Tautan-tautan Akses

Pandemi, Kasus Bansos dan Ironi Pemberantasan Korupsi


Seorang perempuan mengenakan masker, berdiri di depan papan pengumuman jumlah kematian dan kasus aktif virus corona saat ini di ibu kota, untuk menyebarkan kesadaran akan bahaya Covid-19 di Jakarta, 7 Desember 2020.
Seorang perempuan mengenakan masker, berdiri di depan papan pengumuman jumlah kematian dan kasus aktif virus corona saat ini di ibu kota, untuk menyebarkan kesadaran akan bahaya Covid-19 di Jakarta, 7 Desember 2020.

Pandemi Covid 19 berdampak besar bagi Indonesia. Ekspor menurun, pendapatan melalui pajak anjlok, dan sektor manufaktur terganggu. Sementara di sisi lain, pemerintah berkewajiban membantu masyarakat mengatasi dampak pandemi itu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah sangat serius mengatasi dampak pandemi virus corona hingga menyusun UU khusus dan mengubah APBN hingga dua kali.

“Inilah yang sedang kita hadapi saat ini. Sekali lagi keuangan negara masuk untuk melindungi masyarakat, Rp233 triliun dalam bentuk Bantuan Sosial, dalam berbagai bentuk,” kata Sri Mulyani dalam seminar daring 'Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2020'. Seminar ini bertema Jaga Integritas Diri, Pulihkan Negeri Kala Pandemi dan diselenggarakan Kamis (10/12).

Bansos itu, tambah Sri Mulyani, disalurkan melalui berbagai jalur agar sampai ke pihak yang membutuhkan. Dia merinci, di antara jalur itu adalah Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, paket sembako, dalam bentuk tunai, pembebasan biaya listrik, kuota internet gratis, tambahan modal kerja, hingga tambahan upah atau gaji bagi mereka yang memperoleh pendapatan di bawah Rp5 juta.

Penyerahan bansos kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM). (Foto: Kemensos/ilustrasi)
Penyerahan bansos kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM). (Foto: Kemensos/ilustrasi)

Pemerintah juga menghadapi banyak persoalan baru. Misalnya timbulnya kelompok masyarakat, yang sebelumnya tidak membutuhkan bantuan, tiba-tiba harus masuk dalam daftar penerima. Mereka yang kehilangan pekerjaan, dan merupakan kelompok masyarakat miskin baru adalah contohnya.

Meski memiliki tujuan yang baik, Sri Mulyani mengakui desain kebijakan ini tidak berada dalam situasi yang ideal. Pandemi Covid-19 datang tiba-tiba dan membutuhkan penanganan segera. Di sisi kesehatan, persoalan juga muncul dan membutuhkan skema kebijakan yang juga spesifik. Mau tidak mau, pemerintah harus siap menghadapi semua itu.

“Dalam merespon kegentingan, memaksa kita harus sangat lincah dan fleksibel,” kata Sri Mulyani.

Pandemi Tak Luput dari Korupsi

Di sisi lain, Indonesia juga harus menghadapi persoalan terkait korupsi. Indeks persepsi korupsi Indonesia ada di angka 40 dari 100, di mana semakin tinggi angkanya maka suatu negara dianggap semakin baik. Angka 40 itu menurut Sri Mulyani tentu masih butuh perjuangan untuk memperbaikinya. Setidaknya, Indonesia harus mampu berada di atas angka 50, seperti Singapura dan Brunei. Meskipun menurut indeks tersebut, posisi Indonesia masih lebih baik dibanding Vietnam, Thailand dan Filipina.

Seminar ini menjadi penting, di tengah isu korupsi Bansos yang menerpa Menteri Sosial. Seperti diketahui, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dijadikan tersangka kasus suap atau gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Juliari menerima komisi Rp 10 ribu untuk setiap paket Bansos senilai Rp 300 ribu, dan diduga sekurangnya telah mengumpulkan Rp 17 miliar. Tindakan tercela itu dinilai lebih keji, karena menyunat langsung hak masyarakat miskin yang semakin susah terdampak pandemi.

Sri Mulyani sendiri mengingatkan jajaran Kementerian Keuangan yang dipimpinnya untuk menjaga integritas.


Hal senada disampaikan mantan Menteri ESDM, Ignasius Jonan yang menilai pentingnya kehadiran seorang panutan dalam kultur Indonesia.

“Kalau bisa memberikan contoh, mungkin akan sangat berkurang perilaku yang melanggar peraturan atau undang-undang atau melanggar etika. Tidak bisa cuma ngomong. Yang diomongkan harus dijalankan semaksimal mungkin,” papar Jonan.

Pandemi, Kasus Bansos dan Ironi Pemberantasan Korupsi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:28 0:00

Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM), Supomo juga sepakat dengan Jonan. Komitmen dan keteladanan menjadi pekerjaan rumah dalam praktik birokrasi yang baik dan menekan potensi korupsi. “Kalau tidak ada komitmen dan keteladanan di level direksi, ke bawah tidak akan ada yang bisa dijadikan sandaran,” kata Supomo.

Namun, pengawasan juga memiliki peran penting. Karena itulah, LPDB KUMKM, kata Supomo menggandeng pihak luar, seperti kejaksaan, untuk mengawasi langsung pelaksanaan program mereka. Auditor eksternal juga berperan untuk menjamin komitmen anti korupsi di atas bisa terlaksana dengan baik hingga ke bawah. [ns/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG