Tautan-tautan Akses

Mereka Berbagi Kuasa, Kita Berbagi Canda


Pertemuan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Prabowo Subianto yang memastikan masuknya Gerindra ke pemerintahan, Jakarta, 11 Oktober 2019. (Foto: presidenri.go.id.)
Pertemuan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Prabowo Subianto yang memastikan masuknya Gerindra ke pemerintahan, Jakarta, 11 Oktober 2019. (Foto: presidenri.go.id.)

Komika Sakdiyah Ma’ruf memajang foto Jokowi dan Prabowo yang sedang berswafoto di layar presentasi. Swafoto berlatar belakang para jurnalis yang biasa meliput di Istana itu, dilakukan ketika keduanya membahas peluang masuknya Prabowo ke koalisi pemerintah, 11 Oktober 2019 lalu.

Diyah, panggilan akrab perempuan itu, tertawa di tengah presentasinya. Dia bukan melawak, tetapi berbicara serius dalam seminar di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, 21 Oktober lalu. Diyah berbicara tentang “Melawan Dengan Gembira: Humor Dalam Komunikasi Politik Kebangsaan.” Pesannya penting bagi kita semua, jika tidak memahami apa yang sedang terjadi di panggung politik, jangan sedih tetapi tertawalah.

“Bagaimana dengan politik kita? Need no further explaining. Ya sudah, lah. Saya melihat foto ini, yang viral kemana-mana, tidak bisa berkata apa-apa. Situasi politik, pemilu dan sebagainya yang sedemikian tegang, banyak orang yang putus persahabatan, kehilangan hubungan keluarga dan lain sebagainya, diakhiri dengan begini saja. Ya sudah,” kata Diyah sambil tertawa.

Menertawakan Apa Yang Terjadi

Karena itu, jika Anda pengagum berat Jokowi atau Prabowo dan tak sanggup melihat kenyataan politik yang terjadi, maka tertawa sajalah.

Mengapa tertawa penting? Mengutip Arthur Asa Berger, profesor dari San Fransisco State University, Diyah mengatakan humor membuat politik menjadi manusiawi. Humor atau satir adalah kritik terhadap status quo. Lebih lanjut kata Diyah, humor memberikan kacamata dan sudut pandang terhadap apa yang terjadi. Humor memfasilitasi kemarahan, rasa putus asa, kebingungan dan sifat agresif lain untuk dikomunikasikan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.

Komika Sakdiyah Mar'uf. (Foto: Humas UGM)
Komika Sakdiyah Mar'uf. (Foto: Humas UGM)

Tujuan akhir dari humor adalah meredakan ketegangan, baik ketegangan di masyarakat, antara masyarakat dan penguasa, ketegangan dalam kelompok dan antar kelompok, maupun ketegangan dalam diri sendiri.

“Ini lah kenapa, saya sangat meyakini satir. Sangat meyakini humor. Bagi saya pribadi, tertawa itu adalah ketika sudah terlalu sakit untuk menangis. Sudah habis air mata. Sudah habis kemarahan. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Di dasar rasa putus asa, humor memberi kita harapan,” papar Diyah.

Sakdiyah Ma'ruf adalah salah satu komika ternama di Indonesia. Perempuan kelahiran Pekalongan ini, mulai naik panggung pada 2011 di sebuah saluran televisi nasional. Dia menerima penghargaan Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent 2015, di Oslo, Norwegia. Tahun lalu, namanya masuk di urutan 54 dari 100 perempuan inspiratif dunia dari BBC.

Tanpa Tawa Jadi Kecewa

Salah satu yang tidak bisa menerima perkembangan politik yang terjadi adalah organisasi relawan Projo. Organisasi ini setia mendukung kegiatan politik Jokowi sejak 2013. Suara-suara penolakan atas bergabungnya Prabowo ke pemerintahan sudah disuarakan sejak beberapa pekan sebelum pengumuman kabinet. Kekecewaan itu memuncak pada Rabu (23/10), ketika Sekjen Projo, Handoko, seusai pelantikan Menteri Kabinet Indonesia Maju, menyatakan dengan tegas kemunduran organisasi itu dari kegiatan politik.

“Masuknya Pak Prabowo di kabinet sebagai menteri pertahanan, ini kan menimbulkan situasi yang tidak mudah. Di mana seorang rival dalam pertarungan yang keras kemudian ditambah isu HAM dan antidemokrasi ini menimbulkan ambigu yang luar biasa dan kawan-kawan kecewa,” kata Handoko.

Prabowo Subianto saat diperkenalkan sebagai Menteri Pertahanan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10).
Prabowo Subianto saat diperkenalkan sebagai Menteri Pertahanan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10).

Projo bahkan berniat membubarkan diri. Keputusan final itu kemungkinan akan diambil dalam kongres ada Desember mendatang.

Kekecewaan bukan hanya ada di kubu pengagum berat Jokowi, di seberang mereka, perasaan yang sama juga hinggap. Persaudaraan Alumni (PA) 212 melalui juru bicaranya, Novel Bamukmin, mengaku kecewa dengan sikap Prabowo yang bersedia menjadi menteri dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Persaudaraan Alumni 212 adalah salah satu pendukung militan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada pemilihan presiden 2019. Persaudaraan Alumni 212, tambah Novel, bahkan merasa dikhianati Prabowo.

“Pada situasi saat ini sepertinya sudah kami menutup dukungan atau melepaskan diri dari Prabowo. Yang kami sesalkan suara kami dikhianati untuk ditukar kursi dan jabatan oleh Prabowo,” ujar Novel.

Sop Iga Cak Imin

Tetapi tidak semua kekecewaan diungkapkan dengan sikap patah arang dan balik badan. Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar yang biasa dipanggil Cak Imin mengungkapkan kekecewaan dengan humor. Di laman twitternya, @cakimiNOW, pada Rabu sore dia mencuit “habis senam kok makan sop iga, berharap enam kok dapat tiga.”

Guyon bernada kecewa itu tidak lepas dari beban yang diberikan pada Cak Imin. Sepekan sebelum penetapan kabinet, para ulama memberikan target enam kursi menteri yang harus diraih. Faisol Riza dari DPP PKB menyebut, enam kursi yang diincar itu adalah Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial, Kementerian Pariwisata, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Nyatanya, PKB hanya menerima kursi Mendes PDTT, Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Perdagangan. Posisi Menteri Agama yang tradisinya menjadi jatah mereka bahkan lepas.

Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto berswafoto bersama para wartawan di istana kepresidenan, 11 Oktober 2019. (Foto: presidenri.go.id)
Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto berswafoto bersama para wartawan di istana kepresidenan, 11 Oktober 2019. (Foto: presidenri.go.id)

Jangan Baper di Politik

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Tunjung Sulaksono meminta pemilih tidak terbawa perasaan.

“Ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada musuh abadi, yang ada kepentingan abadi. Dan itu aksioma, suatu kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Saya kira, kita nggak usah terlalu serius memikirkan ini, karena ujung-ujungnya toh kayak gitu juga. Gimana lagi, pasti akan berakhir seperti itu,” kata Tunjung sambil tergelak.

Tunjung Sulaksono, pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tunjung Sulaksono. (Foto: Dokumen Pribadi)
Tunjung Sulaksono, pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tunjung Sulaksono. (Foto: Dokumen Pribadi)

Tunjung mengingatkan, masyarakat tidak bisa berharap banyak muncul oposisi dalam sistem demokrasi multi partai. Oposisi dalam demokrasi multi partai itu terlalu longgar, beda dengan dalam sistem dua partai. Dalam sistem semacam itu, tegas diatur yang menang membentuk pemerintahan dan yang kalah legowo menjadi oposisi.

Mengutip disertasi dari pengamat politik Kuskrido Ambardi, Tunjung mengatakan di Indonesia muncul sistem kepartaian kartel. Koalisi dalam sistem ini sangat longgar dan tidak ada ideologi di dalamnya. Karena itu di Indonesia, koalisi di tingkat nasional bisa berseberangan dengan koalisi di daerah dalam Pilkada, misalnya.

“Saya tidak berharap oposisi akan serius di Indonesia. Ini sudah terbukti sejak zaman SBY dulu sampai hari ini. Yang pada awalnya memposisikan diri sebagai oposisi, itu hanya dalam pertarungan mendapatkan kursi presiden. Setelah kursi presiden selesai, semua selesai,” kata Tunjung.

Mereka Berbagi Kuasa, Kita Sebaiknya Tertawa
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:44 0:00

Jika masuknya Prabowo ke dalam kabinet adalah untuk menyatukan pemilih yang cerai berai, Tunjung mengatakan alasan itu nampak gagah sekali dan luar biasa. Tetapi dia melihat, cita-cita mulia itu akan sangat sulit tercapai. Sulit untuk mengobati luka yang muncul selama proses Pilpres lalu.

Karena itulah, Tunjung mengajak semua pihak kembali ke esensi demokrasi, sebagai metode kompetisi memilih pemimpin publik. Ketika sudah selesai, siapapun yang terpilih tidak perlu lagi ada dendam.

“Kalau Anda dan saya beda pilihan, dan kalau sampai hari ini kita berdua masih musuhan, kayaknya kita yang bodoh. Orang yang ada di atas sudah saling senyum, saling hormat. Kita anggap lucu saja semua ini,” tambah Tunjung sambil tertawa. (ns/em)

Recommended

XS
SM
MD
LG