Tautan-tautan Akses

Budaya Barat Tantangan Bagi Sebagian Mahasiswa Internasional 


Para mahasiswa Berea College berdiri di atas peta Asia, Kentucky, AS. (Foto: Courtesy/Berea College)
Para mahasiswa Berea College berdiri di atas peta Asia, Kentucky, AS. (Foto: Courtesy/Berea College)

Salah satu faktor yang menonjol dalam kesenjangan sosial mahasiswa internasional di universitas di Amerika dengan rekan-rekan domestik adalah kepercayaan diri yang mereka miliki. Psikolog Wendy Quinton, dari Universitas New York di Buffalo, meneliti apa yang ditakuti banyak mahasiswa internasional ketika mereka pertama kali menginjakkan kaki di kampus-kampus AS.

"Menumbuhkan kontak dekat dengan anggota masyarakat budaya Amerika merupakan tantangan yang konsisten dan sangat sulit," tulis Quinton dalam studinya.

Mahasiswa internasional ingin dekat dengan teman kuliah Amerika mereka tetapi perbedaan budaya dan komunikasi sering menjadi gangguan.

“Kurangnya kedekatan yang berarti dengan mahasiswa Amerika dikaitkan dengan banyak hal yang sudah terdokumentasi dengan baik, termasuk kurangnya adaptasi sosial budaya, kesulitan yang lebih besar dalam menavigasi uji coba pendidikan tinggi, dan merasa kurang puas dengan pengalaman tinggal.

Studi Quinton mencakup mahasiswa internasional dari Asia Timur dan Tenggara, kelompok mahasiswa asing terbesar di Amerika. Di antara 1 juta lebih mahasiswa internasional di AS, lebih dari 30 persen berasal dari China, hampir 20 persen dari India dan hampir 5 persen dari Korea Selatan, demikian menurut Institute for International Education di New York.

Robin Schulze, Dekan Fakultas Seni dan Pengetahuan Universitas Buffalo mengatakan, membangun kerjasama sosial di luar kampus juga penting bagi kepercayaan diri para mahasiswa. “Semakin baik kita membangun jembatan di luar pelajaran akademis, maka mahasiswa akan semakin baik setelah mereka berada di luar kampus” katanya.

“Kelompok ini juga memiliki perbedaan budaya besar untuk dijembatani ketika tiba di AS,” kata Quinton di situs web universitas itu.

“Kemerdekaan yang ditekankan dalam budaya Barat sering kali bertentangan dengan penekanan kerja sama dan saling bergantung dalam budaya kolektivis seperti China, Korea Selatan, dan banyak negara Asia Tenggara.

Siswa Brooklyn College berjalan di kampus, Rabu 1 Februari 2017, di New York. (Foto: VOA)
Siswa Brooklyn College berjalan di kampus, Rabu 1 Februari 2017, di New York. (Foto: VOA)

Ini merupakan situasi yang sangat berbeda dengan apa yang biasa dilakukan mahasiswa ini dalam budaya asal mereka.

Quinton menyatakan ketika mahasiswa internasional bersosialisasi lebih baik, diterima, dan terintegrasi di kampus, depresi, kerinduan dan stres, akan berkurang dan lebih puas dengan pengalaman mereka.

Itu bukan hanya masalah menjalin persahabatan, kata Quinton namun interaksi sederhana di antara mahasiswa yang bisa mengarah pada saling mengenal lebih baik, seperti "waktu yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan rekreasi bersama, dengan siapa orang belajar dan dengan siapa mereka memilih untuk menghabiskan waktu luang mereka. "

Abdul Alam adalah salah seorang mahasiswa Universitas Buffalo dari Asia, ia mengatakan kegiatan komunitas kampus memberi dampak luas bagi para mahasiswa. "Mempersatukan semua mahasiswa yang berlatar belakang berbeda dan saya mengalaminya sendiri dan betapa besar dampaknya bagi mahasiswa” kata Alam.

Selain kepercayaan diri, Quinton meneliti pandangan mahasiswa internasional mengenai "identitas universitas dan persepsi diskriminasi."

“Hasil-hasil menunjukkan kepercayaan diri mungkin menjadi sumber daya yang sangat penting bagi mahasiswa internasional Asia Timur/Tenggara yang berjuang untuk menjalin hubungan dengan warga Amerika,” kata studi Quinton.

“Lebih jauh, meningkatkan identitas universitas bisa membina hubungan yang lebih baik bagi mahasiswa internasional dengan siswa nasional dan mahasiswa internasional lainnya di kampus," lanjutnya.

University at Buffalo, selain dikenal sebagai lembaga pembelajaran, juga menyebut entitas universitas ini sebagai “tempat dimana mahasiswa merasa dekat” dengan komunitas kampusnya. Menurut penelitian Quinton, identitas universitas itu “terkait sosialisasi yang lebih besar” untuk mahasiswa domestik dan internasional.

Mahasiswa berjalan di kampus Miami Dade College, di Miami, 23 Oktober 2018. (Foto: AP)
Mahasiswa berjalan di kampus Miami Dade College, di Miami, 23 Oktober 2018. (Foto: AP)

"Rasa memiliki yang kuat terhadap komunitas universitas seseorang yaitu, identitas universitas bisa berfungsi sebagai identitas bersama untuk mahasiswa internasional, menyatukan mereka dengan mahasiswa tuan rumah," kata studi Quinton.

Pada sisi lain, diskriminasi yang dirasakan adalah "perasaan bahwa seseorang atau kelompok asal seseorang menjadi target prasangka, tidak terkait dengan sosialisasi," demikian menurut situs web universitas itu.

Meski demikian, Quinton mengatakan yakin ini merupakan hal yang "bisa diselesaikan universitas."

"Mahasiswa internasional yang gagal dalam hubungan yang diharapkan dengan mahasiswa AS jelas kecewa, namun ada pula kerugiannya bagi populasi mahasiswa Amerika ketika memasuki komunitas global. Mereka akan kehilangan manfaat terkait dengan interaksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan berbeda, kata Quinton.

“Mahasiswa dalam negeri dalam hal ini akan dirugikan dengan tidak mengenal mahasiswa internasional.” [my/jm]

XS
SM
MD
LG