Tautan-tautan Akses

Merapi Menuju Fase Letusan Magmatik


Petugas SAR mengawasi Gunung Merapi setelah beberapa letusan kecil di Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 22 Mei 2018.
Petugas SAR mengawasi Gunung Merapi setelah beberapa letusan kecil di Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 22 Mei 2018.

Setelah statusnya naik ke level II atau Waspada, pada Kamis (24/5), Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan peningkatan aktivitas lagi.

Hari Kamis, pukul 02.55 dini hari, Gunung Merapi kembali meletus. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) mencatat tinggi kolom letusan mencapai 6.000 meter.

Dari masyarakat diperoleh laporan, sebaran abu menuju ke arah barat, dan tercatat mencapai wilayah Kebumen, Jawa Tengah, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Merapi.

Selain itu, warga Stabelan, desa paling dekat puncak di Kabupaten Boyolali yang berada di sisi utara Merapi melaporkan adanya pijar warna merah saat letusan terjadi. Demikian pula hasil pengamatan Pos Gunung Merapi di Selo, yang menyatakan pijar itu jelas terlihat.

Kepala BPPTKG, Hanik Humaida kepada media memberikan konfirmasi tentang munculnya pijar merah itu, yang menandakan Merapi telah menuju ke fase magmatik.

“Pijaran yang dari dalam itu merupakan magma, sehingga kita bisa menyebutkan ini adalah sebuah awal menuju sebuah proses erupsi magmatis. Kalau proses magmatis sendiri ada data-data lain yang harus dibaca,” kata Hanik Humaida.“Sekarang sedang ada proses pembersihan saluran dengan dorongan dari dalam. Yang warnanya merah tadi adalah dorongan gas yang berasal dari dalam, dari magma.”

Hanya saja, Hanik meminta masyarakat tidak berspekulasi, bahwa proses ini akan langsung diikuti dengan letusan magmatik. Letusan kali ini juga belum tentu sama dengan letusan pada 2010, yang diikuti dengan awan panas luar biasa besar dan meluluhlantakkan desa-desa di selatan Merapi.

Petugas mengamati aktivitas Merapi di Kantor BPPTKG, Kamis, 24 Mei 2018. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Petugas mengamati aktivitas Merapi di Kantor BPPTKG, Kamis, 24 Mei 2018. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Letusan magmatik adalah letusan sebagai bentuk keluarnya magma dari perut bumi, dengan berbagai cara, tidak selalu disertai letusan besar. Letusan Merapi pada 2001 dan 2006 adalah letusan magmatik jenis ini.

“Merapi ini gunung api yang punya suhu sangat tinggi. Dulu di Kawah Woro, suhunya bisa mencapai 800 derajat, ketika aktivitas naik. Ini menunjukkan bahwa Merapi memiliki lava yang relatif encer, sehingga ketika dia keluar, gas yang ditimbulkan masih sangat panas,” kata Hanik.

Merapi kini sudah tidak dalam fase freatik, tetapi juga belum masuk sepenuhnya ke dalam fase magmatik. Karena itulah, berkali-kali Hanik menggunakan istilah menuju magmatik, agar tidak muncul kesalahpahaman di masyarakat.

Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat di desa-desa terdekat dengan puncak Merapi melakukan pengungsian mandiri, terutama jika terjadi letusan pada dini hari. Kondisi gelap tidak memungkinkan pengamatan visual arah material letusan, sehingga warga cenderung memilih cara paling aman, yaitu menyingkir dari kawasan bahaya. Pada pagi hari, semua warga kembali ke rumah dan beraktivitas seperti biasa.

BPPTKG sendiri melalui kerja sama dengan BPBD di setiap kabupaten sekeliling Merapi telah melakukan sosialisasi. Lembaga terkait, seperti Dinas Sosial, PMI, SAR, Tagana dan organisasi relawan melakukan berbagai koordinasi. Keperluan logistik terpenuhi dengan baik. Di Yogyakarta saja tersedia sekitar 600 ribu masker di Pemda dan PMI, yang siap dibagikan jika diperlukan.

Memberikan penjelasan terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Biwara Yuswatana, mengaku bisa memahami pilihan warga untuk mengungsi secara mandiri. Kengerian yang terjadi pada 2010, masih melekat dalam ingatan masyarakat.

“Sebenarnya belum perlu mengungsi, tetapi memang itu karena peristiwanya malam, takut kalau malam itu ada aktivitas yang lebih besar, kemudian secara mandiri turun. Ini kondisi yang terus menerus harus kita sosialisasikan kepada masyarakat,” kata Biwara Yuswatana.

“BPPD dengan berbagai mitra akan terus berusaha mengantisipasi itu dalam berbagai aspeknya, dengan koordinasi organisasi, logistik, kemudian jika masyarakat turun ke titik aman, tetap kita fasilitasi,” ujarnya.

Biwara memastikan DIY sudah memiliki aturan operasi baku dalam penanganan aktivitas Merapi. Aturan itu bahkan memuat pembagian lokasi pengungsian yang telah dipahami oleh masyarakat. Warga desa tertentu akan langsung menuju ke titik pengungsian tertentu.

Untuk memastikan tidak muncul korban jiwa, koordinasi dengan pengelola Taman Nasional Gunung Merapi dan pemerintah kabupaten terus dilakukan. Seluruh posko pengungsi telah siap, tinggal menunggu perintah aktivasi.

Tempat wisata di kaki Merapi yang masuk wilayah Kabupaten Sleman di DIY dan Klaten, Jawa Tengah, dinyatakan ditutup. Jalur pendakian secara keseluruhan ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Meski belum ada penutupan bandara, operator penerbangan juga diingatkan oleh Dirjen Perhubungan Udara untuk terus memantau perkembangan Merapi.

Ketika terjadi letusan pertama pada 11 Mei, Bandara Adi Sucipto sempat ditutup selama beberapa jam karena abu mengarah ke selatan. Jalur penerbangan sangat tergantung pada arah angin yang membawa muntahan gunung Merapi itu.

Setelah pukul 02.55, Kamis, pukul 10.48 Merapi kembali meletus dan memuntahkan abu serta pasir. Angin yang mengarah ke barat membawa material itu ke Kota Magelang, Purworejo dan sekitarnya di Jawa Tengah bagian selatan. [ns/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG