Tautan-tautan Akses

Pakar: Rencana Menghidupkan GBHN Tidak Tepat


Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta (foto: ilustrasi). Wacana kembali ke GBHN dinilai tidak relevan karena saat ini presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat.
Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta (foto: ilustrasi). Wacana kembali ke GBHN dinilai tidak relevan karena saat ini presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat.

Sejumlah pakar menilai rencana MPR yang ingin menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen kelima Undang-undang Dasar 1945 tidak tepat. Mereka mengkhawatirkan ada upaya untuk mengembalikannya seperti zaman Orde Baru.

Sejumlah partai politik termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berniat kembali mengubah Undang-undang Dasar 1945, terutama untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara. Sejumlah kalangan khawatir usulan menghidupkan kembali GBHN itu bisa mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru dan merusak sistem presidensial.

Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti menilai untuk saat ini amandemen UUD 1945 tidak perlu. Untuk mengubah konstitusi, kata Bivitri, parameternya setidaknya ada dua, yaitu desakan dari rakyat dan harus berdampak untuk rakyat, sementara wacana amandemen saat ini tidak memenuhi keduanya.

Menurut Bivitri, keinginan dimasukannya kembali GBHN tidak relevan dengan sistem pemerintahan sekarang karena saat ini presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung dan tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya.

Pernyataan politisi yang mengatakan bahwa tanpa GBHN pemerintah tidak punya arah yang jelas dalam pembangunan kebijakan menurut Bivitri tidak tepat karena sudah ada undang-undang sistem perencanaan pembangunan nasional yang di dalamnya ada rencana pembangunan jangka panjang dan pembangunan jangka menengah.

“Sementara yang namanya GBHN itu diketoknya oleh MPR. Jadi, dari segi proses menurut saya sangat elitis. Kalau dibilang haluan dalam arti filosif dan sebagainya, yang namanya haluan itu Pancasila, konsitusi. Jadi urgensinya menurut saya tidak ada,” kata Biviitri kepada VOA.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari. Dia menilai amandemen terbatas ini berpotensi melebar ke sejumlah pasal termasuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara seperti zaman Orde Baru. Ketika itu MPR yang terdiri dari DPR dan DPD sangat berkuasa dalam menentukan arah pengelolaan negara.

Oleh kata itu, kata Feri, karena ini kepentingannya untuk mengembalikan masa lalu di mana partai-partai dominan bisa menguasai seluruh proses penyelenggaraan negara, maka GBHN adalah isu yang tidak diperlukan.

“Ini lebih mirip upaya mengembalikan cita rasa masa lalu di parlemen kita dibandingkan alasan bahwa ini sebagai panduan pembangunan karena sudah ada ketentuan undang-undangnya untuk itu,” ujar Feri.

Menurut Feri, keberadaan GBHN tidak berkorelasi dengan pembangunan berkesinambungan. Ia mencontohkan saat GBHN masih berlaku, pembangunan juga tidak berjalan terlalu bagus. Untuk itu Feri menyarankan agar MPR berfokus menjalankan fungsi pengawasan dan pemantauan pembangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 25, Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari mengatakan bahwa tanpa GBHN pemerintah tidak punya arah yang jelas dalam pembangunan dan tiap ganti presiden arah kebijakan juga berganti. Menurutnya RPJP yang digunakan sekarang tidak cukup karena titik beratnya ada di eksekutif.

PDI Perjuangan, kata Eva, tak akan mengutak-atik pasal-pasal lainnya dalam rencana amandemen kelima ini.

GBHN yang diterapkan pada masa Orde Baru telah dihapus pada tahun 2000. Sejak itu, pemerintahan menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai dasar pembangunan. Lalu, bahasa teknisnya dibuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); RPJP berlaku selama 25 tahun dan RPJMN berlaku untuk lima tahun. (fw/lt)

Recommended

XS
SM
MD
LG