Tautan-tautan Akses

Pengiriman Surat Suara Pilpres RI di Taipei Harus Jadi Evaluasi Serius


Seorang petugas TPS memberikan surat suara di TPS di Kuta, Bali, saat pelaksanaan pilkada, 9 Desember 2015. (Foto: AFP)
Seorang petugas TPS memberikan surat suara di TPS di Kuta, Bali, saat pelaksanaan pilkada, 9 Desember 2015. (Foto: AFP)

Kelalaian Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei yang mengirim surat suara kepada pemilih melalui pos di luar jadwal yang sudah ditentukan, dinilai menunjukkan ada masalah dalam pengawasan yang membuat prosedur distribusi logistik berjalan tidak sesuai aturan kecurangan pemilu.

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan beredarnya sebuah video di media sosial yang menampilkan seorang warga negara Indonesia di Taipei sedang membuka amplop yang berisi surat suara pemilihan presiden bergambar wajah tiga pasangan capres dan cawapres.

Surat suara itu ternyata dikirim oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Taipei dengan metode pos. Sebanyak 31.276 amplop berisi total 62.552 lembar surat suara pemilihan presiden-wakil presiden dan DPR dikirimkan kepada WNI yang ada di negara itu.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puadi mengatakan pengiriman surat suara itu diduga melanggar prosedur. Pasalnya Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum menetapkan pengiriman surat suara kepada pemilih luar negeri baru berlangsung pada 2-11 Januari 2024.

Warga menyaksikan petugas penyelenggara pemilu menunjukkan surat suara saat penghitungan suara di TPS di Jakarta, 9 April 2014. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Warga menyaksikan petugas penyelenggara pemilu menunjukkan surat suara saat penghitungan suara di TPS di Jakarta, 9 April 2014. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

"Dengan demikian, terdapat dugaan pelanggaran administrasi pemilu yang dilakukan oleh KPPSLN (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri) Pos dan atau PPLN Taipei," kata Puadi.

Namun Bawaslu berbeda pendapat dengan KPU yang sudah menyatakan surat suara untuk para pemilih di Taipei itu rusak.

Menurut Puadi, tidak terdapat kriteria surat suara rusak akibat kesalahan prosedur pengiriman surat suara sebagaimana diatur dalam lampiran Keputusan KPU Nomor 1395 Tahun 2023. Dengan demikian, lanjutnya, tidak ada alasan hukum bagi KPU untuk menyatakan 31.276 surat suara yang telah dikirim melalui pos oleh PPLN Taipei kepada pemilih sebagai surat suara rusak.

Pengiriman Surat Suara di Taipei Harus Jadi Evaluasi Serius
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:55 0:00

Jika dikirim surat suara pengganti, kata Puadi, berpotensi menimbulkan masalah yang lebih rumit.

“Di antaranya, pertama, berpotensi membingungkan pemilih karena akan menerima dua surat suara untuk tiap jenis pemilu. Kemudian yang kedua, berpotensi pemilih mencoblos surat suara untuk setiap jenis pemilu lebih dari satu kali,” ujar Puadi.

Menurutnya berdasarkan pengalaman, tidak semua surat suara yang dikirim lewat pos akan dikembalikan seluruhnya oleh pemilih. Selain itu, hak pilih warga negara berpotensi hilang jika terjadi kerusakan surat suara berikutnya karena tidak boleh dilakukan penggantian surat suara lebih dari satu kali.

Masalah selanjutnya adalah potensi pelanggaran pidana jika terjadi lagi kerusakan dan kemudian diberikan surat suara pengganti lebih dari satu kali.

Bawaslu Minta KPU Evaluasi PPLN

Bawaslu menyarankan kepada KPU untuk memantau dan mengevaluasi PPLN di negara lain soal kemungkinan pengiriman surat suara melalui pos di luar waktu yang ditetapkan.

Ketua KPU Hasyim Asy’ari menegaskan lembaganya tetap akan mengganti surat suara yang didistribusikan oleh PPLN Taiwan itu. Menurutnya pihaknya akan membubuhkan cap khusus pada surat suara pengganti dan surat suara yang masih tersisa di PPLN, Taipei. Surat suara yang akan direkaputulasi, kata Hasyim, hanyalah surat suara dengan penanda khusus tersebut.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Dokumentasi: Titi)
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Dokumentasi: Titi)

Titi Anggraini, pengajar ilmu hukum pemilu di Universitas Indonesia menjelaskan kelalaian PPLN Taipei mengirim surat suara kepada pemilih melalui pos di luar jadwal yang sudah ditentukan merupakan tindakan sangat fatal. Hal itu, katanya, merupakan indikasi mismanajemen yang mencerminkan ketidakprofesionalan, ketidakcermatan, dan tidak tertib hukum dalam penyelenggaraan tahapan pemilu.

Insiden tersebut menurutnya juga menunjukkan ada masalah dalam pengawasan yang membuat prosedur distribusi logistik berjalan tidak sesuai aturan, tambahnya. Pengiriman logistik lebih awal harus jadi evaluasi serius sebab berkaitan dengan pengelolaan surat suara yang apabila tidak dilakukan secara benar, akan sangat rentan dimanfaatkan untuk kecurangan pemilu.

Hal ini dapat memicu kegaduhan serta menimbulkan keraguan atas kecakapan petugas dalam menyelenggarakan Pemilu 2024. Titi menegaskan hal itu tidak perlu terjadi jika sistem teknologi informasi yang memonitor distribusi logistik atau SILOG benar-benar digunakan secara tertib.

Seorang petugas pemilu memegang surat suara saat penghitungan suara pemilihan presiden di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad)
Seorang petugas pemilu memegang surat suara saat penghitungan suara pemilihan presiden di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad)

Beri Suara Lewat Pos Rentan Kecurangan?

Titi mengakui pemberian suara lewat pos memang rentan kecurangan. Dia mencontohkan pemilu di Malaysia yang salah satu sumber kecurangan adalah melalui pemberian suara via pos dan kotak suara keliling (KSK). Pemungutan suara melalui metode pos dan KSK lebih rentan kecurangan karena tidak diawasi secara baik seperti pemilihan di TPSLN.

Selain itu kebebasan dan kerahasiaan juga rentan dilanggar. Bisa saja surat suara diterima bukan oleh orang yang memiliki hak suara. Kontrol menjadi tidak maksimal mengingat pemilih via pos yang menyebar dan tidak terkonsentrasi dalam titik tertentu saja.

Titi meminta KPU harus menjatuhkan sanksi kepada PPLN Taipei yang melanggar aturan distribusi logistik secara sengaja.

"Jadi profesionalisme penyelenggara pemilu itu akan berpengaruh terhadap kepercayaan publik dan juga nanti di ujungnya adalah keyakinan bahwa memang pemilu diselenggarakan dengan benar, dengan prfesional, dan berintegritas. Ini rentan sekali memicu spekulasi dan kontroversi. Jangan sampai kelalaian ternyata justru berujung ketidakpercayaan terhadap kerja penyelenggara pemilu kita," tutur Titi kepada VOA.

Menurut Titi, peristiwa di Taipei itu menjadi pembelajaran tentang pentingnya peran serta masyarakat secara proporsional dalam mengawasi proses pemilu. Misalnya menggunakan media sosial untuk memantau proses penyelenggaraan tahapan yang sedang berlangsung tanpa melanggar asas kerahasiaan dan kebebasan dalam pemberian hak pilih, sehingga penyimpangan atau pelanggaran lebih mudah untuk dideteksi. [fw/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG