Tautan-tautan Akses

Masyarakat Adat Dayak Laman Kinipan Ajukan Gugatan 


Masyarakat Adat Laman Kinipan dalam sebuah Festival Laman Dayak Tomun Kinipan 2019. Foto : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Masyarakat Adat Laman Kinipan dalam sebuah Festival Laman Dayak Tomun Kinipan 2019. Foto : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Meski sudah puluhan tahun ada di Indonesia, kelompok masyarakat adat baru dianggap eksis di mata hukum setelah mendapat pengakuan pemerintah. Tentu ini menjadi ironi tersendiri, karena masyarakat adat sebenarnya sudah ada bahkan sejak Indonesia belum merdeka.

Karena itulah, masyarakat adat Dayak Tomun di Laman Kinipan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangkaraya. Tergugatnya adalah bupati Lamandau, Kalimantan Tengah, tempat di mana masyarakat itu hidup selama ini.

Gugatan masyarakat adat Dayak Kinipan diajukan 4 Januari 2021. (Foto: VOA)
Gugatan masyarakat adat Dayak Kinipan diajukan 4 Januari 2021. (Foto: VOA)

Dalam penjelasan kepada media secara daring Selasa (5/1), Aryo Nugroho dari LBH Palangkaraya mengatakan, langkah ini sebenarnya sesuatu yang miris jika dirasakan. Aryo adalah kuasa hukum masyarakat Laman Kinipan dalam gugatan ini.

“Mirisnya apa? Bahwa, yang benar-benar selaku masyarakat adat yang sudah ada, bahkan sebelum negara ini ada, sebelum negara ini merdeka, namun hari ini tidak bisa serta merta dikatakan sebagai masyarakat adat, kalau tidak ada pengakuan dalam bentuk SK dari pemerintah daerah,” kata Aryo.

Surat Pengakuan Bernilai Strategis

Gugatan hukum ini tidak terlepas dari konflik antara masyarakat adat Laman Kinipan dengan perusahaan sawit di Kalimantan Tengah. Sebuah rekaman video penangkapan terhadap Effendi Buhing yang tersebar di media sosial Agustus 2020 seolah membuka tirai penutup konflik ini di pedalaman Kalimantan. Effendi sendiri adalah Ketua Adat Komunitas Dayak di Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Masyarakat Adat Dayak Laman Kinipan Ajukan Gugatan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:31 0:00

Ketika itu, Effendi ditangkap aparat karena diduga merampas gergaji mesin milik perusahaan sawit. Tindakan itu, dilakukan Effendi dan warga Laman Kinipan lain sebagai bentuk penolakan pembersihan lahan hutan untuk dijadikan perkebunan. Bersamaan dengan itu, foto-foto kehancuran hutan adat Laman Kinipan tersebar luas, dan memicu berbagai protes nasional.

Aryo Nugroho dari LBH Palangkaraya. (Foto: VOA)
Aryo Nugroho dari LBH Palangkaraya. (Foto: VOA)

Masyarakat Kinipan bersikeras, hutan yang dibabat perusahaan sawit adalah lahan adat yang sudah mereka kelola sejak dulu. Namun, komunitas ini tidak berdaya karena ketiadaan surat pengakuan sebagai masyarakat adat dari bupati. Tanpa surat pengakuan sebagai masyarakat adat, maka tidak ada pengakuan atas hak tanah adat. Dengan demikian, lahan yang ada bisa dikonsesikan kepada perusahaan kepala sawit.

“Yang kami sampaikan merupakan tonggak sejarah bagi masyarakat adat, di mana jika putusan ini dikabulkan oleh pengadilan, maka bisa diikuti oleh komunitas masyarakat adat yang lain,” tambah Aryo.

Bupati Abaikan Aturan

Ferdi Kurnianto dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, menjelaskan sebelum ini masyarakat Laman Kinipan telah berkirim surat permohonan kepada Bupati Lamandau. Dia mengatakan, upaya pertama dilakukan pada 2018 dan tidak membawa hasil.

Pada 4 Desember 2020 lalu, masyarakat adat Laman Kinipan kembali berkirim surat kepada bupati, dan kembali tidak dijawab. Gugatan itu sendiri sudah didaftarkan di PTUN Palangkaraya pada Senin, 4 Januari 2021.

Ferdi Kurnianto dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng. (foto: VOA)
Ferdi Kurnianto dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng. (foto: VOA)

“Makanya gugatan ini, salah satu cara kita untuk mendapatkan pengakuan tersebut. Harapannya ketika putusan sidang nanti memenangkan kawan-kawan, pemerintah Kabupaten Lamandau segera bentuk panitia masyarakat hukum adat yang bertugas melakukan verifikasi, identifikasi dan validasi keberadaan masyarakat adat di Lamandau, bukan hanya Kinipan,” kata Ferdi.

Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 52 tahun 2014, pemerintah sebenarnya sudah menginstruksikan bupati dan gubernur membentuk panitia serupa. Sejauh ini, instruksi itu tidak dilaksanakan di Lamandau. Padahal, kabupaten lain seperti Pulang Pisau, Barito Selatan, dan Sokamara, kata Ferdi sudah membentuk panitia dimaksud.

Kuasa hukum masyarakat Laman Kinipan yang lain, Parlin Hutabarat menyebut gugatan ini upaya hukum agar Bupati Lamandau mematuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Kuasa hukum masyarakat Kinipan, Parlin Hutabarat. (Foto:VOA)
Kuasa hukum masyarakat Kinipan, Parlin Hutabarat. (Foto:VOA)

“Substansi yang kita ajukan adalah mendesak melalui mekanisme hukum, melalui jalur pengadilan agar Bupati Lamandau menaati apa yang telah diamankan oleh peraturan, salah satunya Permendagri 52/2014. Permendagri jadi acuan kita, kewenangan Bupati Lamandau dalam memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Lamandau, termasuk Laman Kinipan,” kata Parlin.

Tidak menutup kemungkinan ke depan dilakukan uji materi terkait Kepmendagri 52/2014. Keputusan ini, lanjut Parlin, dijadikan alat kepala daerah untuk menyandera karena masyarakat adat diangggap tidak ada, jika tidak ada SK bupati.

Memicu Upaya Serupa

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Dimas Novian Hartono, menyebut melalui gugatan ini bisa dilihat sejauh mana peran Bupati Lamandau terkait pengakuan masyarakat hukum adat.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Dimas Novian Hartono. (Foto: VOA)
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Dimas Novian Hartono. (Foto: VOA)

“Dan ini menjadi langkah baru untuk komunitas lain dalam hal mendorong pengakuan hak-hak mereka atas wilayah adat yang saat ini masih diperjuangkan oleh masyarakat adat, baik itu di Kalteng secara khusus, maupun di wilayah lainnya,” ujar Dimas.

Para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan berharap, gugatan ini merupakan langkah strategis yang bisa didorong bersama, terutama oleh komunitas dan lembaga adat. Langkah ini juga diharapkan menjadi pemicu bagi komunitas adat di wilayah lain untuk bangkit dan menuntut pengakuan secara sah dari pemerintah. Dengan pengakuan itu, muncul pengakuan wilayah kelola adat.

“Masyarakat adat tanpa wilayah kelola itu bukan masyarakat adat. Masyarakat adat harus punya wilayah kelola yang mereka lindungi dengan hukum adat mereka, dengan tata cara yang kami yakini lebih melindungi daripada dikelola perusahaan sawit,” tambah Dimas. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG