Tautan-tautan Akses

Pemerintah AS Inginkan Sekolah Buka Kembali, Apa Pendapat Orang Tua?


Para guru memeriksa suhu tubuh murid-muridnya sebelum mereka mulai "summer-camp" di sebuah SMU Wylie High School di kota Wylie, Texas (foto: dok).
Para guru memeriksa suhu tubuh murid-muridnya sebelum mereka mulai "summer-camp" di sebuah SMU Wylie High School di kota Wylie, Texas (foto: dok).

Setelah wabah virus corona melanda Amerika awal tahun ini, mayoritas sekolah memutuskan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar secara virtual hingga semester lalu berakhir. Presiden Donald Trump baru-baru ini bersikeras meminta sekolah buka kembali pada tahun ajaran mendatang. Apa pilihan dan pendapat orang tua mengenai kegiatan belajar mengajar terbaik untuk anak-anak mereka?

Ikatan Dokter Anak Amerika, bulan lalu merekomendasikan agar kebijakan terkait kegiatan belajar mengajar memprioritaskan “kehadiran fisik murid di sekolah.” Sementara itu pemerintahan presiden Donald Trump pekan lalu juga menegaskan agar sekolah-sekolah dapat “dibuka kembali dengan aman pada tahun ajaran mendatang.” Membuka kembali sekolah, katanya, penting untuk memastikan para orang tua dapat pergi bekerja mencari nafkah.

Dengan tingkat penularan virus corona yang terus meningkat di Amerika, jajak pendapat baru dari Associated Press/NORC pekan lalu mendapati bahwa 80 persen warga Amerika khawatir pembukaan kembali sekolah-sekolah akan menyebabkan lonjakan kasus.

Orang tua murid sendiri sejak bulan lalu telah menerima informasi melalui berbagai cara mengenai beberapa opsi kegiatan belajar mengajar mendatang. Di antaranya, murid datang ke sekolah sepenuhnya, belajar secara virtual sepenuhnya, atau kombinasi keduanya.

Ke sekolah, bersosialisasi dan ‘herd immunity’

Ria Butarbutar tinggal di Houston, Texas, salah satu negara bagian yang memiliki lonjakan kasus virus corona tertinggi di AS belakangan ini. Untuk putrinya yang berusia 10 tahun itu, ia menyatakan, "Saya ingin anak-anak sih hadir di sekolah dan juga ada choice untuk online…selama pelajaran online-nya berkualitas," lanjutnya.

Ria Butarbutar dan putrinya. (Foto: privat)
Ria Butarbutar dan putrinya. (Foto: privat)

Ia menganggap pelajaran online pada semester lalu tidak memenuhi standar terbaik. Namun ia memahami hal itu karena situasi darurat yang membuat anak-anak tiba-tiba harus belajar di rumah. Guru dan sekolah harus berbuat yang terbaik untuk mengisi waktu anak-anak, jelas Ria.

Ia memandang anak-anak perlu masuk sekolah, bertemu teman-teman, guna mengasah keterampilan bersosialisasi mereka serta meningkatkan herd immunity atau imunitas kelompok. "Kalau semua serba bersih, saya pikir itu bukan yang terbaik untuk kita."

Ia tidak khawatir melepaskan anaknya masuk sekolah, selama protokol keamanan terkait Covid-19 diikuti, seperti pengukuran suhu tubuh pada waktu murid tiba di sekolah, dan menutup mulut jika batuk atau bersin.

Para siswa harus tetap menerapkan jarak aman (social distancing) selama pelajaran di dalam kelas di SMU Wylie High School di Wylie, Texas (foto: dok).
Para siswa harus tetap menerapkan jarak aman (social distancing) selama pelajaran di dalam kelas di SMU Wylie High School di Wylie, Texas (foto: dok).

Satu hal yang ia akui sulit dibayangkan adalah, bagaimana anak-anak akan berdisiplin mengenakan masker selama belajar di sekolah.

Menunggu ada vaksin

Namun, dua diaspora Indonesia lainnya yang tinggal di negara bagian-bagian dengan angka kasus penularan virus corona termasuk yang tertinggi di AS, tidak ingin melepaskan anak mereka masuk sekolah pada tahun ajaran mendatang.

Francis Sitorus, ayah seorang putri berusia 13 tahun, tinggal di ibu kota California, Sacramento. Di tempat tinggalnya, warga was-was akan wabah virus corona tetapi tidak panik, jelasnya.

Untuk tahun ajaran mendatang, sistem sekolah negeri di tempatnya sudah memutuskan untuk belajar secara virtual sepenuhnya. Menurut Francis, ia dan kemungkinan mayoritas orang tua lebih merelakan anak mereka belajar secara virtual sepenuhnya saja sampai ada penanggulangan wabah yang tepat.

Francis Sitorus dan putrinya, Lexi. (Foto: privat)
Francis Sitorus dan putrinya, Lexi. (Foto: privat)

Metode belajar virtual juga ia anggap cocok untuk anaknya, yang kebetulan pada kelas 8 semester mendatang masuk kelas spesial. "Dia merasa lebih enak karena enggak terganggu dengan pertanyaan teman-teman yang lain, dia bisa fokus menyelesaikan tugas-tugasnya."

Menurut Francis, kelas virtual memang harus melibatkan orang tua, terutama dalam menjaga kedisiplinan anak selama belajar. Tetapi bagaimanapun, ia merasa lebih tenang dapat memantau langsung anaknya di rumah. Ini juga meredam kekhawatiran akan perilaku anak-anak di sekolah yang mungkin mengabaikan pedoman sanitasi.

Untuk masalah sosialisasi, ia sesekali mengizinkan putrinya bertemu dengan teman-temannya.

Francis juga tidak mempermasalahkan pelajaran virtual pada semester lalu, karena menurutnya, beberapa di antaranya cukup menantang daya pikir anak semata wayangnya.

Tracey Pucci dan putranya, Foxton Harding, 12, menonton video yang dibuat oleh para guru Foxton di Northshore Middle School ketika sekolah beralih ke pembelajaran online selama pandemi di Bothell, Washington, AS.
Tracey Pucci dan putranya, Foxton Harding, 12, menonton video yang dibuat oleh para guru Foxton di Northshore Middle School ketika sekolah beralih ke pembelajaran online selama pandemi di Bothell, Washington, AS.

Di Florida, salah satu negara bagian di AS tingkat penularan tertinggi, Illona Sianturi, yang putra bungsunya berusia 11 tahun, mengaku masih berkegiatan sehari-hari seperti biasa.

Karena pindah rumah, pada tahun ajaran mendatang, putranya juga pindah ke distrik sekolah baru. Sistem sekolah di kabupaten Volusia tempat tinggalnya sekarang, baru akan memutuskan sistem belajar yang akan dipilih pada akhir bulan Juli.

Dari ketiga opsi yang ditawarkan, hanya opsi belajar di kelas yang sama sekali tidak ia pertimbangkan. Dua opsi yang ia pertimbangkan untuk anaknya adalah kelas Volusia live, dengan real time streaming. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan persis seperti di kelas, guru di sekolah, tetapi murid tetap berada di rumah. Opsi lainnya adalah online learning yang menurutnya lebih fleksibel waktu dan materi pelajarannya.

Karena pada semester lalu anaknya mampu belajar secara online dengan baik, ia berharap hal serupa juga akan dicapai pada semester mendatang. Namun ia mengakui ada kelemahan dari kelas online.

"Menurut saya sih amat sangat tidak cukup. Menurut saya sih sekolah kita ini kurang ya, kurang secara kualitas, apa lagi online. Online mereka kan cuma belajar lewat komputer. Yang tahun (semester) lalu jadi hanya chatting dengan gurunya," jelasnya. Guru sendiripun, lanjut Illona, belum sepenuhnya menguasai cara mengajar secara online.

Membandingkan dengan kedisiplinan para siswa di kursus metode belajar Kumon yang dimilikinya, Illona tidak yakin sekolah dapat mengatur begitu banyak murid secara aman. Karena itu ia menilai sekolah-sekolah belum siap untuk dibuka kembali.

Lantas, kapan orang tua seperti Francis dan Illona rela melepaskan anak-anak mereka masuk sekolah?

Selain kepastian bahwa pedoman keselamatan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) benar-benar diikuti, Illona dan Francis sependapat bahwa waktu yang tepat untuk itu adalah apabila sudah ada vaksin untuk Covid-19.

“Kalau kita sudah tahu sepenuhnya tentang Covid, kita tahu bagaimana cara mengatasinya dan itu sudah jelas, baru akan saya kirim anak-anak ke sekolah,” tegas Illona. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG