Tautan-tautan Akses

Pengembangan Destinasi Wisata dan Upaya Pelestarian Lingkungan


Seekor Komodo Dragon di Taman Nasional Komodo (foto: Wikipedia).
Seekor Komodo Dragon di Taman Nasional Komodo (foto: Wikipedia).

Dalam menanggapi berbagai kekhawatiran akan terancamnya kelestarian alam, termasuk kemungkinan menyempitnya habitat Komodo yang ikonik, di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di mana berlangsung pengembangan pariwisata sebagai destinasi super prioritas, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, di mana berlokasi TNK, menegaskan bahwa lingkungan merupakan salah satu pilar pembangunan pariwisata. Oleh karena itu dia menjamin bahwa pembangunan yang berlangsung didasarkan pada skema pengembangan yang berhati-hati, yang mengacu pada pelestarian lingkungan jangka panjang.

Terkait dengan pengembangan pariwisata di kawasan Taman nasional Komodo (TNK) yang berada di wilayah Kabupaten Manggarai Barat, Chris Mesima, yang telah menjabat selama dua tahun sebagai Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat mengakui bahwa kabupaten itu sebenarnya beruntung dengan ditetapkannya sebagai satu dari lima destinasi pariwisata super di Indonesia.

Chris Mesima, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kabupaten Manggarai Barat (foto: courtesy).
Chris Mesima, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kabupaten Manggarai Barat (foto: courtesy).

“Kami beruntung karena dengan penetapan itu banyak pembangunan yang dilakukan di Labuan Bajo. Ambil contoh misalnya pembangunan yang dikerjakan di Labuan Bajo ada kurang lebih 9 paket kegiatan dengan miliaran rupiah dan ini tidak bisa didapatkan sembarangan di wilayah Indonesia yang lain kalau tidak ditetapkan sebagai prioritas. Kita beruntung perhatian pemerintah sangat besar ke Labuan Bajo dan seluruh potensi itu ingin kami manfaatkan juga untuk mendatangkan keuntungan ekonomi sambil tetap menjaga kelestarian budaya dan memastikan kelestarian lingkungannya atau yang disebut dengan pariwisata berkelanjutan. Kami fokus ke sana,” ujarnya.

Edy Sudrajat, tokoh pemuda yang lahir dan tumbuh besar di Pulau Rinca, dan pendiri komunitas masyarakat peduli wisata Rinca atau yang dikenal sebagai kelompok sadar pariwisata (pokdarwis) Rinca mengatakan, “Kami menginisiasi bahwa kita harus menjadi pelaku di industri pariwisata ini, bukan hanya selama ini menjadi penonton di komunitas-komunitas masyarakat yang ada di Rinca.”

Edy mengatakan dia dan kelompoknya merancang dan membangun beberapa potensi wisata yang ada di Rinca dengan tujuan untuk memperkenalkan potensi-potensi yang ada di Taman Nasional Komodo, selain Pulau Padar dan Pulau Komodo, bahwa “Taman Nasional Komodo sendiri memiliki penduduk dan memiliki keunikan di masyarakatnya.”

Pulau Rinca di provinsi Nusa Tenggara Timur (foto: Wikipedia).
Pulau Rinca di provinsi Nusa Tenggara Timur (foto: Wikipedia).

Mengenai tujuan pemerintah untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat tersebut, Edy menanggapinya dengan positif. Namun, dia mengatakan bahwa dampak positif pada perekonomian setempat belum dirasakan secara signifikan.

“Saya sendiri mengenai pembangunan pertama mungkin saya sangat setuju dengan pembangunan di Labuan Bajo karena dengan adanya tersebut segala sesuatu mengenai aksesibilitas kepada wisatawan amenitas untuk tamu berkunjung ke Labuan Bajo itu mudah dan mempermudah untuk pengunjung. Namun untuk Rinca sendiri kita melihat hanya beberapa orang saja yang terlibat di industri pariwisata sehingga dampaknya tidak terlalu signifikan, hanya beberapa orang saja yang mendapatkan dampak dari pembangunan pariwisata,” tukas Edy.

Edy mengatakan kebanyakan manfaat dari pariwisata di kawasan TNK umumnya hanya dinikmati oleh pelaku wisata yang ada di Labuan Bajo, seperti pemilik kapal wisata, pemandu wisata, biro perjalanan wisata, dan hotel di Labuhan Bajo.

Edy Sudrajat, tokoh pemuda dan pendiri komunitas masyarakat peduli wisata Pulau Rinca (foto: courtesy).
Edy Sudrajat, tokoh pemuda dan pendiri komunitas masyarakat peduli wisata Pulau Rinca (foto: courtesy).

“Semua dampak dampak pariwisata itu yang ngerasain adalah orang-orang yang tinggal di Labuhan Bajo, sedangkan untuk Rinca sendiri hanya segelintir orang saja. Itupun segelintir orang yang sudah bekerja dari dulu di industri pariwisata seperti pemandu wisata yang ada di Loh Buaya ataupun yang ada di tempat wisata lain. Saya sendiri, background saya pariwisata sehingga saya terlibat langsung ke industri pariwisata, tapi teman-teman saya yang tidak terlibat itu tidak merasakan dampak pembangunan ataupun dampak dari jumlah kunjungan yang disebutkan oleh pak sekretaris dinas tadi.”

Menanggapi keprihatinan itu, Chris Mesima mengatakan bahwa pemerintah daerah yang usianya masih relatif muda terus berusaha dengan sekuat tenaga, tetapi dia juga mengakui bahwa semua usaha itu memerlukan waktu, “tidak seperti membalikkan telapak tangan.”

“Sekarang ini kami sedang berusaha agar masyarakat itu bisa menerima manfaat yang besar. Maka misi pembangunan pariwisata di Manggarai Barat sekarang ini, yang sudah ditetapkan dalam rencana pengembangan jangka panjang Kabupaten Manggarai Barat, misinya itu adalah mengembangkan pariwisata secara berkelanjutan dan inklusif. Inklusif ini sebetulnya bermanfaat bagi semua. Nah, skemanya bagaimana itu bisa bermanfaat, antara lain kami lakukan dengan pengembangan wisata yang berada di luar wilayah Taman Nasional Komodo karena daya tarik utama sebetulnya ke Labuan Bajo sejauh ini adalah ke Taman Nasional Komodo. Jadi aktivitas wisata baharinya itu 80 sampai 90 persen,” ujarnya.

Chris menambahkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab bagaimana menarik wisatawan dengan obyek wisata berbasis darat (“land-based tourism”), dan bukan saja “sea-based tourism.” Upaya itu dilakukan dengan pengembangan ruang bagi keterlibatan masyarakat lewat pengembangan desa wisata. Intervensi yang dilakukan untuk desa Rinca, katanya, antara lain melalui intervensi pembangunan yang dikerjakan oleh Taman Nasional Komodo yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup.

Tempat wisata Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (foto: Wikipedia).
Tempat wisata Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (foto: Wikipedia).

“Kami juga secara spesifik, tidak banyak, juga melakukan pengembangan juga di Pulau Rinca melalui keikutsertaan teman-teman di Pulau Rinca, tidak banyak, satu-dua kelompok, untuk kegiatan pelatihan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Jadi, sampai sejauh ini memang harus diakui bahwa kita tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan, tapi secara bertahap itu dilakukan dan perhatian kami tidak saja di Rinca. Kami punya 94 desa wisata yang kami harus kembangkann secara bersama,” imbuh Chris.

Menanggapi kekhawatiran sebagaian kalangan mengenai pelestarian alam dan konservasi di kawasan TNK, kemungkinan menyempitnya habitat Komodo dengan pengembangan yang sedang berlangsung, Chris mengatakan bahwa yang memiliki kewenangan itu adalah pihak TNK. Namun secara umum dia menyatakan bahwa “tentu saja semuanya telah didasarkan pada skema pengembangan yang dikerjakan secara hati-hati.”

“Memang tiga pilar pembangunan pariwisata berkelanjutan itu adalah salah satunya lingkungan dan upaya atau perhatian sekarang ini di dunia itu adalah soal lingkungan. Jadi saya kira kalau ada kekuatiran-kekuatiran dari berbagai pihak terkait dengan upaya pengembangan satu destinasi seperti Labuan Bajo misalnya terhadap lingkungan itu memang sangat wajar karena semua juga berpikir untuk pelestarian lingkungan jangka panjang. Terkait dengan pembangunan yang kami amati di Taman Nasional Komodo saat ini, saya kira pembangunan itu tentu saja didasarkan dengan skema pengembangan yang mereka kerjakan secara hati-hati. Saya kira terkait dengan apa yang Pak Edy juga sampaikan tadi, soal konservasi dan pemanfaatan pariwisata. Jadi dua pertimbangan itu, di satu sisi konservasi, saya kita itu tekanan atau fokus paling utama dari kehadiran taman nasional dan sisi lain ada pemanfaatan untuk aktivitas pariwisata.”

Sementara itu, Edy menekankan bahwa masyarakat di Pulau Rinca yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan, tidak ingin meninggalkan profesi warisan nenek moyang itu.

“Saya menginginkan bahwa pariwisata itu adalah sebagai bonus untuk masyarakat yang ada di sana. Bonus saja sebenarnya (karena) saya percaya bahwa memang 99% masyarakat yang ada di Rinca itu intinya, kami melaut, kami dapat ikan, kami bisa makan. Tapi, saya menawarkan bahwa ada lho bonus buat kalian. Tujuannya kami tidak pernah mengubah pekerjaan ataupun aktivitas masyarakat, tapi kami hanya menawarkan bahwa ternyata di kampung kita bisa mendapatkan bonus dari pariwisata.”

Pengembangan Destinasi Wisata dan Upaya Pelestarian Lingkungan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:08:07 0:00


Chris menegaskan bahwa “peraturan di negara Republik Indonesia sudah sangat kuat untuk memastikan pemanfaatan yang hati-hati dan pemanfaatan yang akan menjamin keberlanjutan sebuah taman nasional. Misalnya, dengan adanya zona-zona pemanfaatan, zona perlindungan, zona pelestarian yang ada di dalam taman nasional sendiri itu sebetulnya upaya untuk pengembangan.”

“Apa yang dilakukan di Labuan Bajo pada saat yang sama itu bisa diketahui oleh dunia. Saya kira lewat VOA juga akhirnya orang bisa mengenal Labuhan Bajo dan tentu saja ini menggerakkan seluruh stakeholders supaya hati-hati dalam upaya pengembangannya, mempertimbangkan betul kepentingan jangka panjang. Saya kira itu substansi atau roh dari pengembangan kepariwisataan yang sedang digalakkan pemerintah.” [lt/ka]

Recommended

XS
SM
MD
LG