mengakses layanan kesehatan dari pemerintah. Permohonan bantuan sudah dikirimkan tetapi ditolak. Rumah Sakit Jiwa terdekat jaraknya sekitar 20 kilometer, dan syarat mengambil obat gratis di sana adalah membawa serta Harsono. Tentu saja, tidak mudah melakukan itu, sehingga fasilitas pengobatan gratis itupun terlewatkan.Zaenab mengaku kini sudah lelah, dan tak mampu lagi merawat Harsono.

“Saya ini sudah tua, kondisi ekonomi juga begini. Tapi, saya kalau harus menceritakan semua keadaan ini, saya malu,” ujarnya.

Beruntung, kata Zaenab, Harsono tidak pernah mengamuk selama ini. Namun, lima saudara kandungnya tidak ada yang bersedia merawat. Pilihan Zaenab untuk menyerahkan beban perawatan ke pemerintah, dilandasi kondisinya yang semakin menua.

“Sebetulnya untuk melepasnya saya nggak tega, tetapi keadaan ini bagaimana besok yang akan datang. Kalau tidak ada yang mengarahkan anak saya. Setidak-tidaknya kalau ada yang ngatur, pasti manut. Kalau lagi sakit, bisa nggak makan tiga atau dua hari. Saya kepikiran, ini bagaimana,” kata Zaenab.

Hari Senin siang, Zaenab dikunjungi staf Komite Disabilitas DI Yogyakarta. Lembaga bentukan pemerintah daerah setempat ini, bertugas melakukan advokasi penyandang disabilitas. Penderita gangguan jiwa atau disebut juga disabilitas mental, termasuk salah satunya.

Winarta dari Komite Disabilitas DIY membenarkan, masih ada banyak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dirawat oleh keluarga sendiri. Dalam sejumlah kasus, keputusan itu berdampak negatif terhadap penyandang gangguan jiwa.

“Keluarga tidak akan bisa mencurahkan waktu sepenuhnya untuk merawat. Kemudian, banyak diantaranya yang merawat adalah orang tua tunggal, bisa ibunya saja atau bapaknya saja, dan kebetulan secara ekonomi sangat kurang,” kata Winarta.

Dari sisi konstitusi, tambah Winarta, kelompok masyarakat ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Di tingkat lokal, DIY sendiri sudah memiliki Perda yang secara khusus membahas persoalan tersebut. Masalahnya saat ini, kata Winarta adalah keseriusan pemerintah melaksanakan amanat itu. Melihat kondisinya, Winarta berjanji akan segera mengambil tindakan untuk membantu Ibu Zaenab dan anaknya.

Salah satu dampak belum optimalnya upaya pemerintah melayani ODGJ, adalah tindakan pemasungan yang dilakukan keluarga sendiri. Karena itulah, layanan cepat dibutuhkan untuk mencegah keluarga bertindak lebih jauh.

Meski tidak ada data yang pasti, Dinas Sosial DIY mencatat setidaknya masih ada sekitar 100 ODGJ yang dipasung keluarganya. Keputusan pemasungan ini didasari oleh pertimbangan perilaku ODGJ yang berpotensi melakukan kekerasan. Namun, ada juga faktor ketidaktahuan keluarga ODGJ, bahwa pemerintah daerah sebenarnya telah menyediakan layanan perawatan gratis.

Perawatan Gangguan Jiwa Cegah Pemasungan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:11 0:00

Selama tahun 2017, Dinas Sosial DIY telah membebaskan 8 ODGJ dari pasungan keluarga sendiri. Pembebasan itu bukan proses yang mudah, karena tidak semua keluarga menyetujuinya.

Dikatakan Winarta, bentuk pemasungan yang kini diterapkan tidak semua berupa belenggu kayu atau rantai. Ada juga yang dikunci di dalam kamar khusus di dalam atau bangunan terpisah di luar rumah, di mana ODGJ melakukan seluruh aktivis keseharian di kamar itu.

“Sampai sekarang ini masih ada, karena kasusnya rumit sekali. Tidak semua keluarga yang punya anak dengan gangguan mental itu boleh dibawa ke rumah sakit jiwa. Dirawat di rumah, itu sekali lagi pengobatannya terkendala. Dirawat di keluarga sendiri hasilnya tidak semakin baik, tetapi semakin parah. Karena lebih parah, keluarga tidak bisa menangani lebih lanjut, akibatnya dikurung di rumah. Kalau kasus seperti keluarga Bu Zaenab ini bisa ditangani, maka akan bisa mencegah pemasungan,” kata Winarta.

Winarta (kiri) dari Komite Disabilitas DIY berbicara dengan ibu Zaenab. (Foto: VOA/Nurhadi)
Winarta (kiri) dari Komite Disabilitas DIY berbicara dengan ibu Zaenab. (Foto: VOA/Nurhadi)

Tahun 2018 ini, Pemerintah DIY menargetkan bisa membebaskan 16 ODGJ dari pasungan. Ini adalah program yang didanai Kementerian Sosial. Indonesia sendiri sudah mencanangkan program Bebas Pasung pada 2019.

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, setidaknya ada 400 ribu warga negara Indonesia yang mengalami gangguan kejiwaan. Dari jumlah tersebut, sekitar 56 ribu hingga 60 ribu berada dalam pasungan. Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa sebagai bagian dari jawaban atas persoalan itu. Di DIY sendiri sudah ada Peraturan Gubernur No.81 tahun 2014 sebagai Pedoman Penanggulangan Pemasungan. Namun, kedua landasan hukum itu belum disertai penerapan program yang maksimal. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG