Tautan-tautan Akses

Pemerintah dan DPR Didorong Membuat Platform Digital Undang-undang


Para pekerja berpawai menuju gedung DPR/MPR untuk memprotes rancangan undang-undang omnibus penciptaan lapangan kerja, di Jakarta, 13 Januari 2020. (Foto: AFP)
Para pekerja berpawai menuju gedung DPR/MPR untuk memprotes rancangan undang-undang omnibus penciptaan lapangan kerja, di Jakarta, 13 Januari 2020. (Foto: AFP)

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong pemerintah dan DPR untuk membuat platform digital untuk transparansi pembuatan undang-undang dan meningkatkan partisipasi publik.

Direktur Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR) Anggara mengatakan pemerintah dan DPR perlu transparan dalam membuat undang-undang. Sebab, kata dia, undang-undang tersebut akan berdampak luas kepada seluruh masyarakat.

Ia mencontohkan pembuatan rancangan undang-undang (RUU) yang belum transparan, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja yang mendapat penolakan dari buruh. Dokumen RUU tersebut yang beredar di masyarakat itu kemudian diklarifikasi pemerintah dengan menyebut draf tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

"Menurut saya sejak awal pemerintah malah menutup diri dari pandangan masyarakat. Seolah-olah masyarakat itu dianggap pengganggu, jadi kalau mau cepat dibahas antar kementerian lembaga, ya masyarakat jagan dilibatkan. Intinya kan begitu," jelas Anggara saat dihubungi VOA, Senin (28/1/2020).

Anggara mencontohkan pembahasan RUU lain yang tidak transparan pada periode DPR sebelumnya yaitu RKUHP, RUU KPK dan RUU terorisme. Menurutnya, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup terkait isi rancanganterbaru yang dibahas pemerintah dan DPR kala itu. Bantahan yang sama kala itu juga disampaikan pemerintah soal isi RKUHP yang mendapat penolakan masyarakat di berbagai daerah pada September lalu.

Atas dasar tersebut, Anggara meminta pemerintah dan DPR membuat platform digital yang berisi tentang perkembangan pembahasan RUU baik usulan dari pemerintah maupun dari DPR secara berkala. Sehingga masyarakat mendapat informasi yang benar tentang isi RUU dan tidak timbul kecurigaan bahwa DPR dan pemerintah hanya mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.

"Jadi kita bisa melihat asal-usul, kenapa pasal ini muncul. Kalau sekarang kan tidak, kalau di DPR kan ini aspirasi masyarakat, tapi kan belum tertulis aspirasinya. Jadi kita tidak bisa melihat ini benar aspirasi masyarakat atau bukan," tambahnya.

Ia menambahkan pemerintah dan DPR dapat mencontoh platform digital yang dibuat Skotlandia dalam transparansi pembuatan undang-undang.

Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.(Foto: @DPR_RI)
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.(Foto: @DPR_RI)

Menanggapi itu, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan Badan Keahlian DPR sudah memiliki sistem informasi legislatif (Sileg) yang menyediakan informasi tentang parlemen. Menurutnya, informasi tersebut dapat diakses secara penuh oleh publik. Hanya, kata dia, lembaganya memang masih terkendala jaringan internet yang kurang baik sehingga menyulitkan masyarakat untuk mengakses informasi.

Ia juga mengakui fitur yang tersedia di Sileg masih kurang lengkap. Ia berjanji akan melengkapi fitur-fitur sesuai kebutuhan masyarakat sehingga semua akses informasi yang dibutuhkan masyarakat dapat dipenuhi.

"Jadi sebenarnya yang terbuka harusnya bukan hanya DPR, tapi pemerintah juga. Karena RUU menjadi UU itu tidak mungkin terjadi, kalau tidak ada kesepakatan kedua pihak, eksekutif dan yudikatif," jelas Iskandar kepada VOA.

Menurut Iskandar keterbukaan informasi di pemerintah bisa dilakukan kementerian yang mendapat tugas dari pemerintah untuk membahas undang-undang. Atau bisa juga, kata dia, melalui kementerian hukum dan HAM yang memiliki tugas harmonisasi undang-undang.

Pekan lalu, pemerintah mengklarifikasi isi RUU Penciptaan Lapangan Kerja yang beredar di masyarakat setelah mendapat penolakan dari organisasi-organisasi buruh.

Menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, melalui rilis, RUU Cipta Lapangan Kerja masih dalam proses finalisasi oleh Pemerintah. Isi RUU yang beredar berjudul “Penciptaan Lapangan Kerja”, sedangkan yang sedang dalam proses finalisasi berjudul “Cipta Lapangan Kerja”.

"Sehingga apabila ada Draft RUU yang beredar dan dijadikan sumber pemberitaan, maka bisa dipastikan bukan Draft RUU dari Pemerintah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya," jelas Susiwijono melalui keterangan tertulis, 21 Januari 2020.

Ia menambahkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga tidak pernah menyebarluaskan salinan RUU Penciptaan Lapangan Kerja dalam bentuk apa pun sampai proses pembahasan selesai. Menurutnya, pemerintah juga sudah merampungkan substansi RUU Cipta Lapangan Kerja dan telah diusulkan oleh Pemerintah kepada Badan Legislasi Nasional DPR RI untuk dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional.

Selanjutnya, pemerintah akan menyiapkan Surat Presiden (Surpres) kepada Ketua DPR RI, setelah DPR RI menetapkan RUU Cipta Lapangan Kerja tercantum dalam Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020.

"Presiden akan menyampaikan Surpres tersebut kepada Ketua DPR RI, disertai dengan draft Naskah Akademik dan RUU Cipta Lapangan Kerja," tambahnya. [sm/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG