Tautan-tautan Akses

Melawan Epidemi dan 'Infodemic' Virus Korona


Pertunjukan mengenai virus korona oleh para pelajar di Solo, Jawa Tengah, 6 Februari 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Pertunjukan mengenai virus korona oleh para pelajar di Solo, Jawa Tengah, 6 Februari 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Virus korona menjadi informasi utama di berbagai media arus utama dan media sosial. Tidak sedikit informasi yang beredar itu merupakan hoaks, yang ironisnya justru lebih dipercaya dan kemudian ikut menimbulkan kepanikan sosial.

Ketika Kementerian Kesehatan Indonesia berulangkali mengatakan tidak ada kasus virus korona yang terdeteksi, sementara lebih dari 50 negara melaporkan perebakan virus mematikan ini, sebagian warga menilai pemerintah menutup-nutupi fakta. Terlebih setelah otorita Arab Saudi Kamis lalu (27/2) memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang jemaahnya tidak diperkenankan melaksanakan umrah dulu.

Namun ketika Presiden Joko Widodo, didampingi Menteri Kesehatan Agus Terawan, Senin sore (2/3) mengkonfirmasi adanya dua kasus virus korona, warga yang tadinya menilai pemerintah menutup-nutupi fakta, kini meragukan informasi itu. Lainnya langsung panik memborong berbagai kebutuhan dasar, termasuk masker dan hand-sanitizer. Sejumlah toko eceran dan pusat perbelanjaan diserbu warga tak lama setelah pernyataan presiden itu.

Seorang penjaga toko duduk di dekat kotak-kotak masker yang dijajakan di sebuah toko di Jakarta (2 Maret 2020).
Seorang penjaga toko duduk di dekat kotak-kotak masker yang dijajakan di sebuah toko di Jakarta (2 Maret 2020).

Sekretaris Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr. Achmad Yurianto mengatakan awalnya ia memaklumi kebingungan masyarakat, terlebih dengan pernyataan beberapa pejabat asing yang mempertanyakan tidak adanya kasus virus korona di Indonesia, tetapi ia cukup heran ketika keraguan warga terus berlanjut padahal menurutnya pemerintah telah melakukan persiapan menghadapi virus korona.

“Kami memaklumi. Ini bukan sesuatu yang baru, apalagi dengan statement duta besar Australia atau yang lain-lainnya. Tetapi di awal Januari kita sudah melakukan persiapan. Kita minta WHO Indonesia untuk melakukan double check terkait dengan penentuan kriteria pasien dalam pengawasan, double check untuk prosedur pengambilan spesimen, double check bagaimana kita mengirim sampel ini port-to-port hingga sampai ke Jakarta, double check bagaimana sampel diterima laboratorium dan double check bagaimana laboratorium melakukan pemeriksaan. Mereka sudah membuat statement di media bahwa yang dilakukan Indonesia sudah sesuai standar yang ditentukan WHO. Kita (Indonesia.red) juga menerapkan sistem kewaspadaan global, baik dalam tataran International Health Regulation 2015, maupun dalam konteks Global Health Security Agenda. Kita tidak mungkin menyampaikan informasi bohong,’’ kata dr. Yurianto.

Para penumpang mengenakan masker saat menunggu kereta di sebuah stasiun di Jakarta, 2 Maret 2020.
Para penumpang mengenakan masker saat menunggu kereta di sebuah stasiun di Jakarta, 2 Maret 2020.

Virus Jadi Komoditas Politik

Pengamat komunikasi dan budaya digital Dr. Firman Kurniawan kepada VOA mengatakan menarik melihat sikap masyarakat Indonesia menanggapi virus mematikan ini. “Awalnya di satu sisi ada yang menilainya sebagai ‘berkah’ dan bahwa masyarakat Indonesia ‘kebal’ virus itu. Namun di sisi lain banyak yang tidak percaya, menganggap atas dasar apa Indonesia bisa punya keistimewaan tidak terjangkit virus itu, sementara banyak negara sudah melaporkan perebakan,” ujarnya ketika dihubungi VOA, Minggu (1/3).

Dr. Firman Kurniawan, pengamat komunikasi dan budaya digital. (Courtesy Photo)
Dr. Firman Kurniawan, pengamat komunikasi dan budaya digital. (Courtesy Photo)


Secara terang-terangan doktor komunikasi di Universitas Indonesia ini menilai hal ini tidak lepas dari “ekor kontestasi pemilihan presiden yang sengit beberapa saat lalu. Virus pun laku jadi komoditas politik. Ketika masyarakatnya "berhasil" tercegah dari terjangkitnya virus, oleh pihak pendukung dianggap point of success pemerintah dan kabinetnya. Namun oleh kelompok yang kalah, dianggap menutup-nutupi kasus terjangkitnya virus, yang mungkin sudah ada.”

Selain itu Dr. Firman Kurniawan juga menyesalkan pendekatan politik atau agama yang digunakan untuk menjelaskan masalah kesehatan seperti virus korona ini. “Sejak awal tone informasi harus ada di jalur kesehatan, bukan politik, agama, apalagi dunia supra-natural, yang kian mengaburkan persoalan yang benar-benar terjadi,” ujar Firman. Menurutnya ketika menteri kesehatan menggunakan informasi kesehatan yang berdasarkan standar dan fakta, hoaks tidak akan laku. “Kuncinya ada di tindakan dan statement profesional sebagai otoritas kesehatan.”

Penjelasan tentang Virus Korona Sedianya Berbasis Sains

Firman tidak menyebut nama, tetapi belakangan ini Menteri Kesehatan Agus Terawan sempat dikritik ketika menggunakan pendekatan agama untuk menjelaskan virus korona. “Selama kita mengandalkan Yang Maha Kuasa, itulah hasil yang kita dapatkan sekarang. Kenapa malu mengandalkan Yang Maha Kuasa? Masa berdoa saja malu? Salahnya sendiri,” ujarnya kepada wartawan di Kantor Staf Presiden 17 Februari lalu.

“Seorang penanggung jawab institusi yang mengandalkan basis akal rasional, tentu saja dituntut membuat pernyataan yang masuk akal rasional ketika Indonesia terancam serangan virus,” tegas Firman.

Sekjen P2P Kemenkes: Virus Paling Ganas adalah Virus Hoaks

Sejak virus yang bermula di Wuhan, kota di China tengah, merebak ke sedikitnya 50 negara lain, berbagai informasi hoaks tersebar luas. Tidak saja di media sosial, tetapi juga di media-media arus utama. Mulai dari adanya 136 orang yang dipantau karena diduga mengidap virus mematikan ini, Paus Fransiskus terjangkit virus, hingga ketidaksiapan fasilitas kesehatan di Indonesia dan beragam resep mencegah virus korona.

Sekretaris Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr. Achmad Yurianto mengatakan virus yang paling ganas itu justru virus hoaks.

“Virus yang paling ganas itu justru virus hoaks. Menyebarluas dengan cepat dan tidak ada obatnya. Tetapi saya yakin warga kita makin lama makin pintar. Sudah tentu ketika jualan hoaksnya tidak laku, makin membuat gencar pembuatnya. Semakin ditingkatkan kualitas bohongnya maksud saya,” tambahnya.

Sementara, menanggapi kepanikan sebagian warga saat ini, Dr. Firman Kurniawan menyerukan kepada otorita berwenang agar lebih rajin memberi penjelasan dan pedoman kepada warga.

“Jika ancaman virus itu nyata adanya, bukan hanya Pak Menkes yang harus mengubah style bicaranya yang sok meremehkan, jadi lebih masuk akal menjelaskan langkah mitigasi; namun juga penanggung jawab aplikasi atau pemilik follower yang banyak (di media sosial.red), perlu memberikan statement yang proporsional. Atau tidak mengeluarkan pendapat yang menambah kepanikan… Sebelum social panic jadi tak terkendali perlu sumber informasi bisa diterima secara luas dan jelas untuk diikuti sebagai pedoman,” kata Firman. [em/pp]

Recommended

XS
SM
MD
LG