Tautan-tautan Akses

NU dan ICJR Kecam Vonis 18 Bulan Penjara terhadap Perempuan yang Keluhkan Pengeras Suara Azan 


Meiliana (44 tahun), perempuan keturunan Tionghoa yang beragama Budha, saat menghadiri sidang penistaan agama di pengadilan negeri Medan, Sumatra Utara, Selasa (21/8).
Meiliana (44 tahun), perempuan keturunan Tionghoa yang beragama Budha, saat menghadiri sidang penistaan agama di pengadilan negeri Medan, Sumatra Utara, Selasa (21/8).

Vonis 18 bulan penjara terhadap Meiliana (44 tahun), seorang perempuan keturunan Tionghoa yang mengeluhkan volume azan yang dinilainya terlalu keras, dinilai banyak kalangan sebagai vonis yang tidak tepat.

Mantan saksi ahli dalam sidang pengadilan di Medan itu, yang juga Ketua Lakpesdam PBNU, Rumadi Ahmad, kepada VOA menyesalkan putusan yang menurutnya “terlalu berlebihan.” Ditegaskannya bahwa “tuduhan bahwa Meiliana melakukan penodaan agama adalah hal yang konyol.”

Hal senada disampaikan Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Robikin Emhas yang mengatakan suara adzan terlalu keras itu bukan penodaan agama dan berharap “penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat.” Lebih jauh Emhas mengatakan pernyataan Meiliana soal azan yang terlalu keras itu sedianya menjadi masukan yang konstruktif.

Rumadi Ahmad dalam pesan terbuka yang dipasangnya di sosial media minta maaf kepada Meiliana karena keterangan yang disampaikannya dalam persidangan tidak didengar hakim dan tidak mengubah putusan terhadap perempuan berusia 44 tahun itu.

“Sebelumnya saya menduga jaksa akan terpengaruh dengan argumentasi saya dan menuntutmu bebas. Mengapa? Setelah sidang, salah satu jaksa mendekati saya sambil berkata “terima kasih Pak atas keterangannya. Banyak yang mencerahkan saya, termasuk posisi fatwa dalam Islam,” ternyata dugaan saya meleset,” tulis Rumadi di Facebook-nya.

Meiliana, yang mengeluhkan volume azan, menangis saat menerima vonis hukuman penjara 18 bulan di pengadilan negeri Medan, Sumatra Utara, Selasa (21/8).
Meiliana, yang mengeluhkan volume azan, menangis saat menerima vonis hukuman penjara 18 bulan di pengadilan negeri Medan, Sumatra Utara, Selasa (21/8).

Lakpesdam NU Kritisi Penggunaan Pasal Karet Tanpa Lihat Substansi Penodaan Agama

Kepada VOA dengan gamblang Rumadi Ahmad menjelaskan bagaimana penggunaan pasal karet, yaitu pasal 156a KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama, tidak dapat berdiri sendiri dan harus dikaitkan dengan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 karena “di sana letak substansi penodaan agama.”

Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 mendefinisikan penodaan agama sebagai “… menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu".

Baca juga: Kesal karena Suara Bising Masjid, Meiliana Divonis Lakukan Penistaan Agama

Rumadi mengatakan “memperhatikan ketentuan pasal 1 itu, Meiliana tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal itu sehingga tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama.” Meiliana, ujar Rumadi, hanya menyampaikan dalam perbincangan kecil dengan beberapa orang tentang suara azan yang dinilainya terlalu keras.

“Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu Kak, sakit kupingku, ribut,” ujar Meiliana kepada tetangganya sebagaimana dibacakan dalam tuntutan jaksa.

Rumadi Ahmad: Azan & Pengeras Suara dalam Azan adalah Dua Hal Berbeda

Menurut Rumadi, azan bukan ashlun min ushuluddin, bukan pokok-pokok ajaran agama sehingga tidak bisa dijadikan dasar penodaan agama.

“Azan dan pengeras suara dalam azan adalah dua hal yang berbeda.” Ditambahkannya “mempermasalahkan pengeras suara azan tidak bisa dimaknai sebagai mempersoalkan azan itu sendiri.”

Pengeras suara azan menurutnya memiliki dua sisi, sebagai syiar Islam dan sekaligus berpotensi mengganggu kehidupan sosial, terutama pada masyarakat yang plural.

Seorang muazin sedang mengumandangkan azan di sebuah masjid (foto: ilustrasi).
Seorang muazin sedang mengumandangkan azan di sebuah masjid (foto: ilustrasi).

Kemenag Sudah Atur Soal Penggunaan Pengeras Suara Sejak Tahun 1978

Pemerintah Indonesia, lewat Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, pada tahun 1978 sebenarnya sudah mengeluarkan aturan tentang penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan musholla; yang salah satu poinnya adalah memperhatikan ketenangan dan keharmonisan masyarakat. Instruksi itu juga mengatur tata cara penggunaan pengeras suara selain untuk azan, antara lain untuk suara ketika sholat lima waktu, sholat Jum'at, takbir, tarhim dan Ramadhan.

Soal penggunaan pengeras suara di masjid juga sempat menjadi perdebatan hangat pada tahun 2015 ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla secara terang-terangan mengatakan pemutaran kaset pengajian menjelang waktu sholat yang diperdengarkan dengan pengeras suara melahirkan “polusi suara.”

"Permasalahannya yang ngaji cuma kaset dan memang kalau orang ngaji dapat pahala, tetapi kalau kaset yang diputar, dapat pahala tidak? Ini menjadi polusi suara," ujar Jusuf Kalla, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia, dalam pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI se-Indonesia di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, pada 8 Juni 2015. Pernyataan itu mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, tetapi tidak sampai ke pengadilan seperti yang dialami Meiliana.

Wapres Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia (foto: dok).
Wapres Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia (foto: dok).

ICJR Juga Kecam Penggunaan Pasal Karet (Lagi) terhadap Minoritas

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) lewat pernyataan tertulis juga mengecam penggunaan pasal 156a KUHP yang menjadi dasar putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada 21 Agustus lalu. “Dalam catatan ICJR, pasal penistaan agama selalu digunakan dalam konteks terdakwa atau terpidana dianggap menista agama mayoritas.” Pasal ini dinilai multi-tafsir karena tidak dirumuskan dengan sangat tepat dan penerapannya bisa beranekaragam.

ICJR menilai dalam putusan di PN Tanjung Balai itu, hakim maupun penuntut umum gagal membuktikan unsur “dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat permusuhan.” Ini dinilai mirip dengan yang terjadi pada kasus Ahok beberapa waktu lalu.

“Rumusan pasal tentang penistaan agama harus benar-benar secara hati-hati dirumuskan, karena begitu erat dengan subjektivitas mayoritas dan tendensi publik. Dengan rumusan yang sekarang dalam KUHP saja, dalam tataran implementasi telah menyerang kelompok minoritas. Lantas RKUHP hadir dalam Pasal 326, 327, 328 (draft 9 Juli 2018) yang mengatur pasal penghinaan agama lebih karet dan sumir dari rumusan dalam KUHP,” demikian pernyataan yang ditandatangani Direktur Eksekutif ICJR Anggara dan diterima VOA Selasa (21/8).

ICJR: Hukum Pidana tentang Penghinaan Sedianya Tak Digunakan untuk Hal yang Subyektif & Abstrak

Lebih jauh ICJR mengingatkan sebagai negara yang telah ikut meratifikasi “International Covenant on Civil and Political Rights” ICCPR – instrumen HAM internasional yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1966 dan dinyatakan berlaku tahun 1976 – maka Indonesia sedianya melarang tindakan penghasutan, permusuhan dan kekerasan yang menghasilkan diskriminasi atas dasar kebangsaan, ras, atau agama. Ini semua termaktub dalam pasal 20 ayat (2) ICCPR yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005. Kovenan ini juga memuat hak sipil dan politik lain, seperti hak menentukan nasib sendiri, hak atas kesetaraan dan non diskriminasi, hak-hak kelompok minoritas dan larangan propaganda perang atau provokasi terhadap diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Dalam konteks ini, “delik penghinaan bukan merupakan ranah hukum pidana,” tegas ICJR.

Ditambahkan bahwa berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang promosi dan perlindungan hak berekspresi dan berpendapat, “hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subyektif, abstrak, dan merupakan konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran agama, ideologi dan doktrin politik.”

Ratusan orang telah dijerat pasal karet tentang penistaan agama ini baik pada era Soekarno hingga pemerintahan sekarang, baik karena dinilai menyampaikan pidato yang menghina agama, bersiul saat berdoa, mengemukakan pendapat di sosial media dan lain-lain. Pada Oktober 2009 sekelompok orang yang peduli pernah mengajukan uji materi pasal ini ke Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan sekitar 40-an saksi, namun permohonan itu ditolak. [em]

Recommended

XS
SM
MD
LG