Tautan-tautan Akses

Pemerintah Jamin TNI dan Polri Netral dalam Pemilihan Umum


Diskusi publik tentang netralitas aparat dalam pilkada dalam pemilu di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (5/7). (Foto: VOA/Fathiyah)
Diskusi publik tentang netralitas aparat dalam pilkada dalam pemilu di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (5/7). (Foto: VOA/Fathiyah)

Kepala Staf kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko menjamin Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selalu netral dalam setiap pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni lalu dan pemilihan presiden sekaligus pemilihan legislatif pada April 2019.

Isu aparat keamanan tidak netral muncul ketika pemilihan kepada daerah serentak digelar di 171 daerah pada 27 Juni lalu. Wacana ini muncul karena ada sejumlah perwira polisi yang dituding ikut campur dalam proses pencoblosan, seperti di Jawa Barat dan Maluku.

Namun, pemerintah menepis tudingan bahwa aparat keamanan tidak netral. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (5/7), Kepala Staf kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko menjamin Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selalu netral dalam setiap pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni lalu serta pada pemilihan presiden sekaligus pemilihan legislatif pada April 2019.

Moeldoko justru mempertanyakan darimana isu aparat keamanan tidak netral itu muncul, apakah berasal dari luar atau merupakan perilaku internal di tubuh TNI dan Polri. Ia juga mempertanyakan apakah isu tersebut merupakan kritik untuk mengingatkan atau merupakan tuduhan.

Moeldoko yakin isu TNI dan Polri serta aparatur sipil negara tidak netral akan terus berembus hingga pelaksanaan pemilihan presiden dan legislatif pada April tahun depan.

Baca juga: Menjawab Tudingan SBY, Presiden Jokowi Pastikan TNI Polri dan BIN Netral

Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena netralitas TNI sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal 9 disebutkan prajurit TNI dilarang terlibat dalam politik praktis.

Aturan serupa bagi Polri juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pada pasal 28 disebutkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.

Belajar dari sejarah, Moeldoko mengakui TNI tidak netral pada era Orde Baru.Ia merasakan sendiri pengalaman ketika menjabat Komando Distrik Militer (Kodim) dimana ia dapat dicopot dari jabatan komandan Kodim jika gagal memenangkan Partai Golongan Karya di wilayahnya.

"Tetapi setelah reformasi kecurigaan awalnya sangat kuat, tapi lama-lama masyarakat evaluasi aparat-aparat keamanan di lapangan seperti apa. Saya pikir bisa dievaluasi per lima tahun. Setelah ke sini sebenarnya sudah bersih," klaim Moeldoko.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan masyarakat saat ini menerima informasi yang berlimpah - baik valid dan non valid - karena kemudahan mendapat informasi tersebut. Namun dia mengatakan karena kecenderungan emosional terhadap calon atau tokoh tertentu dengan mengabaikan fakta, hal ini menjadi faktor menyebabkan muncul isu TNI dan Polri tidak netral.

Titi mencontohkan pengangkatan Komisaris jenderal Iriawan sebagai pelaksa tugas Gubernur Jawa Barat menjelang pemilihan gubernur pada 27 Juni lalu. Wacana yang muncul di kalangan masyarakat lebih banyak mengenai ketidaknetralan Polri ketimbang program-program ditawarkan para pasangan kandidat.

"Akhirnya kalau kita bicara soal netralitas aparat dalam konteks pilkada dan pemilu kita hari ini, bukan hanya hanya dalam situasi netral tapi juga harus mampu memastikan kapan netral. Bukan hanya soal pernyataan-pernyataan (netral) sudah banyak sekali, tetapi publik juga harus bisa melihat konsistensi bahwa aparat itu memang tampak netral," tandas Titi.

Pemerintah Jamin TNI dan Polri Netral dalam Pemilihan Umum
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:15 0:00

Kepala Bagian Teknis Pengawasan di Badan Pengawas Pemilihan Umum Harimurti Wicaksono menjelaskan sesuai pasal 70 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah disebutkan dalam berkampanye pasangan calon dilarang melibatkan pejabat badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), aparatur sipil negara, anggota Polri, dan anggota TNI, kepala desa, lurah dan perangkat desa.

Menurut Harimurti kalau ada calon gubernur, wali kota, atau bupati yang dengan sengaja melibatkan pejabat tersebut, maka akan dikenakan sanksi pidana.

Lalu dalam pasal 71 disebutkan pejabat negara, pejabat daerah, anggota TNI/Polri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Karena itulah, enam bulan sebelum pemilihan umum digelar, pejabat negara dan pejabat daerah dilarang melakukan mutasi.

Harimurti menambahkan dalam upaya mengawasi netralitas aparatur sipil negara, Badan Pengawas Pemilu telah melakukan kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendaygunaan Aparatur Sipil Negara, Komisi Sipil Negara, dan Badan Kepegawaian Negara melalui nota kesepahaman tentang pengawasan pelaksanaan kode etik aparatur negara dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Menurut Harimurti, Badan Pengawas Pemilu akan menyerahkan rekomendasi meengenai pelanggaranoleh aparatur sipil negara kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, dan akan ditindaklanjuti kepada pejabat pembina kepegawaian.

Harimurti mengatakan Badan Pengawas Pemilu telah melakukan evaluasi terhadap netralitas aparatur sipil negara dalam pemilihan kepala daerah pada 2017. Hasilnya, terdapat 29 kasus yang setidaknya melibatkan 75 oknum aparatur sipil negara pada jabatan antara lain gubernur, asisten daerah, bupati, camat, kepala desa, sekretaris daerah, pejabat di unit kerja pemerintah daerah, kepala Puskesmas, kepala sekolah, guru, lurah, dan satpol PP.

"Bentuk-bentuk dugaan pelanggarannya: umumkan dukungan calon, menggunakan atribut pasangan calon, memberikan forum kepada salah satu pasangan calon untuk melakukan kampanye," tukas Harimurti.

Bentuk pelanggaran lainnya, lanjut Harimurti adalah ikut deklarasi dukungan terhadap bakal calon, merngarahkan staf di lingkungan kerjanya untuk mendukung pasangan calon tertentu. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG