Tautan-tautan Akses

Pelepasliaran Satwa Liar Sitaan, Kurangi Biaya dan Risiko Kematian


Ketua Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Ricardo Sitinjak mengamati satwa liar kakatua jambul kuning hasil sitaan BBKSDA Jawa Timur di kandang karantina Maharani Zoo, Lamongan, Jawa Timur, (Foto: Petrus Riski/
Ketua Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Ricardo Sitinjak mengamati satwa liar kakatua jambul kuning hasil sitaan BBKSDA Jawa Timur di kandang karantina Maharani Zoo, Lamongan, Jawa Timur, (Foto: Petrus Riski/

Perburuan dan perdagangan satwa liar menimbulkan ancaman kepunahan dan kerusakan ekosistem yang lebih besar. Satwa liar yang disita sulit ditangani karena butuh biaya perawatan yang sangat besar. Penegakan hukum diharapkan dapat memberi efek jera, melalui hukuman yang berat serta denda yang besar.

Sebanyak 112 ekor satwa liar dilindungi menjalani perawatan di Maharani Zoo, sebuah lembaga konservasi yang berada di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Satwa-satwa itu merupakan titipan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Timur, hasil sitaan dari sejumlah pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar ilegal.

Diungkapkan oleh Bambang Suworo, Manager Operasional Maharani Zoo and Goa, rata-rata satwa yang dititipkan di lembaga konservasi ini dalam kondisi buruk, akibat penanganan yang tidak mengindahkan prinsip kesejahteraan satwa oleh pelaku kejahatan satwa liar.

Menurut Bambang, tingkat kematian pada hewan-hewan liar sitaan umumnya tinggi karena mereka mengalami stres akibat mengalami rudapaksa.

“...seperti dulu kakatua jambul kuning dimasukkan botol plastik. Kemudian satwa-satwa yang lain pada saat pengiriman itu tertutup rapat dikamuflasekan seolah-olah bukan satwa. Itu begitu keluar stres dia,” kata Bambang.

“Kalau stres biasanya makannya tidak mau. Biasanya aktif jadi tidak aktif. Jadi satwa yang hasil sitaan yang dengan pengelolaan yang tidak bagus itu tingkat kematiannya tinggi,” lanjutnya.

Selain penanganan kesehatan satwa-satwa yang dititipkan, Maharani Zoo juga harus menanggung pemenuhan kebutuhan pakan satwa hasil sitaan selama dititipkan.

Bambang Suworo mengatakan, belum adanya putusan hukum atas kasus perdagangan satwa liar dilindungi, membuat pihaknya harus tetap memelihara dan menanggung biaya pakan satwa, hingga satwa diserahkan kembali kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. Dia mengaku pihaknya belum mendapatkan subsidi pakan dan biaya dari pemerintah. Meski demikian, Maharani Zoo akan tetap memelihara satwa liar yang berada di fasilitas tersebut dengan baik.

“Jadi semua satwa liar yang terkait dengan kasus hukum, baik hasil dari BKSDA, dari penyitaan lembaga hukum yang lain tetap kita pelihara dengan baik. Cuma itu menjadi problem karena kami terbebani dengan pakan,” ujar Bambang Suworo.

“Kedua, area Maharani Zoo ini kan tidak terlalu luas. Jadi hanya sekitar tiga hektare. Itu keseluruhan area, sehingga kalau kami sering mendapatkan barang titipan itu kami susah menempatkannya. Kemudian, setelah perkara hukum itu inkracht (berkekuatan hukum tetap), sampai sekarang ini belum pernah ada, misalnya, pelimpahan dari barang titipan menjadi penyerahan itu belum ada,” ungkap Bambang Suworo.

Pilihan Pertama

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Timur, Nandang Prihadi mengatakan, pelepasliaran menjadi pilihan pertama satwa liar hasil sitaan kasus perdagangan ilegal, agar satwa dapat diselamatkan dari kondisi pasca perburuan. Namun, terdapat mekanisme hukum yang menjadikan satwa liar harus dititipkan terlebih dahulu ke lembaga konservasi sebelum dilepasliarkan.

Merak hijau hasil sitaan kasus perdagangan satwa liar dititipkan di kandang karantina Maharani Zoo, Lamongan, Jawa Timur, Kamis, 14 Maret 2019. (Foto: Petrus Riski/VOA)
Merak hijau hasil sitaan kasus perdagangan satwa liar dititipkan di kandang karantina Maharani Zoo, Lamongan, Jawa Timur, Kamis, 14 Maret 2019. (Foto: Petrus Riski/VOA)

“Kita bisa melepasliarkan. Kedua, kita bisa titipkan ke lembaga konservasi atau ke penangkaran. Biasanya kalau memang belum ada keputusan, atau dari penyidik masih memerlukan barang bukti tersebut, kami masih titipkan dulu ke lembaga konservasi dari pada ke penangkaran,” kata Nandang.

“Untuk release (pelepasliaran), kami juga kan harus melakukan kajian, dan harus mendapat kepastian bahwa memang barang bukti tersebut layak untuk di-release, termasuk nanti kajian habitat dan seterusnya. Nah sambil menunggu itu biasanya kami titip-titipkan di beberapa lembaga konservasi,” ujar Nandang.

Sementara itu, Ketua Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Ricardo Sitinjak mengatakan, pelepasliaran satwa dengan segera harus menjadi perhatian para penyidik kasus kejahatan terkait satwa liar, dengan membuat berita acara pelepasliaran meski proses hukum masih berjalan. Ricardo menegaskan bahwa pelepasliaran dengan segera setelah melalui mekanisme yang berlaku, akan membantu mengurangi biaya perawatan satwa yang diketahui sangat mahal.

“Agar cepat, satwa itu kalau memang hasil penelitian dari yang berkompeten, dokter hewan, BKSDA, sifat keliaran dari pada satwa itu masih ada, masih dominan, agar segera dilepasliarkan dengan membuat berita acara pelepasliaran, ditandatangani tersangka, penyidik, BKSDA, dokter hewan, dan juga jaksanya,” kata Ricardo Sitinjak.

“Jadi kalau memang itu cepat dilepasliarkan, itu kan mengurangi biaya. Biayanya, kan mahal sekali,” tuturnya.

Pemahaman mengenai pentingnya keberadaan satwa liar di alam diharapkan menjadi dasar yang selalu dipegang para jaksa penuntut umum, sehingga tidak memberikan tuntutan yang rendah seperti sebelumnya.

Ancaman Hukuman Minimal

Ricardo Sitinjak sepakat perlu adanya adopsi peraturan perundangan lain, seperti Undang-Undang nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta Undang-Undang nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, selain Undang-Undang mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Upaya ini untuk memastikan pelaku kejahatan terkait satwa liar dapat dihukum berat.

Ricardo setuju Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 perlu revisi karena saat ini tidak ada ancaman hukuman minimal.

“Kalau umpamanya minimal satu tahun, suka tidak suka ya minimal satu tahun kita tuntut. Terus kemudian mungkin bisa kami masukkan efek jera dari pada pelaku-pelaku itu dengan membayar denda yang mahal, denda untuk biaya rehabilitasi dan denda untuk ke negara,” papar Ricardo

“Dan bisa saja kita revisi Undang-undang itu juga berkaitan dengan adanya pencucian uang. Jadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 itu diadopsi di dalamnya, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H Kehutanan,” lanjut Ricardo Sitinjak.

Pelepasan Satwa Liar Sitaan, Kurangi Biaya dan Risiko Kematian
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:14 0:00

Manager Unit Perlindungan Satwa Liar, International Animal Rescue (IAR) Indonesia, Ode Kalashnikov mengatakan, penanganan kasus perdagangan satwa liar tidak cukup hanya melalui sosialisasi, edukasi maupun kampanye. Namun perlu upaya penegakan hukum yang tegas dan mampu memberikan rasa takut atau efek jera bagi pelaku kejahatan terkait satwa liar.

Jawa Timur, menurut Ode, adalah pintu masuk dan keluar penyelundupan satwa liar baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri, terutama dari Indonesia timur dan keluar negeri.

“Seperti halnya bulan lalu, awal tahun, Januari, ada 79 ekor kukang yang digagalkan oleh Polres Majalengka, mau diselundupkan ke Shanghai, jalurnya Surabaya,” kata Ode.

“Kemudian kami melihat ada pengaruh penegakan hukum yang menyebabkan angka kejahatan itu menurun. Kalau dulu kami pikir kegiatan penyadartahuan, sosialisasi, kampanye, itu cukup efektif, ternyata setelah kami dalami yang paling efektif adalah upaya penegakan hukum, orang banyak jera kemudian timbul rasa takut,” kata Ode menerangkan. [pr/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG