Tautan-tautan Akses

Klithih dan Remaja Yogya yang Kehilangan Ruang


Replika senjata pelaku klithih yang dipamerkan dalam pameran di Yogyakarta, Maret 2021.(foto:Yahya DK)
Replika senjata pelaku klithih yang dipamerkan dalam pameran di Yogyakarta, Maret 2021.(foto:Yahya DK)

Polisi menangkap enam pelaku kekerasan bersenjata di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka adalah pelaku klithih, bentuk aksi kekerasan bersenjata khas Yogya yang tidak ditemukan di wilayah lain. Klithih adalah "warna" Yogya selepas tengah malam.

Ketika sibuk mengamankan wilayah sepanjang Natal dan tahun baru, kepolisian resor Sleman, DIY juga dibebani kasus tambahan. Pada Senin (27/12) dini hari, dua remaja dibacok sekelompok remaja lain. Senjata yang digunakan pelaku, termasuk celurit, pecahan botol, dan gergaji modifikasi. Dua remaja berumur enam belas tahun itu terkapar dengan sejumlah luka.

Klithih menyita perhatian, karena motif pelaku yang tidak bisa dipastikan. Dalam kasus terakhir, seperti dijelaskan Kepala Kepolisian Resor Sleman AKBP Wachyu Tri Budi Sulistiyono, antara pelaku dan korban tidak saling kenal.

“Untuk modus pelaku sendiri, berawal dari konvoi, lalu ketemu di jalan. Motifnya, karena kolompok ini emosi bertemu, dengan korban. Antara korban dan pelaku tidak saling mengenal,” papar Wachyu, Rabu (29/12) dalam keterangan resmi kepada media di Sleman, Yogyakarta.

Grup-grup warga Yogya di media sosial seketika riuh dengan kembali terungkapnya kasus kekerasan bersenjata di jalanan ini. Tagar #SriSultanYogyaDaruratKlithih dan #YogyaTidakaman memenuhi perbincangan. Warga bertanya-tanya, fenomena klithih yang berlangsung bertahun-tahun, tak juga mampu ditanggulangi. Mereka semakin khawatir, karena salah satu ciri khas klithih adalah pemilihan korban acak. Remaja baik-baik, pekerja pulang, hingga pedagang yang berangkat ke pasar dini hari bisa menjadi korban.

Polisi berpakaian biasa menangkap tersangka teroris di Sleman, Yogyakarta, 14 Juli 2018. (Foto: AFP/ilustrasi)
Polisi berpakaian biasa menangkap tersangka teroris di Sleman, Yogyakarta, 14 Juli 2018. (Foto: AFP/ilustrasi)

Kepolisian Daerah DIY menyebut, data kejahatan jalanan pada 2020 berjumlah 52 laporan dengan 91 orang diamankan. Sementara pada 2021, ada kenaikan menjadi 58 laporan 102 pelaku ditangkap. Dari jumlah itu, 80 pelaku merupakan pelajar dan sisanya pengangguran. Jika dirata-rata setiap satu minggu ada satu kejahatan jalanan terjadi, di kota yang dipromosikan adem-ayem sebagai tujuan wisata itu.

Wakil Kepala Kepolisian Daerah DIY, Brigjen R Slamet Santoso pada konferensi pers akhir tahun Polda DIY 2021, Rabu (29/12) mengaku, mereka tidak bisa mengatasi persoalan ini sendiri.

“Supaya bisa menangani ini secara komprehensif, tidak hanya dari kepolisian saja, tetapi juga guru-guru ikut bertanggung jawab, termasuk pada orang tua,” kata Slamet.

Kawasan Tugu Yogyakarta, di tengah wabah virus corona. (Foto: VOA/Nurhadi)
Kawasan Tugu Yogyakarta, di tengah wabah virus corona. (Foto: VOA/Nurhadi)

Polisi juga meminta penerangan jalan diperbanyak, meminta orang tua untuk tidak membelikan sepeda motor kepada anak di bawah 17 tahun.

“Dari data para pelaku-pelaku itu, kita sudah memiliki data, dimana dia sekolah dan alamat rumahnya. Kita kasih pembinaan dan penyuluhan juga kepada para orang tua,” tambah Slamet.

Polisi juga akan mengaitkan kasus-kasus ini dengan penyalahgunaan narkoba. Dalam mayoritas kasus, narkoba atau minuman keras turut berperan meningkatkan kenekadan pelaku. Kelompok yang ditangkap sebelum penghujung tahun 2021, diketahui mengonsumsi minuman keras sebelum beraksi, dan salah satunya menelan obat terlarang jenis benzo alprazolam.

Gangguan Serius Bagi Yogya

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengakui, klithih di wilayahnya mengganggu sektor pariwisata. Dalam dua pernyataan berbeda pada Kamis (30/12) dan Jumat (31/12), Sultan berulang menunjukkan kegeramannya terhadap kasus ini. Di sisi lain, dia meminta seluruh pihak untuk tidak memperbesar persoalan ini.

“Toh, yang melakukan sudah ditangkap, ya sudah selesai persoalannya,” kata Sultan Jumat (31/12) sesuai menerima Panglima TNI di kantornya.

Gubernu DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. (Foto: Courtesy/Humas DIY)
Gubernu DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. (Foto: Courtesy/Humas DIY)

Sri Sultan Hamengkubuwono X memang bertemu dengan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa selama tiga jam pada Jumat. Kedua pihak bertemu, dengan harapan bisa bekerja sama menciptakan ketertiban, sehingga kondisi keamanan di 2022 lebih baik.

“Sebetulnya kita punya kesempatan yang sama untuk berkoordinasi. Semoga saja di tahun depan kondisinya bisa jauh lebih baik. Di Jogja ini ya memang adem ayem tentrem, tidak perlulah ada kekuatan-kekuatan lain seperti api dalam sekam,” tegas Sultan.

Usai pertemuan, Jenderal Andika memastikan bahwa dirinya menerima seluruh laporan keamanan dari Panglima Kodam, Danlanud, Danlanal, dan Komandan Korem.

“Saya tidak mendapat laporan ada hal menonjol, jadi Yogya punya reputasi yang sangat bagus. Tidak ada itu, apapun yang saya dengar hubunganya dengan keamanan,” kata Jenderal Andika.

Kenakalan Tak Logis

Kegeraman dengan aksi klithih, juga muncul dari mantan anggota geng remaja Yogya di masa lalu. Ervian Parmunadi, merupakan pendiri sekaligus pemimpin geng remaja pertengahan 80-an di Yogya, bernama Joxzin. Nama itu berasal dari tempat para remaja itu berkumpul, yaitu sebuah warung penjual bahan bakar yang biasa disebut sebagai Pojok Bensin, tak jauh dari Keraton Yogyakarta.

Ervian mengaku, model aksi geng remaja saat ini, sama sekali berbeda dengan era mereka. “Putus, enggak ada hubungan sama sekali. Bentuk kenakalannya sama, tetapi sasarannya berbeda,” kata Ervian kepada VOA.

Pertunjukan teater Dalam Pencarian Ruang yang Hilang. (Foto: Museum of Lost Space)
Pertunjukan teater Dalam Pencarian Ruang yang Hilang. (Foto: Museum of Lost Space)

Ervian mendirikan Joxzin pada 1985, dua tahun setelah peristiwa Penembakan Misterius (Petrus). Ketika itu, pemerintah menggelar operasi pemberantasan preman, dengan menembaki mereka di jalanan. Patron Joxzin, kata Ervian, adalah sejumlah preman yang selamat dari operasi Petrus itu.

Meski melakukan kekerasan bersenjata di jalanan, geng remaja masa lalu di Yogya memiliki aturan tidak tertulis. Mereka yang menjadi sasaran, harus benar-benar merupakan geng saingan, dan bukan remaja non-geng, atau masyarakat umum.

“Sekarang ini, santri sedang jalan di dekat rumah saya saja jadi korban. Orang bermobil dipecah kacanya pakai batu. Pedagang pasar berangkat pakai kendaraan pick up, juga diserang. Saya tidak bisa mengerti,” lanjutnya.

Ada sejumlah faktor mengapa remaja mengambil jalan kekerasan. Menurut pengalamannya di masa lalu, pendorong pertama adalah kondisi di dalam keluarga remaja itu sendiri. Remaja melakukan aksi kekerasan, bisa jadi karena keberadaannya di rumah tidak dihargai dengan baik. Selain itu, pengaruh teman juga berperan, dengan tambahan game kekerasan di masa kini yang turut mendukung.

“Selain itu, minuman keras dan penyalahgunaan narkoba harus diberantas. Seorang anak pendiam, bisa jadi berani mbacok kalau mabuk. Dulu, bahkan ada obat-obatan, yang kalau dikonsumsi, anak geng itu bisa tidak terkendali dan selalu ingin melakukan aksi kekerasan. Efeknya bisa sampai tiga hari,” papar Ervian.

Mayoritas pelaku klithih memang memilih korban secara acak. Justru karena faktor inilah, kemarahan warga memuncak.

Ruang Ekspresi yang Hilang

Seniman muda Yogya, Yahya Dwi Kurniawan memiliki ketertarikan besar terhadap klithih, dan mencoba berperan menekan aksi kekerasan melalui seni. Bersama sejumlah rekannya, Yahya melakukan pendekatan terhadap sekurangnya seratus remaja yang dekat dengan aksi klithih. Pendekatan ini menghasilkan pameran bersama terkait klithih, pementasan teater dan penerbitan buku In Search of Lost Space.

Seniman muda Yogya, Yahya Dwi Kurniawan. (foto: VOA/Nurhadi)
Seniman muda Yogya, Yahya Dwi Kurniawan. (foto: VOA/Nurhadi)

“Klithih ini harus dilihat satu persatu akarnya, karena bermacam-macam orang, mereka tidak satu afiliasi. Ada yang teror, ada yang cuma mencari eksistensi, atau tidak diakui keluarganya,” kata Yahya yang pernah memamerkan karyanya di festival South by Southwest di Austin, Texas, Amerika Serikat pada 2018.

Dalam pendekatan ke remaja beresiko ini, Yahya menemukan berbagai faktor penyebab klithih dengan persoalan dalam keluarga sebagai awal mulanya.

“Keluarga itu tempat dialog paling intim. Tetapi karena keluarga menyerah dengan kenalakan remaja ini, mereka lari ke tongkrongan. Di tongkrongan ini, mereka berkumpul bersama orang yang juga terbuang dari keluarga,” tambah Yahya.

Klithih adalah tindak mencari pengakuan dalam skala yang sangat kecil. Pelakunya tidak merasa harus dikenal sebagai preman, tetapi mereka merasa cukup puas jika kawan-kawan satu lingkaran itu tahu aksi klithih-nya. Yahya yakin, remaja ini tidak memiliki bakat sebagai penjahat. Buktinya, rata-rata akan menjadi baik, setelah keluar dari pergaulan, baik karena kuliah atau bekerja di luar Yogya.

Klithih dan Remaja Yogya yang Kehilangan Ruang
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:36 0:00

Yahya mendekati para remaja ini melalui jalur seni. Energi mereka yang berlebih, disalurkan melalui penyediaan ruang aman untuk berdialog. Selain itu, eksistensi mereka juga disalurkan melalui karya seni grafiti hingga pembuatan kaos.

“Saya sudah merasa bersyukur kalau bisa membuat mereka sibuk berkarya selama satu minggu, misalnya. Setidaknya, potensi melakukan klithih selama satu minggu itu sudah hilang,” ujar Yahya lagi.

Pemerintah, kata Yahya, harus menyediakan ruang aman yang ramah bagi remaja untuk berdialog. Taman bermain atau fasilitas kegiatan bagi mereka juga diperlukan, tetapi itu tidak cukup. Remaja yang berpotensi klithih harus didengarkan apa keinginan terdalamnya. Seni bukan jalan keluar satu-satunya, tetapi paling tidak aktivitas kreatif mampu menjadi penyaluran masalah dan mengalihkan perhatian mereka ke penciptaan karya positif. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG