Tautan-tautan Akses

Penembakan Pendeta: LPSK dan Komnas HAM Ditunggu di Papua


Sejumlah masyarakat di Kampung Mamba Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, mengerumuni jenazah seorang warga sipil yang tewas ditembak kelompok bersenjata. Sabtu 30 Mei 2020, sebagai ilustrasi. (Foto: Polda Papua)
Sejumlah masyarakat di Kampung Mamba Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, mengerumuni jenazah seorang warga sipil yang tewas ditembak kelompok bersenjata. Sabtu 30 Mei 2020, sebagai ilustrasi. (Foto: Polda Papua)

Di tengah berbagai ketidakpastian seputar kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua, sejumlah pihak mengharapkan lembaga-lembaga negara untuk segera hadir di sana. Pendeta Yeremia ditembak dan meninggal pada Sabtu (19/9) pukul 18.15 WIT.

Aktivis pembela hak asasi manusia dari Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengaku sudah dihubungi pihak kepolisian. Dalam penjelasannya, aparat keamanan menyatakan keluarga Pendeta Yeremia berada dalam perlindungan Bupati Intan Jaya. Namun, menurut Theo yang dikontak VOA, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang seharusnya menjalankan peran itu.

Direktur YKKM Papua, Theo Hesegem. (Foto: Courtesy/Dok Pribadi)
Direktur YKKM Papua, Theo Hesegem. (Foto: Courtesy/Dok Pribadi)

“Pak Bupati sudah memberikan perlindungan kepada saksi dan korban, Bupati Intan Jaya. Tapi saya pikir, bahwa untuk lebih kuat lagi, itu perlindungan harus dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Itu memang harus kita upayakan,” kata Theo.

Theo sendiri sudah membuat surat kepada Kapolda Papua dan Pangdam Cenderawasih mengenai pentingnya perlindungan bagi saksi peristiwa tersebut. Surat itu juga dia tujukan kepada LPSK, Komnas HAM dan sejumlah lembaga lain. Bagi Theo, perlindungan itu penting untuk memastikan bahwa keterangan awal yang disampaikan saksi, yang juga merupakan keluarga korban, tidak berubah nantinya.

Dia mengakui, sampai saat ini masih ada dua versi. Aparat keamanan menyatakan penembakan dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata. Sedangkan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat menuduh sebaliknya. Theo mengakui, munculnya dua klaim itu wajar meski jika dirunut, kemungkinan pelakunya adalah aparat keamanan.

Sebagai pendeta, menurut Theo, Yeremia dipastikan tidak akan membeda-bedakan sikapnya baik pada aparat keamanan, warga maupun anggota TPN-PB. Semuanya akan dianggap sebagai umat. Masyarakat dan anggota TPN-PB dipastikan mengenal dan mengetahui tempat tinggal Pendeta Yeremia dengan baik. Sebaliknya, pasukan anorganik TNI yang baru ditugaskan, kemungkinan tidak mengenalnya.

“Jadi, bisa juga terjadi, karena anggota yang dikirim ini anggota baru semua, TNI non organik, dari ketidaktahuan TNI anorganik, identitas Pak Yeremia sebagai seorang pendeta, mereka bisa melakukan penembakan juga, buta-buta. Tanpa dimintai keterangan atau identitas,” kata Theo.

Saat ini, lanjutnya, yang dibutuhkan adalah kejujuran, baik dari pihak TNI maupun Organisasi Papua Merdeka (OMP).

Penembakan Pendeta: LPSK dan Komnas HAM Ditunggu di Papua
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:29 0:00

Komnas HAM Diminta Turun

Gustav Kawer, Direktur Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua, meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera melakukan investigasi. Permintaan itu wajar, karena ada dugaan aparat keamanan sebagai pelaku dalam kasus ini, karena itu tidak tepat jika mereka yang melakukan investigasi.

Direktur Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua, Gustav Kawer. (Foto: Courtesy/Dok Pribadi)
Direktur Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua, Gustav Kawer. (Foto: Courtesy/Dok Pribadi)

“Ruang itu sudah jelas, dalam Undang-Undang Pengadilan HAM, ruang itu adalah ruang Komnas HAM. Biarkan Komnas HAM investigasi secara independen, dan kemudian pelakunya kalau memang masyarakat sipil diumumkan bahwa itu masyarakat sipil atau TPN OPM. Kemudian jika pelakunya adalah aparat keamanan, biarkan ruang sampai ke pengadilan HAM,” kata Gustav.

Di Papua, kata Gustav, selama ini ruang untuk Komnas HAM itu tidak tersedia secara maksimal. Jika terjadi insiden penembakan, aparat TNI dan polisi sendiri yang akan melakukan investigasi. Akibatnya, karena yang diselidiki adalah diri sendiri, kasus-kasus itu tidak pernah sampai ke pengadilan.

Di sisi lain, Gustav meminta Komnas HAM untuk proaktif tanpa perlu menunggu laporan dari masyarakat.

“Komnas HAM juga harus proaktif, jangan menunggu permintaan dari masyarakat atau menunggu ruang itu dibuka. Komnas HAM dengan kewenangannya seharusnya begitu peristiwa ini terjadi, sudah harus ada di lapangan melakukan investigasi,” tambah Gustav.

Situasi di Papua setelah adanya penembakan oleh kelompok bersenjata. (Foto: Courtesy/Polda Papua)
Situasi di Papua setelah adanya penembakan oleh kelompok bersenjata. (Foto: Courtesy/Polda Papua)

Selain Komnas HAM, sementara ini pemerintah, khususnya petinggi TNI, sebaiknya mengambil langkah penarikan pasukan anorganik yang sedang menjalankan operasi militer.

Kondisi lain yang harus dipahami seluruh pihak adalah ada rasa muak dan kemarahan di kalangan rakyat Papua karena tragedi semacam ini terus berulang. Menurut Gustav, rakyat sipil menjadi korban sejak puluhan tahun lalu hingga era reformasi ini. Persoalannya berpondasi pada eksploitasi sumber daya alam, adanya operasi militer, ada munculnya pelanggaran HAM. Semua terus berulang tanpa ada penyelesaian yang komprehensif.

Gustav juga mengingatkan, pada tahun 2015 Presiden Jokowi sudah menjanjikan dibukanya akses bagi media asing untuk meliput di Papua. Sayangnya, sampai saat ini, setelah lima tahun janji diucapkan, akses itu tidak diberikan sama sekali. Padahal kehadiran media dibutuhkan untuk mengatasi salah satu kendala paling umum di Papua, yaitu transparansi.

“Kalau tetap ditutup, maka pertanyaannya apa yang ditakutkan oleh negara. Dan indikasi bahwa ada pelanggaran HAM yang dilakukan negara, benar adanya. Jadi dengan akses dibuka, maka situasi yang saat ini terjadi bisa liliput, dan media berkontribusi untuk penyelesaian,” lanjut Gustav.

Melanggar Konvensi Jenewa 1949

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. Rabu 15 April 2020. (Dokumen pribadi).
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. Rabu 15 April 2020. (Dokumen pribadi).

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, meminta seluruh pihak, baik TNI-Polri maupun TPN- PB agar menghormati hak hidup warga Papua. Penembakan yang mengakibatkan meninggalnya Pendeta Yeremia Zanambani melanggar UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Hak Sipil Politik.

Dalam konteks hak untuk hidup sebagai HAM, kata Gobay, hak itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Operasi militer yang saat ini digelar di Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Mimika harus mengedepankan prinsip-prinsip dalam Pasal 3 ayat 1, Konvensi Jenewa Tahun 1949.

Pasal itu, lanjut Gobay, mewajibkan adanya perlakuan berperikemanusiaan bagi siapapun yang tidak terlibat dalam pertikaian.

“Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan orang-orang tersebut di atas pada waktu dan tempat apapun juga. Seperti tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, perlakuan kejam dan penganiayaan,” kata Gobay.

Situasi Papua setelah adanya kasus penembakan sebagai ilustrasi. (Foto: Courtesy/Polda Papua)
Situasi Papua setelah adanya kasus penembakan sebagai ilustrasi. (Foto: Courtesy/Polda Papua)

Selain itu, tidak diperkenankan juga terjadi penyanderaan, perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat, serta menghukum dan menjalankan hukuman mati, tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

Karena itulah, LBH Papua menuntut Presiden Jokowi untuk menerapkan Konvesi Jenewa 1949 dalam melindungi hak hidup masyarakat sipil di Papua. Selain itu, Kementerian PUPR dan TNI harus memahami Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI terkait kekutsertaan TNI dalam pengamanan proyek-proyek strategis di Papua. LBH Papua juga meminta Komnas HAM RI membentuk tim investigasi dan melakukan investigasi atas terlanggarnya hak hidup Pendeta Yeremia Zanambani. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG