Tautan-tautan Akses

Pakar: Pandemi Gairahkan Penciptaan Teknologi Belajar Daring di Masa Depan


Asisten pengajar Samuel Lavi membantu dengan kelas online di Valencia, Selasa, 2 September 2020, di Phoenix. (Foto: AP)
Asisten pengajar Samuel Lavi membantu dengan kelas online di Valencia, Selasa, 2 September 2020, di Phoenix. (Foto: AP)

Sementara sebagaian besar orang tua stres dengan sistem pembelajaran secara daring akhir-akhir ini, beberapa ahli malah menyatakan hal itu akan menjadi hal biasa di masa depan. Bahkan sistem pembelajaran tersebut dinilai positif.

Banyak siswa yang memulai tahun ajaran baru lewat internet. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk menemukan cara agar anak-anak mereka dapat belajar di depan layar komputer. Namun, salah satu CEO perusahaan yang bergerak dalam bisnis teknologi mallar bersemangat dan berharap pandemi akan menggairahkan penciptaan teknologi yang lebih baik untuk menyelenggarakan pendidikan.

“Ini momen penting dalam sejarah, karena selama berkarir, saya berjuang untuk memperkenalkan lebih banyak teknologi ke dalam ruang kelas, tetapi banyak penentangnya,” kata Nicole Lazzaro, CEO XEO Design.

Lavinia Tomassini, 14, menggunakan iPad-nya untuk mengikuti kelas bahasa Prancis online. (Foto: Reuters)
Lavinia Tomassini, 14, menggunakan iPad-nya untuk mengikuti kelas bahasa Prancis online. (Foto: Reuters)

Lazzaro sangat menyukai games, ia adalah seorang desainer games yang berpengalaman, dan mengembangkan games yang hidup. Ia direkrut oleh bisnis pengembang games, seperti Electronic Arts, serta studio film dan TV seperti Lucas Art, Cartoon Network dan Nickelodeon.

“Seratus persen dari siswa-siswa di dunia kini menjadi siswa online. Penggunaan games dalam lingkungan seperti itu membuat reality games berpeluang sangat besar,” kata Nicole Lazzaro.

Salah satu games yang dikembangkan Lazzaro adalah “Follow the White Rabbit” atau Mengikuti Jejak Kelinci Putih yang membawa para pemain ke dalam sebuah perjalanan virtual keliling dunia.

“Kita bisa pergi menjelajahi berbagai tempat, jadi misalnya kita belajar Aljabar, itu kan berasal dari Timur Tengah. Kita belajar tentang kertas yang berasal dari China, dan kita benar-benar melihat bagaimana dunia ini berkembang, budaya-budaya dunia berkembang, dan disini diperlihatkan betapa besarnya saling ketergantungan di antara kita semua,” papar Nicole Lazzaro.

Lazzaro menjelaskan anak-anak jauh lebih mudah mengingat informasi yang mereka peroleh dari reality games, karena hal itu benar-benar mereka alami sendiri dan bukan disuapi seperti lewat kuliah misalnya. Sudah tentu tidak semua anak-anak memiliki komputer atau telepon pintar, apalagi headset untuk reality games yang bisa mencapai $ 200 atau lebih.

“Sediakan internet berkecepatan tinggi untuk para siswa, upayakan peralatan dan koneksi untuk mereka, serta beri mereka dukungan. Kalau hal itu terselenggara, maka sebuah daftar teknologi yang panjang, seperti reality games, menurut saya merupakan alat pembelajaran yang bagus sekali,” ujar Chistine Greenhow, seorang professor ilmu pendidikan dari Michigan State University.

VOA Weekend, 19 September 2020 (3): Sekitar Kampus
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:30 0:00

“Kita perlu menyediakan perangkat keras dengan harga yang murah, perlu mendidik para guru supaya mereka paham penggunaannya. Kemudian kita perlu berikan pengalaman itu kepada para siswa sehingga mereka tahu bagaimana reality games itu dioperasikan,” kata Nicole Lazzaro.

Ini merupakan sebuah cita-cita yang diharapkan akan dirangkul oleh para orang tua yang kini masih khawatir dengan masa depan pendidikan anak-anak mereka. [ew/jm]

XS
SM
MD
LG