Tautan-tautan Akses

Pengerahan Pasukan di Papua untuk 'Musnahkan' Pemberontak Bersenjata


Sejumlah tentara Indonesia yang dikerahkan untuk mengamankan malam Idulfitri di Timika, Papua, 12 Mei 2021. (Foto: Sevianto Pakiding/AFP)
Sejumlah tentara Indonesia yang dikerahkan untuk mengamankan malam Idulfitri di Timika, Papua, 12 Mei 2021. (Foto: Sevianto Pakiding/AFP)

Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri Komjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan tindakan tegas aparat keamanan terhadap kelompok separatis bersenjata di Papua akan dipertahankan sampai mereka berhasil dimusnahkan.

Di tengah konflik yang memburuk, pemerintah telah mengerahkan sekitar 400 pasukan tambahan ke Papua menyusul pembunuhan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha. Pemerintah juga melabeli kelompok separatis atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai "teroris" pada bulan lalu.

Paulus Waterpauw, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, memberi isyarat saat berbicara saat wawancara di kantornya di Jakarta, 29 April 2021. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Paulus Waterpauw, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, memberi isyarat saat berbicara saat wawancara di kantornya di Jakarta, 29 April 2021. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Diwawancarai oleh Reuters, Paulus Waterpauw, yang juga putra daerah Papua menegaskan pemerintah bertekad untuk menekan pemberontakan separatis bersenjata yang sudah berlangsung selama puluhan tahun di Papua, wilayah yang kaya sumber daya itu.

"Tujuannya adalah untuk memusnahkan mereka yang berada di balik tindakan kekerasan yang mengerikan ini," katanya. "Operasi ini akan terus berjalan sampai kami mendapatkan hasil yang maksimal. Selama mereka belum ditangkap, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk melumpuhkan dan menangkap mereka."

Paulus mencontohkan sejumlah aksi KKB tersebut, di antaranya pembantaian 19 pekerja pembangunan proyek Trans Papua pada Desember 2018; penghancuran sekolah dan klinik kesehatan; dan serangan terhadap warga sipil sebagai bagian dari "peristiwa brutal baru-baru ini" yang telah mendorong peningkatan jumlah pasukan TNI di wilayah tersebut.

Sebby Sambom, juru bicara Organisasi Papua Merdeka (OPM), kelompok separatis utama di Papua, mengatakan ada "alasan yang masuk akal" di balik serangan kelompok itu.

Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom (kanan). (Courtesy- TPNPB-OPM)
Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom (kanan). (Courtesy- TPNPB-OPM)

"Target militer dan polisi tidak akan berhasil," tambahnya. "Setiap tahun akan ada kombatan baru. (Jumlah) Mereka akan bertambah, bukan berkurang."

Ia berdalih perjuangan mereka sah karena bekas penguasa kolonial Belanda menjanjikan daerah itu bisa merdeka sebelum dianeksasi oleh Indonesia pada 1963.

Indonesia menyatakan Papua sebagai wilayahnya setelah pemungutan suara pada 1969 yang diawasi oleh PBB yang mendukung integrasi Papua. Kelompok separatis mengatakan bahwa pemungutan suara, yang melibatkan sekitar 1.025 orang, tidak mencerminkan aspirasi mereka.

Paulus mengatakan kepada Reuters bahwa satuan tugas baru yang dibentuk untuk menangani kekerasan di Papua - yang dikenal sebagai Operasi Nemangkawi - memiliki dua tugas. Tugas tersebut adalah pengejaran dan penangkapan separatis bersenjata dan "pendekatan lunak" - pengembangan komunitas dan peningkatan pendampingan dengan kelompok agama dan komunitas.

Pasukan keamanan berpatroli di Ilaga, Kabupaten Puncak di Papua, 30 September 2019. (Foto: Sevianto Pakiding/Antara Foto via Reuters)
Pasukan keamanan berpatroli di Ilaga, Kabupaten Puncak di Papua, 30 September 2019. (Foto: Sevianto Pakiding/Antara Foto via Reuters)

Paulus mengatakan telah terjadi 26 serangan oleh kelompok separatis bersenjata pada tahun ini.

Dia mengatakan dua tentara disergap dan senjata mereka disita dan "mereka dipotong dan dimutilasi serta dibunuh." Dalam dua insiden lainnya pada Selasa (18/5), lima tentara terluka.

Pengamat dan analis hak asasi manusia mengatakan telah terjadi pelanggaran oleh kedua belah pihak.

"Kami terus menerima laporan yang dapat dipercaya tentang penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh militer dan polisi, termasuk pembunuhan di luar hukum, pelecehan, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan penduduk asli Papua," kata Ravina Shamdasani, juru bicara Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, kepada Reuters bulan lalu.

Dugaan Korupsi

Pemerintah juga memulai penyelidikan terhadap para pejabat yang diduga korup di Papua terkait dana otonomi khusus (otsus). Mereka dituduh menggelapkan sebagian dari Rp1.092 triliun dana yang dikirim ke daerah tersebut oleh pemerintah pusat sejak 2001.

Paulus mengatakan dana pemerintah yang "besar" ini tidak membawa perbaikan yang signifikan terhadap kesejahteraan orang Papua. Papua masih menjadi salah satu wilayah termiskin di Tanah Air.

"Dalam menangani pelaku yang diduga menyelewengkan keuangan negara, beberapa kepala daerah atau jajarannya akan diselidiki dan diproses," ujarnya.

Tentara dan polisi duduk di atas mobil saat berpatroli di Wamena, Papua, 9 Oktober 2019. (Foto: Antara/M.Risyal Hidayat via REUTERS)
Tentara dan polisi duduk di atas mobil saat berpatroli di Wamena, Papua, 9 Oktober 2019. (Foto: Antara/M.Risyal Hidayat via REUTERS)

Ia mengatakan, satuan antiteror polisi yang dikenal dengan Detasemen 88 belum diturunkan ke Papua. Pelabelan "teroris" yang diterapkan pada separatis, imbuhnya, akan membantu pihak berwenang mengungkap pendanaan mereka.

Pekan lalu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan gerakan separatis di Papua memiliki tiga sayap: politik, klandestin, dan teroris.

"Kami mengundang dialog dengan kelompok politik dan klandestin," katanya. [ah/au/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG