Tautan-tautan Akses

Mahasiswa Thailand Kaji Kekerasan Kampus yang Terlupakan 


Aktivis pro-demokrasi meneriakkan slogan-slogan selama protes di Universitas Thammasat di Bangkok, Thailand, 19 September 2020. (Foto: AP)
Aktivis pro-demokrasi meneriakkan slogan-slogan selama protes di Universitas Thammasat di Bangkok, Thailand, 19 September 2020. (Foto: AP)

Para mahasiswa sejak lama menjadi tumpuan harapan rakyat di seluruh dunia. Keterlibatan mereka dalam isu-isu sosial dan politik kerap ditakuti pemerintah yang khawatir bisa memicu unjuk rasa yang luas. Mahasiswa tidak jarang dicurigai dan menghadapi kekerasan bahkan di kampus-kampus mereka sendiri seperti yang dialami di kampus Thailand 44 tahun lalu. Peristiwa itu kini membayangi para mahasiswa Thailand ditengah-tengah demonstrasi reformasi yang merebak di negara itu.

Protes anti-kemapanan yang berlangsung di Thailand dan menarik puluhan ribu warga ke jalan-jalan telah memicu perdebatan sengit mengenai masa depan negara itu.

Namun, demonstrasi itu juga telah menarik minat anak muda pada salah satu peristiwa paling kelam di masa lalu di Bangkok.

Para akademisi dan peneliti mengatakan melihat lonjakan jumlah orang yang ingin mempelajari sejarah mengenai pembantaian terhadap mahasiswa, 44 tahun lalu yang diabaikan oleh buku-buku sejarah penting di Thailand.

Pengunjuk rasa dan mahasiswa antipemerintah menyambut Menteri Pendidikan Thailand Nataphol Teepsuwan dengan hormat tiga jari selama demonstrasi di Bangkok, Thailand, 5 September 2020. (Foto: Reuters)
Pengunjuk rasa dan mahasiswa antipemerintah menyambut Menteri Pendidikan Thailand Nataphol Teepsuwan dengan hormat tiga jari selama demonstrasi di Bangkok, Thailand, 5 September 2020. (Foto: Reuters)

Namun, meskipun sebagian warga menyambut keingintahuan ini, sebagian lainnya mengatakan mereka sedang dimanipulasi.

Di Universitas Thammasat belum lama ini, para mahasiswa mengenang masa lalu mereka yang kelam.

Mereka berjalan-jalan di kampus, membuat foto-foto "dulu dan sekarang" yang berkaitan dengan pembantaian berdarah yang terjadi di sana pada tanggal 6 Oktober 1976. Pada saat yang sama, di seluruh kota Bangkok, mahasiswa dari universitas lain membaca buku, haus akan informasi artikel untuk koran online mereka.

Seperti umumnya anak muda Thailand, mereka tidak tahu apa-apa mengenai hal itu. Tetapi para pembicara demonstrasi anti-pemerintah yang sedang berlangsung berulang kali menyoroti hal itu, memicu rasa keingintahuan mereka.

Seorang pria mengambil foto pengeras suara yang dilubangi peluru selama pembantaian Universitas Thammasat pada 6 Oktober 1976, pada pameran memperingati peristiwa di Universitas Thammasat di Bangkok pada 6 Oktober 2020. (Foto: AFP)
Seorang pria mengambil foto pengeras suara yang dilubangi peluru selama pembantaian Universitas Thammasat pada 6 Oktober 1976, pada pameran memperingati peristiwa di Universitas Thammasat di Bangkok pada 6 Oktober 2020. (Foto: AFP)

"Kami menghubungkan diri dengan peristiwa 6 Oktober karena saat itulah negara menggunakan kekerasan terhadap mereka yang berbeda keyakinan," kata Ruchapong Chamjirachaikul, mahasiswa tahun ketiga.

Peristiwa itu berawal cukup damai, pada hari yang menentukan itu beberapa ribu mahasiswa di kampus Thammasat memprotes perkembangan politik.

Sebuah kelompok drama mahasiswa mempertontonkan drama komedi tentang pembunuhan pekerja oleh polisi sebulan sebelumnya; Surat kabar sayap kanan dan sebuah stasiun radio yang dioperasikan oleh tentara menyiarkan drama itu sebagai serangan terselubung terhadap kerajaan, yang merupakan tuduhan berbahaya.

Polisi dan kelompok yang main hakim sendiri mulai berkumpul di luar gerbang universitas itu pada malam tanggal 5 Oktober, dan keesokan paginya melancarkan serangan kekerasan habis-habisan.

Dokumentasi foto 6 Oktober 1976, polisi berjaga-jaga atas mahasiswa sayap kiri Thailand di lapangan sepak bola di Universitas Thammasat, di Bangkok, Thailand. Bagi sebagian orang Thailand, peristiwa berdarah 6 Oktober 1976 masih merupakan mimpi buruk. (Foto: AP)
Dokumentasi foto 6 Oktober 1976, polisi berjaga-jaga atas mahasiswa sayap kiri Thailand di lapangan sepak bola di Universitas Thammasat, di Bangkok, Thailand. Bagi sebagian orang Thailand, peristiwa berdarah 6 Oktober 1976 masih merupakan mimpi buruk. (Foto: AP)

Catatan resmi mengatakan 40 mahasiswa tewas tetapi jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih besar.

Meskipun difoto dan difilmkan, peristiwa itu umumnya telah dilupakan: tidak pernah dimasukkan dalam buku pelajaran sekolah, memudar dengan cepat dari kesadaran nasional.

Beberapa akademisi mengatakan, itu karena menimbulkan pertanyaan tidak nyaman mengenai siapa yang bertanggung jawab dan karena bertentangan dengan narasi resmi tentang persatuan dan kebaikan masyarakat Thailand.

“Untuk menggali apa yang terjadi pada tahun 1976 banyak orang takut akan melibatkan elit penguasa dan rekan-rekan mereka. Mereka tidak ingin orang mengetahuinya. Mereka ingin orang melupakannya," kata Puangthong Pawakapan guru besar ilmu politik di Thailand.

Namun, sebaliknya tampaknya kini semakin banyak yang mengkajinya. Sementara peringatan peristiwa itu menarik arus penasaran warga, informasi online mengenai hal itu dibanjiri pengguna internet.

Pada bulan Agustus, ketika gerakan demonstrasi itu mendapat momentum, halaman Facebook yang didedikasikan untuk pembantaian tersebut mencatat 1,3 juta kunjungan. Kunjungan ke situs peringatan online naik tiga belas kali lipat.

"Generasi muda mencoba memahami apa yang terjadi di masa lalu. Mereka tidak hanya mempertanyakan masa kini, tetapi melihat ke masa lalu, mencoba memahami apa yang terjadi, apa saja masalahnya, keterbatasan dan masalah struktural yang masih menjadi masalah hingga saat ini," kata Patporn Phoothong, admin peringatan kekerasan di sebuah situs web.

Namun, seperti yang ditunjukkan dalam demonstrasi saat ini, masyarakat Thailand sekarang tetap terpecah sebagai mana hampir setengah abad lalu dan masalah kerajaan masih sensitif.

Selain perubahan politik, beberapa pemimpin demonstrasi menuntut reformasi signifikan terhadap institusi kerajaan. Bagi banyak warga Thailand yang konservatif, pengabdian sepenuhnya adalah kuncinya.

Mantan anggota parlemen Warong Dechgitvigrom mengepalai kelompok pertahanan kerajaan. Ia mengatakan mengingatkan peristiwa tahun 1976 hanyalah cara untuk menipu kaum muda agar mendukung revolusi.

“Saya yakin ada motif untuk menciptakan kebencian di masyarakat kita dan para mahasiswa muda ini tidak menyadari permainan yang dimainkan oleh politisi ini. Tujuan mereka jelas. Mereka menggunakan tuntutan lain seperti seruan untuk mengubah konstitusi sebagai alasan untuk berdemo dengan tujuan mengubah negara menjadi republik," katanya.

Para pengunjuk rasa tidak pernah menyerukan penghapusan kerajaan, hanya reformasi. Sepertinya tidak banyak yang berubah, seperti 44 tahun yang lalu, kesalahpahaman dan kecurigaan tetap bersemi dalam kehidupan publik Thailand. [my/lt]

XS
SM
MD
LG