Tautan-tautan Akses

Omnibus Law: Ditolak Pekerja, Ditunggu Sektor Usaha


Ketua DPR menerima draf RUU Omnibus Law dari pemerintah pada 12 Februari 2020. (Foto: Humas DPR RI)
Ketua DPR menerima draf RUU Omnibus Law dari pemerintah pada 12 Februari 2020. (Foto: Humas DPR RI)

Pemerintah akhirnya menyerahkan draf RUU Omnibus Law ke DPR pada Rabu, 12 Februari 2020. Pro kontra pun muncul. Kalangan pekerja menolak, dunia usaha berharap banyak, sedang pengamat meminta sosialisasi yang masif.

Seperti juga rekan-rekan mereka di berbagai kota di Indonesia, para buruh di Yogyakarta pun menolak kehadiran RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Mereka yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berpendapat, RUU ini akan merugikan. Kirnadi, dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KSPSI DIY menyebut sejumlah alasannya.

“Di dalam rancangan undang-undang itu nanti akan membatasi soal jaminan sosial, kedua soal upah minimum, yang ketiga adanya perluasan sistem kerja kontrak di berbagai sektor dan ada perluasan juga soal outsourcing. Ini yang akan menjadi penghambat naiknya kesejahteraan buruh di Indonesia,” ujarnya.

Omnibus Law: Ditolak Pekerja, Ditunggu Sektor Usaha
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:27 0:00

Serikat pekerja di Indonesia, kata Kirnadi, gencar melakukan penolakan karena berharap pemerintah memberikan respons, dengan membuka RUU yang sudah ada. Namun, lanjutnya, respons semacam itu tidak pernah dilakukan.

“Kami tidak mau tertipu untuk ke berapa kalinya,” tambahnya.

Es Teh Saat Berbuka

Di sisi lain, bagi dunia usaha, nampaknya RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah angin segar yang ditunggu sejak lama. Begitu segarnya, hingga Wakil Ketua Satgas Omnibus Law, Bobby Gafur Sulistyo Umar mengibaratkan seperti es teh di kala berbuka puasa.

“Ini seperti minum es teh manis selesai berbuka puasa. Jadi sudah mulai kerasa enak, tapi makanannya belum datang. Jadi jangan sampai kita hanya minum es teh manis, tetapi nggak makan,” kata Bobby.

Yang disebut Bobby dengan tidak makan, adalah apabila RUU Omnibus Law gagal diselesaikan dan berlaku nantinya.

Bobby menyampaikan itu, ketika berbicara dalam diskusi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (13/2). Selain mewakili Satgas Omnibus Law, Bobby juga pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), dan salah satu pimpinan puncak di grup usaha Bakrie.

Seminar terkait Omnibus Law di Fakultas Hukum UGM. (Foto: Humas UGM)
Seminar terkait Omnibus Law di Fakultas Hukum UGM. (Foto: Humas UGM)

Bobby memaparkan Indonesia tidak digerakkan ekonomi produktif, tetapi konsumtif. Ketika sektor usaha tidak kompetitif, pengusaha tidak untung, dan pekerja sulit makmur. Karena semua faktor itulah, daya daya beli secara umum turun. Menurut Bobby, Indonesia membutuhkan rangsangan baru agar lebih kompetitif. RUU Omnibus Law akan memangkas banyak biaya, di sisi lain, lanjut Bobby, pemilik modal akan mencari tempat paling efisien dan paling menguntungkan.

Padahal, sejauh ini Indonesia tidak kompetitif.

“Pipa baja dari China lebih murah sampai Surabaya, dibanding beli dari Krakatau Steel,” ujarnya memberi contoh.

Perlu Perbaikan Menyeluruh

Ekonom dari Universitas Brawijaya Malang, Ahmad Erani Yustika juga berbicara dalam diskusi yang sama. Selain akademisi, profesor ekonomi ini juga pernah menjadi staf khusus Presiden Jokowi.

Dalam paparannya, Yustika menyebut bahwa masalah dalam ekonomi bersumber dari dua hal, yaitu penopang investasi dan regulasi. Di sisi yang lain, Indonesia masih terbelit persoalan terkait infrastruktur, produktivitas tenaga kerja, hingga penyuapan yang masih menjadi hambatan investasi.

Yustika mengatakan, solusi utama masalah-masalah tersebut bukan perubahan regulasi, namun harus diakui masih terdapat problem terkait regulasi. Dia memberi contoh persoalan perizinan dan perpajakan, yang menjadi faktor perlunya perubahan aturan.

“Omnibus Law menjadi obat untuk perkara yang terkait dengan perubahan regulasi namun tidak akan efektif untuk mengelola isu di luar regulasi,” ujarnya.

Yustika menekankan, keberadaan Omnibus Law harus diikuti dengan perbaikan di sektor lain, misalnya birokrasi. Dia menyambut baik langkah pemerintah, misalnya dalam menghapus eselon di pemerintahan. Sehingga, kata Yustika, jika menteri atau Dirjen akan membuat keputusan, tidak membutukan proses lama.

“Paraf antar kementerian dan lembaga itu bisa berbulan-bulan untuk satu peraturan Menteri saja. Saya pengalaman tiga tahun di birokrasi, rasanya seperti 30 tahun,” papar Yustika.

Agar tidak muncul banyak penolakan, kata Yustika, DPR dan pemerintah harus membangun partisipasi publik dalam proses penyusunan Omnibus Law. Jika pembahasannya dilakukan secara serampangan, lanjutnya, yang rugi adalah seluruh bangsa.

“Semua memiliki kepentingan memastikan agar undang-undang ini bisa membawa kebaikan. Ini harus dibuat seterang akuarium di DPR, jangan ada penyusupan. Kalau tidak, akan dibajak seperti banyak undang-undang yang lain. Mari kita mulai hari ini banyak minum kopi, supaya tidak tertidur pulas ketika dibahas di DPR,” tambah Yustika.

Perlu Keterlibatan Publik

Guru Besar Hukum Bisnis FH UGM, Sulistiowati Indonesia mengalami kompleksitas dan obesitasi regulasi. Dampaknya, kemudahan menjalankan usaha sangat jauh di bawah negara-negara ASEAN. Mengutip data Kemenkumham, hingga akhir Januari 2020 Indonesia tercatat memiliki 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah. Banyak diantanya yang tumpang tindih.

“Terjadi over regulated di sini dan kalau dibedah semua peraturan perundangan ini tidak memberikan kepastian hukum dalam berusaha,” kata Sulistiowati.

Pada sektor kemudahan usaha, negara-negara yang berada pada ranking tinggi, umumnya telah melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Pada sisi inilah, Sulistiowati melihat bahwa konsep omnibus law pemerintah, memang ditujukan untuk mendorong investasi. Namun, Sulistiowati mengingatkan, implementasi peraturan ini perlu dilakukan dengan hati-hari.

Rapat terbatas penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Istana Bogor, Jumat 27 Desember 2019. (Foto: Humas Setneg)
Rapat terbatas penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Istana Bogor, Jumat 27 Desember 2019. (Foto: Humas Setneg)

Omnibus Law menuntut adanya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan secara utuh. Dalam artian harus patuh. Tidak mungkin mengabaikan, baik itu peraturan perundangan secara vertikal maupun horizontal,” ujarnya.

Sulistiowati juga mengingatkan pentingnya publik terlibat aktif, justru agar undang-undang yang dihasilkan nanti implementatif. Pemerintah dan DPR juga harus memperhatikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan.

“Omnibus Law ini ditujukan untuk mengundang investasi masuk. Namun jangan lupa, Omnibus Law bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi yang terpenting generasi mendatang. Sehingga Three Pillars Sustainable Development, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan harus jadi dasarnya,” ujarnya.

Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum Kebijakan

Sementara itu, dalam keterangan tertulisnya, Fajri Nursyamsi meminta DPR dan Presiden melakukan empat langkah penting terkait Omnibus Law ini. Fajri adalah Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK).

Menurut Fajri, DPR dan Presiden harus segera mempublikasikan draf RUU Cipta Lapangan Kerja melalui segala media yang tersedia. DPR dan Presiden juga harus membuka kesempatan bagi publik seluasnya untuk ikut berpartisipasi dalam pembahasan RUU. Caranya dengan membuka ruang informasi dan forum penyampaian masukan yang mudah diakses oleh masyarakat.

Selain itu, dua lembaga negara itu juga harus memastikan peraturan pelaksana sebagai implementasi RUU Cipta Lapangan Kerja, tidak memperparah kerumitan regulasi yang telah ada selama ini. Keduanya juga harus memastikan semua ketentuan yang bertentangan dengan asas atau prinsip peraturan perundang-undangan maupun Putusan MK, harus dihapus.

“DPR harus menjalankan perannya sebagai lembaga legislatif sekaligus penyeimbang kekuasaan sesuai mekanisme check and balance terhadap Presiden, serta menyuarakan kepentingan publik yang kritis. Pengimbangan peran DPR terhadap Presiden menjadi kunci mencegah sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden, yang jika dibiarkan akan menciptakan otoritarianisme,” pungkas Fajri. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG