Tautan-tautan Akses

Masyarakat Sipil Minta DPR Tunda Pengesahan RUU KUHP


Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta.
Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama meminta Dewan Perwakilan Rakyat DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mereka menilai RUU KUHP memiliki semangat membatasi daripada menjamin kemerdekaan beragama.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bulan Juli ini dijadwalkan mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rencana ini mendapat sorotan dari masyarakat sipil.

Dalam jumpa pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Selasa (2/7), Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama, Berkeyakinan, dan Berpendapat meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP tersebut.

Pratiwi dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menjelaskan ada sejumlah alasan mengapa pengesahan RUU KUHP itu harus ditunda. Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama menyesalkan pembahasan RUU KUHP di DPR tidak berlangsung secara terbuka sehingga menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi

"Landasan pemikiran serta argumentasi di balik perumusan delik yang dimuat di dalam RUU KUHP saat ini, secara khusus pasal-pasal tentang keagamaan, alih-alih menyelesaikan atau mencegah kejahatan serta konflik justeru menurut kami semakin membuka ruang memperkuat diskriminasi, konflik, dan melegitimasi kebijakan intoleransi di tengah masyarakat," kata Pratiwi.

Jumpa pers di kantor YLBHI di Jakarta, Selasa (2/7), Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama, Berkeyakinan, dan Berpendapat meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP (Foto: VOA/Fathiyah).
Jumpa pers di kantor YLBHI di Jakarta, Selasa (2/7), Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama, Berkeyakinan, dan Berpendapat meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP (Foto: VOA/Fathiyah).

Selain itu, semangat restorative justice – atau sistem peradilan pidana yang memusatkan perhatian pada rehabilitasi pelanggar melalui rekonsiliasi dengan para korban dan masyarakat luas – yang seharusnya dikedepankan ketimbang semangat penghukuman dalam RUU KUHP sekarang ini, masih sangat minim.

Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama menilai RUU KUHP memiliki semangat membatasi daripada menjamin kemerdekaan beragama atau keyakinan menjadi pendekatan utamanya.

Beberapa Pasal dalam RUU KUHP Berpotensi Timbulkan Kekhawatiran

Menurut Pratiwi, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama dan Berpendapat menyatakan ada pasal-pasal yang akan menimbulkan kekhawatiran kalau diberlakukan. Menurut Pasal 2 Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), hukum yang tetap hidup dalam masyarakat meski tidak diatur dalam KUHP tetap berlaku.

Hal ini menyimpang dari asas legalitas. Walau dikatakan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umumnya yang diakui masyarakat beradab, ketentuan ini telah membuka celah penerapan hukum seperti yang terlihat dalam peraturan-peraturan daerah diskriminatif saat ini.

Pasal 250 dan 313 RUU KUHP masih menggunakan kata penghinaan, padahal penghinaan bersifat subyektif. Meski semangat Pasal 250 baik tetapi perlu diganti dengan kata yang tidak multi-tafsir. Di samping itu, hukuman terhadap kasus penghinaan oleh para ahli di dunia diarahkan pada pertanggungjawaban perdata bukan pidana. Kalaupun pidana ingin mengatur soal penghinaan, maka pemidanaannya adalah benda.

Di Pasal 313, kata penghinaan sebaiknya diganti dengan syiar kebencian untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan. Hal ini juga sesuai dengan kecenderungan internasional yang menggeser frasa penodaan agama menjadi memerangi intoleransi.

Judul Bab VII Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama adalah salah secara bahasa dan konseptual.

"Seharusnya agama tidak dapat menjadi subyek hukum. Subyek hukum yang perlu dilindungi adalah penganut agamanya, bukan agama itu sendiri. Sebagai sebuah konsep, menempatkan agama sebagai subyek hukum problematis karena ia tidak dapat mewakili dirinya sendiri di proses hukum," ujar Pratiwi.

Lebih lanjut Pratiwi mengatakan Pasal 316 RUU KUHP tentang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk beribadah ketika ibadah sedang berlangsung, sebenarnya memiliki maksud yang baik. Hanya saja kata gaduh dapat diartikan beragam, terkait sebesar apa suara yang membuat gaduh sehingga akhirnya dapat dikenakan hukum pidana.

Pasal 503 tentang pencurian benda suci keagamaan yang menjadi pemberatan hukuman. Apakah ada derajat di antara benda suci keagamaan, apa kategori benda suci keagamaan.

RUU KUHP Dinilai Harus Lebih Diperluas

Menurut Benhard Siagian dari Paritas Institute, definisi agama dalam RUU KUHP harus diperluas sehingga tidak satupun agama yang dianggap lebih sah dibanding agama atau kepercayaan lain. Dia mengingatkan ada ribuan kepercayaan di Indonesia yang akan terkena dampak akibat definisi sempit soal agama yang tercantum dalam RUU KUHP.

Benhard menekankan penundaan ini diperlukan untuk meninjau kembali rumusan RUU KUHP untuk mencegah regulasi mengenai agama yang menjadi alat bagi kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan diskriminasi atau melakukan tindak kekerasan berbasis agama kepada kelompok-kelompok lain.

Dia mencontohkan kata penghinaan agama dalam pasal 250 dan 313 yang multitafsir.

"Akibat perbedaan tafsir keagamaan satu kelompok dengan kelompok yang lain bahkan di dalam satu agama akhirnya menjadi persekusi terhadap kelompok-kelompok yang lain," ujar Benhard.

Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah M. Dja'far mengatakan pihaknya sejak 2009 membuat laporan mengenai kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Hampir dalam sepuluh tahun terakhir, kasus-kasus kekerasan massal makin berkurang. Tapi yang terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menggunakan hukum atau pemidanaan.

Aliansi masyarakat sipil ini juga memandang penggunaan istilah penghinaan atau penodaan agama sudah tak lagi relevan.

Masyarakat Sipil Minta DPR Tunda Pengesahan RUU KUHP
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:37 0:00

Sebelumnya Anggota Komisi Hukum DPR Nasir Djamil mengatakan pengesahan revisi KUHP itu penting bagi kelangsungan perkembangan hukum di Indonesia. Menurutnya revisi KUHP ini bersifat terbuka dan teliti dalam pembahasannya.

“Kita sadar bahwa hukum ini kita buat , kita rancang untuk menghadirkan stabilitas jadi ada keadilan, kepastian dan kemanfaatan KUHP sendiri di tengah-tengah masyarakat” ujar Nasir Djamil

Berdasarkan Resolusi Dewan HAM 16/18 yang diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 2011, istilah penodaan agama disepakati diganti menjadi "memerangi intoleransi". Lagipula, di forum internasional itu juga diketahui bahwa istilah penodaan mendapat penentangan dari berbagai negara. (fw/em)

Recommended

XS
SM
MD
LG